Senin, 07 Mei 2012

Tak Selamanya Mendung Itu Kelabu Bagian Tiga


Sejak pertemuan pertama itu, Amy seolah menjadi bagian dari keluarga Astri.  Bahkan Jojo tidak lagi memanggilnya tante, tapi seperti permintaan Amy, anak itu memanggilnya Mama Amy.  Bagi Astri, hal itu sama sekali bukan masalah.  Dengan adanya panggilan itu, secara tidak langsung, Astri telah mengangkat saudara dengan Amanda.  Hal yang sebenarnya sejak lama bisa dilakukannya, kalau saja dulu tidak ada Agung dengan sifat posesifnya itu.
            Hampir dua bulan mereka sering jalan bersama.  Tetapi Astri belum juga tahu Amy bekerja apa.  Dia hanya tahu bahwa sahabatnya itu memegang cukup banyak uang.  Uang itu yang sering digunakannya untuk memanjakan Jojo dengan berbagai pemberian.  Mulai mainan yang murah hingga pakaian yang berharga ratusan ribu rupiah.  Ketika rasa ingin tahunya memuncak, dia tak dapat menahan diri untuk bertanya, pekerjaan apa yang dijalankan sahabatnya itu.
            “Konsultan.”  Jawaban pendek dan singkat.  Amy tertawa melihat Astri bengong.  “Iya, aku ini sekarang seorang konsultan manajemen.  Sama seperti dosen-dosen kita dulu itu.  Bedanya dengan mereka, aku memberikan jasa manajemen hanya kepada satu perusahaan. Setiap saat pimpinan perusahaan membutuhkan tenagaku, baru aku datang menemui mereka.  Fee yang kuterima enggak sedikit lho.  Eh, omong-omong, kamu bisa ikutan kalau kamu mau!”
            “Konsultan?”  Astri bergidik.  “Itu berarti kamu yang menentukan kehidupan satu perusahaan.  Iya kan?  Kalau kamu salah memberikan advice, bisa-bisa perusahaan itu merugi.  Dan akhirnya, kamu pasti kena damprat.”
            “Ya ampun, ya enggak dong Sayang.  Aku ini bertugas untuk memeriksa seluruh fungsi manajemen dalam perusahaan itu.  Apakah berjalan dengan baik atau tidak.  Aku  memeriksa laporan keuangan mereka, tukar pikiran dengan manajer-manajer mereka.  Jika ada sesuatu yang rasanya kurang tepat, aku memberikan beberapa alternatif.  Alternatif itu tidak sekedar alternatif.  Tapi harus disertai masukan untung ruginya jika diterapkan dalam perusahaan.  Yah, metodenya antara lain analisa SWOT, kamu tahu kan?  Mereka sendiri yang berunding dan menetapkan alternatif mana yang dipilih.  Model konsultan seperti itulah yang aku anut.  Dan mereka setuju.  Fee hanya dibayar jika mereka membutuhkan advisku.  Ehm, seperti seorang psikiater  begitu....”  Amanda tertawa kecil  melihat muka Astri yang mashh tetap bengong.  “Bagaimana, kamu tertarik untuk ikut bergabung?  Hitung-hitung, kamu bisa dapat uang lebih banyak, daripada harus terus menunggu kiriman uang dari Agung!”
            “Tapi, kalau aku ikut bergabung, artinya fee yang kamu terima juga harus dibagi dua kan?  Ah, itu namanya merebut ladang orang.  Aku gak mau ah!”
            “Eits, siapa bilang?  Perusahaan kan bukan cuma satu!  Banyak lho!  Kalau kamu mau bergabung, aku berani buka kantor.  Kalau cuma aku sendiri, terus buka kantor, nanti kalau banyakcustomer yang masuk, aku bisa kebingungan sendiri.  Eh, jangan tertawa dulu, orang kan harus selalu optimis kan?” 
            Astri tertawa menutupi rasa tak percayanya.  Sejak dulu dia tahu Amy suka berkoar-koar. Tapi menjadi seorang konsultan, seperti beberapa dosen mereka dulu?  Ah, rasanya sulit dipercaya.  Dulu, ketika Amy cerita tentang perusahaan teman ayahnya yang berhasil setelah menerapkan nasehat Amy, dia hanya menganggapnya bualan. Sekarang, mau tidak mau dia harus percaya.  Terlebih setelah Amy memperkenalkannya dengan Pak Broto, pemilik perusahaan itu.  Ternyata perusahaan yang memakai jasa manajemen Amy, cukup berhasil di bidang usahanya.  Selain market share yang dikuasai cukup besar, juga memiliki pangsa pasar ekspor. 
            Kalau Amy menganggap dirinya belum berhasil, itu karena dia tidak bisa membanggakan diri sebagai wanita karier seperti teman-teman kuliah mereka.  Sebut saja Santi, dengan usaha butik yang berkembang pesat,  Eva yang punya nama cemerlang di dunia model.  Apalagi dibandingkan teman-teman cowok mereka, yang rata-rata sudah jadi eksekutif muda di perusahaan-perusahaan bonafid. 
            Sejak pertanyaan Astri itu, Amy jadi lebih terbuka pada Astri.  Kecuali satu hal.  Satu hal yang disimpan rapat olehnya.  Bagi Amy, belum tiba saatnya bagi Astri untuk mengetahui rahasianya yang satu itu.
                                                            ***
            Membuka sebuah kantor konsultan, ternyata tidak semudah mengatakannya.  Dengan dana hasil patungan, mereka mencoba untuk mendapatkan lokasi yang strategis, dan memiliki nilai jual yang tinggi.  Maksudnya, keberadaan kantor itu bisa disadari oleh pihak-pihak yang membutuhkan jasanya.
            Beberapa ruko yang mula-mula mereka taksir, ternyata mematok harga yang terlalu tinggi.  Setelah meninjau beberapa lokasi dan beberapa aspek, mereka memutuskan untuk membuka kantor di tempat mana berkantor juga beberapa bank swasta beken.  Meski hanya kantor cabang.  Perhitungan Astri, orang-orang yang menjadi target pasar mereka adalah para wiraswasta yang tentu juga menggunakan jasa perbankan. 
            Setelah menemukan lokasi yang tepat, memperoleh kesepakatan dengan pemilik ruangan kantor bertingkat dua dengan luas kurang lebih 200 meter persegi itu, Astri dan Amy mulai sibuk menata kantor mereka.
            “Warna dingin akan memberi kesan sejuk pada setiap tamu yang datang, Am.”
            “Tapi, sejuk  saja tidak cukup.  Customer yang datang harus merasa wellcome.  Mereka harus merasa inilah tempat yang tepat bagi mereka untuk sharing segala permasalahan perusahaan mereka, dan menemukan jalan keluar yang terbaik.”
            “Iya...rasanya dominasi warna biru kehijauan sangat bagus, Am.  Perabot dengan warna agak cerah, dan aksen bunga serta lukisan.  Wow... aku jadi sangat bersemangat, Am!”
            Kantor mereka akhirnya selesai ditata.  Dominasi warna kuning gading, meleset jauh dari rencana semula, perabotan yang sarat tekstur kayu, sofa berwarna cerah, dan sebuah lukisan  bunga pemberian Pak Broto, klien pertama mereka (yang sebenarnya klien lama Amanda), membuat ruangan itu tampak sejuk sekaligus hidup. 
            Amanda mengadakan wawancara singkat dengan beberapa gadis muda lulusan akademi sekretaris.  Mereka mendapatkan Tifany, lulusan Diploma Satu sebuah lembaga pendidikan sekretaris.  Dari segi pendidikan formal, dia memang kurang dibandingkan kandidat lain.  Tetapi sifatnya yang luwes dan tatapannya yang ramah, memberi nilai plus.  Didukung oleh kecepatannya menulis steno dan mengetik komputer, Astri dan Amy memilih Fany sebagai sekretaris merangkap resepsionis kantor mereka.
            Pak Broto membantu dilaksanakannya sebuah jamuan malam sederhana dengan beberapa wiraswastawan menengah, rekan bisnis Pak Broto.  Makan malam yang membuat Astri merasa kembali dihargai setelah Agung mengkhianatinya itu, memperkenalkannya dengan seorang usahawan muda yang tengah menanjak sukses.  Reza Purwanto.
            Reza seorang lelaki muda, usianya mungkin awal tiga puluh.  Tubuhnya tinggi tegap dengan dada bidang.  Kulitnya tidak terlalu gelap untuk ukuran seorang lelaki.  Wajahnya tampan, bersih dan terawat.  Kumis tipis melintang di atas bibirnya, titik-titik biru bekas pisau cukur membuatnya tampak jantan.  Sekali memandangnya, Astri tahu, Reza termasuk jenis lelaki yang sangat percaya diri.  Lelaki semacam ini, biasanya suka meremehkan orang lain.
            “Jadi ini teman Amanda yang dibangga-banggakan itu?”  Reza menjabat tangan Astri, erat.  Sorot matanya tajam seolah menyelidik ke dalam diri Astri.  Astri merasa tengkuknya dingin.  Dia sama sekali tidak menyadari, sejak perpisahannya dengan Agung, berat badannya yang sempat naik setelah melahirkan, telah menyusut cukup banyak.  Astri justru tampak menarik dengan tubuh yang lebih kurus.  Tulang pipinya yang tinggi tampak lebih menonjol, mempertajam kecantikan matanya yang cemerlang.  Malam itu dia mengikuti nasehat Amanda untuk merias wajahnya di salon.  Penata kecantikan langganan Amanda, benar-benar ahli menyulap Astri (yang menurut Astri sendiri, biasa-biasa saja) menjadi sosok yang benar-benar mempesona.  Mata Reza yang terbiasa dengan keindahan sekalipun, kagum pada penampilan Astri. 
            “Anda benar-benar seorang yang cantik.  Ya, cantik untuk ukuran seorang wanita.  Mereka bilang, matang, dan mempesona.”  Astri tersipu mendengar pujian Reza.  Seumur-umur, belum pernah dia dipuji cantik oleh laki-laki selain Agung.  Dia melirik Amanda yang tersenyum manis.
            “Jangan terlalu suka memuji, Reza.  Astri bisa pingsan mendengarnya.”
            “O ya?”  Reza tertawa renyah.  “Seorang wanita harus terbiasa dengan pujian, karena itulah yang akan sering diterimanya.  Terlebih seorang wanita seperti Anda.”
            “Terima kasih.”  Astri menganggukkan kepala dengan pelahan.  Pujian Reza membuatnya salah tingkah, semua ketenangan yang sengaja diciptakannya sejak acara dimulai, menguap entah ke mana.
            Semula, Astri menganggap Reza termasuk jenis lelaki muda yang suka obral pujian untuk menarik perhatian, ternyata dia salah.  Selain Reza, hampir setiap tamu, lelaki, yang datang ke makan malam itu, memuji penampilannya.  Hal itu membuat Amanda tertawa ditahan.
            “As, coba sejak dulu kita bisa menjalin kerja sama.  Pasti kita sudah jadi konglomerat jasa konsultan.  Hahaha...”
            “Kamu bisa saja, Am.  Omong-omong, kalau semua ini menjadi klien kita, bisa kewalahan dong kita!”
            Amanda membelalakkan matanya yang indah.  “As, kita ini kan bukan buka jasa catering.  Konsultan itu termasuk jasa yang dipakai dengan berbagai pertimbangan.  Kenal dengan konsultan itu saja belum cukup.  Tapi seorang klien harus mempertimbangkan kemampuan si konsultan.  Sikap mereka semua memang baik, karena itu adalah keharusan seorang pengusaha.  Ramah dalam setiap kesempatan.”  Amanda merendahkan nada suaranya.  “Tetapi sebenarnya, kamu punya saingan di sini.”  Amanda menarik tangan Astri, mengajaknya melintasi ruangan yang penuh para tamu.  “Ayo, kuperkenalkan dengan seseorang.”
            Gadis itu berambut sebahu, hitam legam dan berkilau.  Sosok tubuhnya yang tinggi langsing dibalut gaun malam berwarna coklat tua.  Mencetak bentuk tubuhnya dengan sangat sempurna.  “Anita...”  Amanda memanggil nama gadis itu.
            Ketika gadis itu menoleh, Astri hampir terlonjak karena terkejut. Demikian juga dengan gadis itu.  Astri seolah melihat dirinya ketika berusia awal dua puluhan.  Tulang pipi gadis itu tinggi, alisnya melekuk indah, bibirnya ranum merekah. 
            Gadis itu tak kalah terkejut.  Dia seolah melihat dirinya sendiri, dalam usia yang lebih matang.  Amanda bertepuk tangan melihat keduanya sama-sama terkejut.
            “Astri, perkenalkan, ini Anita, putri sulung Pak Broto.  Anita, ini Astrina Dewanti, sahabatku yang terbaik.”
            “Selamat malam, Mbak.”  Anita tersenyum sopan, mengulurkan tangannya yang halus ke arah Astri.  Melihat itu, Amanda menepuk bahu Anita pelan.
            “Masa seperti itu sikap seorang adik pada kakaknya?  Nit, kalau kamu menganggap aku kakakmu, berarti Astri ini juga kakakmu.  Apa salahnya punya dua kakak perempuan yang cantik-cantik seperti kami berdua?”
            Anita tergelak.  Sifat aslinya yang ceria segera tampak.  Dipegangnya tangan Astri, hangat.  “Punya dua kakak perempuan secantik ini, siapa nolak?”
            “Nah, sekarang kamu percaya kan, Nit, kalau kamu memang punya kakak perempuan?”
            “Iya lho...aku sampai terkesima...”  Anita tertawa keras.  Sifat anggun yang berusaha ditampilkannya dengan gaun malamnya, hilang entah kemana.  “Mbak Astri betul-betul mirip sama aku, ya?  Pantas saja waktu pertama kita berkenalan, Mbak Amy mengira aku ini Mbak Astri. ”
            “Kamu tidak pernah cerita apa-apa tentang Anita...Am.”  Protes Astri.
            “Sekarang, dia sendiri yang akan cerita... ayo Nit, cerita apa saja yang mau diketahui Astri.”  Amanda tersenyum meledek.  Dia tidak bisa mengerti bagaimana mungkin dua orang yang sama sekali tidak ada hubungan darah, bisa semirip itu. 
***
            Hampir satu bulan membuka biro konsultan manajemen mereka, hanya dua klien yang meminta bantuan mereka, selain Pak Broto tentunya.  Amanda benar, jasa konsultan bukan jasa catering.  Keberhasilan sebuah terapi manajemen memerlukan waktu yang tidak singkat untuk bisa melihat hasilnya.  Meskipun demikian, dua perusahaan klien mereka itu termasuk perusahaan yang mudah.  Dalam arti, produk mereka memiliki pangsa pasar yang jelas, dan termasuk produk yang belum banyak memiliki pesaing. 
            Salah satu dari pemilik perusahaan itu adalah Reza.  Jika Amanda masih tetap dekat dengan Pak Broto yang juga teman ayahnya, maka Astri mulai menjalin kedekatan dengan Reza.
            Amanda sering mengatakan bahwa sebenarnya perusahaan Reza sehat-sehat saja.  Perusahaan itu berjalan dengan baik, dan kemampuan manajemen Reza juga cukup bagus.  Reza memang lulusan fakultas teknik, tetapi dia suka menimba ilmu dengan membaca banyak buku manajemen, serta mengikuti berbagai seminar manajemen.  Kalau seorang manajer handal diberi tiga bintang, maka Reza akan menempati urutan ketiga, dia berhak mendapat satu bintang untuk kemampuan manajemennya.  Tetapi entah kenapa, lelaki itu terus saja menghubungi biro konsultan mereka.  Dengan satu catatan, yang menjadi konsultan harus Astri.
***
            Siang itu usai makan, Astri dan Amanda memilih untuk bersantai di ruang duduk kantor mereka.  Minggu ini tidak terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. 
            Ada satu klien baru, sebuah usaha catering yang semula berskala kecil.  Perusahaan itu kini mulai meningkatkan skala usahanya dan memilih biro mereka sebagai pendamping manajemen.  Segi utama yang disoroti oleh Astri dan Amanda, selain peningkatan produk, tentu saja segi marketing.  Laporan keuangan dua tahun terakhir sudah dianalisa oleh Amanda.  Ternyata ada alokasi dana yang cukup besar di bagian pengemasan.  Menurut Astri, perusahaan itu terlalu suka membungkus segala sesuatu dengan plastik. 
            “Heran juga ibu Ratna itu, ya Am.  Untuk membungkus seperempat kilo kue kering, dia menghabiskan satu buah kotak mika, satu lembar plastik ukuran satu kilo, isolasi sepanjang 50 sentimeter, masih diberi plastik ukuran dua kilo lagi.  Bayangkan betapa sibuknya orang yang akan memakan kue itu.”
            “Itulah, itu yang harus diperbaiki.  Segi pengemasan.  Bukan cuma bikin repot yang mau makan, tapi pemborosan.”
            “Mestinya ada kan cara pengemasan yang lebih baik?  Ya... biar kue itu tidak lembab, tidak dimakan semut, dan tetap renyah.”  Astri mengetukkan jarinya ke meja.  “Oh ya... tentu saja dengan satu kotak mika yang dimasukkan dalam plastik satu kilo, lalu dikemas dengan alat pengemas kedap udara.  Kamu tahu kan, yang ditawarkan di TV Media itu...”
            “Investasi awalnya kan lumayan... harga alat itu kan tidak murah!”
            “Iya... tapi untuk jangka satu tahun kurang, pasti sudah mencapai titik impas.  Alat itu kan bisa digunakan untuk beberapa jenis produk.  Tidak cuma untuk satu jenis kue kering, Bu Ratna kan membuat banyak macam kue kering kan?  Ah, nanti sore aku harus ke counter TV Media, aku mau lihat...”  Astri tertegun menyadari Amanda tengah memandangnya dengan sorot mata yang aneh.  “Hei...kamu kenapa, Am?”
            “Eh, kenapa memangnya?  Enggak boleh kagum sama teman sendiri?  Masa cuma artis yang boleh punya penggemar?”  Amy bertepuk tangan.  “As, kamu tahu, kamu tuh cantikkk banget.  Bego banget deh si Agung, berlian sudah ditangan, ditukarnya dengan batu gunung.  Laki-laki memang bego!”
            Astri jadi tersipu malu.  Pipinya yang putih bersemu merah.  Bibirnya membentuk senyum manis.  “Kamu bisa aja deh!”
            “Kamu dulu terlalu lengket sama Agung.  Sampai-sampai perasaan kamu tidak peka lagi.  Masa kamu tidak tahu kalau Reza naksir berat sama kamu sih?”
            “Ah, kamu tuh suka meledek banget sih?  Apanya yang menarik dari seorang janda seperti aku?”
            “Ehm...janda sih statusnya, tapi yang namanya daya tarik, gak ada bedanya kan gadis atau janda?”  Amanda merentangkan tangannya ke depan dada.  “Bener nih kamu gak punya feeling apa-apa sama Reza?”
            “Kenapa memangnya?  Kamu mau jadi mak comblang ya?”
            “Ya ampun... kamu tuh kan bukan remaja lagi, tho.  Kalau kamu memang suka, buat apa harus pakai comblang?  Langsung saja deh!”
            “Langsung apa?”
            “Uh, kamu naif banget sih?” Amanda mendecakkan lidahnya, setengah sebal melihat keluguan Astri.  “Atau pura-pura naif ya?”
            “Am, aku ini seperti janda, memang.  Tapi statusku di KTP masih tetap menikah, Agung belum bersedia memberikan selembar surat cerai.  Kamu tahu itu kan?”  Astri menggerakkan tangannya, seolah mengabaikan sesuatu.  “Aku tidak mau terjebak dalam lubang yang sama, kerbau saja tahu di tempat mana dia pernah terpelecok.  Masa aku kalah sama kerbau?”
            Amanda memandang Astri dengan sorot yang agak aneh.  “Kamu membenci laki-laki?”
            Terperangah, Astri ganti menatap Amanda.  “Benci?  Tentu saja tidak.  Aku harus bisa menerima bahwa aku telah dikhianati oleh suamiku.  Tetapi aku yakin tidak semua laki-laki pengkhianat seperti Agung.  Kalau semacam Reza, kurasa kamu juga tahu kan, dia itu termasuk lelaki macam apa!”
            “Reza temanku sejak dulu.  Ya, dikenalkan Pak Broto.  Aku tahu dia sering kencan dan dekat dengan beberapa wanita.  Dulu dia pernah naksir Anita, tapi sebelum ada tindak lanjut, Pak Broto sudah mengambil langkah pengamanan, Anita dikirim ke luar negeri.  Maklum, ayah mana yang suka anaknya jadi mainan seorang semacam Reza.  Dia kan suka sekali menjalin hubungan dengan beberapa gadis sekaligus.  Cuma ya begitu itu saja... tidak ada kelanjutannya.  Reza itu...”
            “Jenis laki-laki yang suka mengobral janji, tetapi bakal lari terbirit-birit kalau kita meminta dia membuat komitmen sebagai seorang suami, iya kan?”
            Amanda tertawa keras.  “Mungkin juga sih.  Dia pernah bilang, dia gak bakal kawin kalau belum jatuh cinta pada seorang wanita yang betul-betul dia inginkan.  Dia bilang dia sering jatuh cinta, tapi selalu pada wanita yang tidak diinginkannya sebagai istri.”
            “Memangnya dia mau yang seperti apa?”  Astri bertanya sambil lalu, mulai bosan dengan topik pembicaraan mereka.  Meski Astri tidak membenci laki-laki, tapi ada suatu rasa takut di dasar hatinya terhadap makhluk bernama laki-laki.  Rasa sakit yang menoreh batinnya belum juga sembuh sampai saat ini, sangat mustahil untuk memberikan kesempatan sekali lagi pada seorang laki-laki untuk menorehkan luka, lagi.
            “Hei...kamu kok melamun sendiri sih?”
            “Oh eh...”  Astri tersenyum melihat Amanda yang sewot.  “Aku dengar kok!”
            “Dengar apa?  Aku kan bilang, kalau Reza itu suka wanita seperti kamu!”
            “Oh ya?”  Astri membulatkan matanya.  “Itu bohong, semua laki-laki selalu pintar berbohong.  Mereka punya bakat alam untuk memutarbalikkan kenyataan sehingga menjadi seperti keinginan mereka.”
            “Tapi Reza seorang yang jujur.  Dia bilang, kamu mirip dengan mendiang ibunya.  Kamu tahu ibunya, seorang wanita yang sangat hebat.”
            “Thanks...ah, terus terang nih, aku bosan ngomong soal Reza lagi, Reza lagi...  Aku pengen kita bisa discuss tentang pekerjaan.  Apa untungnya ngomongin seorang laki-laki, yang seperti Reza pula...”
            “Oah....”  Amanda menguap lebar-lebar.  “Iya ya... ngapain juga lagakku seperti mak comblang.  Omong-omong kamu mau jus jeruk nggak?”
            “Boleh...boleh...”  Astri menganggukkan kepala berkali-kali.  Amanda beranjak ke pintu.  Dia membuka pinta bersamaan dengan seseorang yang agaknya sudah cukup lama berdiri di depan pintu itu. 
            “Hei...siapa Anda?”
            Astri menoleh ke pintu, memandang Amanda yang tertegun di hadapan seorang lelaki bertubuh tinggi besar.  Seorang asing, mungkin berdarah India, atau Arab.  Entahlah.
            “Selamat siang,  maaf, saya mengagetkan Anda.  Kenalkan, saya Raam.”
            “Ya, eh...”  Amanda gelagapan.  “Tentunya Anda sudah meminta sekretaris untuk menghubungi kami kan?”
            “Itulah, saya tidak menemukan seorang pun di bagian resepsionis.  Karena itu saya langsung naik ke atas.  Maafkan saya.’
            Amanda menepuk dahinya.  “Iya, tentu saja tidak ada orang.  Ini kan hari Sabtu, Fany mengambil kursus pemrogaman komputer setiap hari Sabtu.  Eh, omong-omong, apa yang bisa kami bantu?”
            Raam tersenyum.  “Boleh saya masuk?”
            Amanda tersipu malu.  “Tentu saja...”
            Astri berdiri dari sofa yang didudukinya semula.  Diulurkannya tangan, menjabat lelaki yang mengaku bernama Raam itu.  “Selamat siang, saya Astri, dan itu rekan saya, Amanda.”
            Raam tersenyum sopan.  “Saya Raam.  Lengkapnya Raam Setiawan.  Saya membaca papan nama kantor ini di depan.  Kebetulan saya tengah merintis sebuah usaha kecil.  Ya,  banyak sekali yang tidak saya ketahui tentang manajemen.  Kalau boleh, saya ingin jadi klien Anda.”
            “Tentu saja, Pak Raam.  Tapi sebelumnya, kalau boleh saya tahu, Anda keturunan India ya?”
            Raam tertawa.  “Semua orang yang baru berkenalan dengan saya pasti menduga demikian.  Sebenarnya  tidak ada darah India dalam tubuh saya.  Cuma, sewaktu hamil dulu, ibu  hobi sekali nonton film India, sampai-sampai wajah saya seperti orang India.  Akhirnya saya juga diberi nama berbau India.”
            Astri dan Amanda tertawa bersama.  Mata Raam yang berwarna coklat tua bersinar ramah, dan tawanya yang renyah, membuat mereka lupa bahwa mereka baru saja berkenalan.  Raam seperti matahari di pagi hari, kehadirannya membawa keceriaan bagi sekitarnya. 
            Raam baru memulai usaha yang bergerak di bidang agrobisnis.  Baru sekitar empat tahun berjalan, usaha itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan.  Satu hal yang membuat Raam pusing adalah segi pemasaran.  Selama ini dia langsung memasukkan hasil agro­­bisnisnya yang berupa kentang itu ke pasar tradisional.  Tetapi harga di pasar  cende­rung tidak stabil dan terkadang tidak menutup biaya produksi. 
            “Anda...”  Amanda mengangkat wajahnya dari papan ketik komputer.  Dia baru saja memasukkan data-data Raam ke dalam database.
            “Rasanya lebih enak kalau kita saling memanggil nama.  Ya, panggil saja aku Raam.”
            “Oh, baiklah, dengan senang hati, Raam.”  Amanda tersenyum.  “Saran dan alternatif yang lebih mendetail akan kita buat besok.  Tetapi secara garis besar, rasanya kamu harus punya alternatif pelanggan yang lain.  Maksudku...”  Amanda mengernyitkan keningnya. 
            “Mengapa kamu tidak coba langsung pemasaran ke tangan kedua?”  Sela Astri spontan.  Entah bagaimana, dia dan Amanda sangat sering punya ide yang sama.
            Amanda manggut-manggut.  “Ya, Raam.  Tangan kedua.  Tangan pertama biasanya mendistribusikannya ke pedagang kecil atau eceran.  Dari situ baru ke customer atau mereka yang bakal menggunakan produk kamu secara langsung.  Katakanlah itu termasuk para ibu, atau dalam skala besar, restoran.”
            “Tidak semua restoran memakai kentang, Am.”  Suara Raam terdengar pesimis.  Jalan pikirannya yang memang dilatih hanya sebagai produsen saja, tampak sulit mengikuti langkah Amanda yang begitu tangkas.
            “Tentu saja tidak semua restoran bisa kamu jangkau, Raam.  Produkmu tidak akan mencukupi.”  Tukas Astri tegas.  Diketukkannya jari telunjuk ke meja.  “Kalau produk yang kamu tawarkan punya mutu yang bagus dan stabil, mengapa tidak mencoba masuk ke fastfood?  Kamu tahu kan, restoran semacam itu cukup besar pangsa pasarnya?”
            “Bagaimana caranya?”  Raam betul-betul tampak seperti seorang anak muda yang lugu sekali.  Astri terpingkal melihatnya seperti itu.
            “Raam...Raam...”  Astri menghapus air mata di ujung matanya.  “Kamu ini kok lugu banget sih?  Tentu saja ada caranya untuk masuk ke tempat seperti itu.”
            “Atau kamu pikir dengan cara tradisional sales door to door?  Kamu bisa mati kaku menahan malu.”  Amanda menambahkan.  Dia sering menghadapi pengusaha yang hanya bisa menghasilkan produk tanpa bisa menjualnya, tetapi Raam adalah yang paling parah dari semua pengusaha itu.
            “Hei...jangan tertawa seperti itu.”  Suara Raam terdengar bingung.  Dia sama sekali tak mengerti apa yang lucu sehingga kedua wanita di hadapannya ini tertawa sedemikian keras.  “Aku tahu maksud kalian.  Pasti membawa contoh produkku....”
            “Bagaimana purchasing manager mereka percaya begitu saja, kalau kentang yang kamu bawa adalah kentang hasil agrobisnis kamu?  Bukannya kamu memilih yang terbaik di pasar dan membawanya ke sana?”  Selidik Amanda, tentu saja hanya ingin tahu sejauh mana kemampuan pemasaran Raam.
            Raam menepuk-nepuk lututnya dengan kesal.  “Lalu harus bagaimana?  Masa harus pakai proposal seperti kontraktor yang ingin ikut tender?”
            “Tepat sekali.  Proposal.”  Astri bertepuk tangan sekali.  “Begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan seorang manajer pembelian.  Mungkin juga banyak sekali bahan yang harus dibelinya, bukan cuma kentang.  Sebuah proposal yang menerangkan tentang mutu produk yang kamu tawarkan, jaminan harga yang tidak terlalu fluktuatif, dan hal-hal lain yang menyangkut ketersediaan barang... pasti akan sangat menunjang penawaranmu.”
            “Proposal itu juga akan menunjukkan profesionalitas perusahaan yang kamu kelola.”  Tambah Amanda.  Ditatapnya Raam yang tampak mengerahkan pikirannya keras-keras untuk mencerna apa yang disampaikan Astri.  “Kamu nggak usah takut.  Kami akan membimbing kamu membuat proposal yang bagus.  Yah, setidaknya, yang bisa mengetuk hati manajer pembelian fastfood yang kamu incar itu.”
            “Tapi...”  Raam berpikir keras, sekali lagi.  “Pasti mereka mengambil produk yang bagus-bagus kan.  Terus bagaimana yang agak kurang bagus, katakanlah yang kelas dua dan kelas tiga?  Panen kan tidak selalu menghasilkan produk unggulan?”
            “Itulah gunanya pasar tradisional.  Dengan harga murah yang mereka tawarkan, mereka cukup memperoleh kentang sortiran.”
            “Apa mereka mau?”  Raam tampak ragu.  “Mereka juga bawel tentang mutu produk yang mereka beli.”
            “Dengar Raam, ini masalah pemasaran.  Dimana ada penawaran, di situ diharapkan ada permintaan.  Pertemuan keduanya disebut pasar, arti pasar secara murni.  Kalau kamu punya produk, dan ada yang akan membeli, secara wajar kamu akan memberikan produkmu pada calon pembeli yang bisa memberi harga lebih mahal kan?”
            “Iya...”  Raam tetap tidak percaya.
            “Kalau mereka mau yang bagus, tunjukkan saja produk yang kamu lepas ke restoran.  Jika mereka mau, katakan saja berapa harga yang diberikan restoran itu untuk produkmu.  Jika mereka setuju, mereka bisa mengambilnya.  Tidak masalah siapa yang beli kan?  Yang penting produk kamu terjual dengan harga yang sesuai.  Iya kan?”  Astri terus mengejar dan memojokkan Raam. 
            Lelaki itu mengusap keringat yang membutir di dahinya.  “Wah, kok jadi seperti ujian sarjana begini ya?”
            “Astaga, aku hampir tidak percaya bahwa kamu baru memasuki ruangan ini pertama kalinya.”  Amanda menggelengkan kepala berkali-kali.  “Begitu mudahnya kita menjadi akrab.”
            “Masa?”  Suara Raam terdengar geli.
            “Yah... dua klien kami sebelumnya, memerlukan waktu hampir dua minggu untuk membuka permasalahan perusahaan mereka.  Perlu waktu hampir satu bulan untuk bisa seakrab ini.”   Jelas Astri.
            “Ah...berarti kita benar-benar berjodoh ya...”  Raam tertawa.  Mata coklatnya ikut tertawa.  Saat itulah tatapan matanya bertemu dengan mata Astri yang hitam jernih.  Astri merasa dadanya tergetar.  Selain Agung, tidak ada lelaki yang yang membuatnya bergetar seperti ini.
                                                                        ***
            Sal mengelus perut buncitnya dengan penuh rasa kasih.  Ditatapnya Agung yang tengah membetulkan letak dasinya di depan cermin.  “Mas nanti pulang cepat ya... nggak tahu kenapa, Sal ingin sekali makan malam bersama Mas.”
            “Lihat saja nanti!”  Tukas Agung ketus.  Dia benar-benar tidak tahu bagaimana dia bisa tertarik pada Sal.  Gadis itu memang lugu, cantik.  Tapi dibandingkan dengan Astri, dia seperti kerikil disejajarkan dengan batu zamrud.  Sangat jauh berbeda.  “Kamu kan tahu aku ini sibuk cari duit.  Keluarga kamu seperti lubang yang tidak pernah berhenti menelan uang.  Ada saja.  Mulai Ibu, Bapak, kakak-kakak kamu, sampai adik kamu...”
            “Nggak usah ngomong seperti itu.  Dari dulu Mas tahu kalau kami ini keluarga orang miskin.  Kalau Mas keberatan membantu kami, ya sudah.  Sal bilang nanti sama Bapak dan Mak.”
            Agung berpaling, menatap Sal dengan matanya yang seperti bola api.  “Boleh saja, siapa takut?  Tahu kamu, kalau bukan karena kamu, aku dan Astri masih bahagia sampai sekarang.”
            “Masss....”  Sal mengeluh kecil.  Seketika matanya penuh air mata.  Dia berdiri.  Memeluk Agung dengan manja.  “Jangan begitu Mas...sebentar lagi kan Mas bakal punya anak dari Sal.  Jangan sebut-sebut lagi kesalahan Sal...”
            “Ah, sudah...sudah...”  Agung melepaskan diri dari pelukan Sal.  Beda dengan Astri yang punya harga diri tinggi, Sal sangat mudah merendahkan dirinya untuk meraih simpati Agung.  Bahkan terkadang dia bersikap seperti seorang hamba yang rela melakukan apa saja untuk Agung.  Itulah yang membuat Agung tidak bisa bersikap kasar pada perempuan yang sudah memporakporandakan pernikahannya dengan Astri.  Agung menyukai pemujaan yang dilakukan Sal.  Dia seolah haus akan sikap merendah yang ditunjukkan Salimah.  Mungkin, itulah yang membuatnya berpaling dari Astri, dulu.
            “Janji... Mas pulang cepat ya...”  Tanya Sal sekali lagi, membesut hidungnya dengan tangan.  “Janji Mas...”
            “Iya...Mas usahakan.  Tapi kalau Mas pulang, Mas nggak mau ada segala macam anak udik dalam rumah ini.  Anak-anak abangmu itu membuatku marah.  Sudah nakal, jorok lagi...”
            “Iya...iya...  Sal sangat sayang sama Mas!”  Sal menaikkan tumitnya dan mengecup Agung lembut.  Agung membalasnya dengan mesra.  Hampir tujuh bulan mereka bersama, selama itu tidak pernah sekalipun Sal lupa mengucapkan seribu kata cinta.  Seolah perempuan itu memiliki lautan cinta yang selalu siap menenggelamkan Agung.  Pemujaannya terhadap Agung membuat Agung merasa sedikit terhibur.   Betapapun, Astri sudah meninggalkannya, hanya ada seorang istri yang sungguh-sungguh dimilikinya saat ini, Salimah.
            Sal mengantar Agung sampai mobilnya keluar meninggalkan halaman.  Dia tetap berdiri di pintu pagar sampai mobil Kijang warna hitam itu menghilang di balik tikungan.  Setelah itu dia bergegas menutup pintu pagar dan masuk ke dalam rumah.
            Dia mendekat ke meja telepon, dan menghubungi orang tuanya.  “Mak...mana si Pita?  Oh, lagi mandi ya...  Iya, Mas Agung sudah pergi.  Ajak saja semua ke sini.  Kemarin sore aku pinjam film India, baru-baru, bagus lagi.  Saroh ada?  Oh ya... semua saja ke sini.  Mas Agung baru pulang jam empat sore nanti kok.  Itu kalau dia tidak lupa janjinya.  Ya naik taksi saja... nanti aku yang bayar.”  Sal meletakkan telepon ke tempatnya.  Dia tertawa kegirangan seperti anak kecil mendapat permainan baru. 
            Agung benar, keluarganya seperti lubang yang tidak pernah berhenti menelan uang.  Tetapi apa salahnya?  Berapapun yang mereka minta, toh tidak akan menghabiskan uang Agung?  Sal tahu suaminya punya simpanan yang tidak sedikit di bank.  Belum lagi kertas-kertas yang disebutnya saham.  Belanja yang diberikannya setiap hari kepada Sal, besarnya empat kali gaji yang diterimanya ketika bekerja sebagai pembantu Astri.  Tentu saja Sal tidak pernah tahu masa-masa sulit yang dialami Astri ketika baru menikah dengan Agung.  Saat masa-masa sulit itu, Astri harus mengatur uang belanja sedemikian ketat sehingga menu ayam goreng atau empal daging baru muncul dua minggu sekali.
            Bagi Sal, pernikahannya dengan Agung betul-betul berkah.  Dari keluarga marjinal bawah, tiba-tiba saja dia diangkat ke lapisan atas.  Sekarang ini dia bisa belanja tanpa melihat harganya lagi.  Pergi ke pasar tradisional dan menawar harga barang yang dijual, sudah menjadi hal tabu bagi Sal.  Dia lebih suka belanja di supermarket.  Sambil cuci mata.
            Lalu apa salahnya kalau sedikit kemewahan itu dibagikannya kepada keluarganya?  Anak-anak abangnya yang berjumlah sepuluh orang itu, seperti pasukan kecil yang tidak pernah puas.  Entah berapa banyak uang Agung yang sudah dihamburkan Sal untuk menyenangkan mereka.  Selama ini Agung tidak keberatan.  Sesekali dia memang mengomel, tapi tidak lebih dari itu.  Bagi Agung, uang yang dihamburkan Sal untuk keluarganya, tidak mencapai sepersepuluh penghasilannya.
            Keponakan-keponakan Sal itu datang tepat pukul sembilan pagi.  Semuanya ada enam orang.  Kalau sekolah libur, jumlahnya sepuluh.  Tetapi ini hari sekolah, empat orang di antara mereka harus masuk sekolah.  Julukan Agung bahwa anak-anak itu seperti anak-anak udik memang tidak salah.  Meskipun Sal sudah membelanjakan cukup banyak uang untuk membelikan mereka baju baru, tetap saja penampilan mereka kumal.
            Beberapa di antara anak-anak itu berkali-kali menyedot hidungnya yang penuh ingus.  Baju bagus yang diberikan Sal pada mereka, selalu tampak kumal dan kusam.  Tentu saja, karena orang tua mereka sama sekali tidak peduli apakah baju itu digunakan untuk bepergian atau untuk bergelung-gelung di tanah yang kotor.  Sama saja.  Meski demikian,  bagi Sal, mereka tetap keponakannya, anak-anak yang disayanginya.
            “Ayo....duduk yang baik...jangan pada teriak seperti itu.  Nih...bulik punya permen coklat yang enak.  Sudah, jangan berebut...kan ada banyak, semua pasti kebagian.”
            Sal merasa bahagia dia berhasil menjadi istri Agung.  Dulu ketika peristiwa yang tidak senonoh itu terjadi, dia merasa sangat bersalah dan sangat takut.  Sebelum bekerja dulu, ayahnya berkali-kali berpesan agar jangan sampai dia ada hubungan dengan majikan lelaki.  Banyak sudah kisah pembantu yang dihamili majikannya lalu melahirkan anak haram.  Belum lagi kalau istri majikannya melabrak ke rumah, sudah jatuh tertimpa tangga pula.  Malunya pasti dua kali lipat.  Karena itu meskipun Agung bersikap baik, dia tetap tidak berani menuntut apa-apa.  Setelah dia betul-betul hamil, Sal jadi kebingungan.  Terlebih saat ayah dan abang-abangnya tidak terima dan menuntut Agung menikahinya.
            Sal tidak pernah mimpi akan diambil istri oleh Agung.  Baginya, kebaikan Agung kepada keluarganya sudah cukup, meski tidak dinikahi juga tidak apa.  Tapi keluarganya berpendapat lain.
            “Orang miskin itu cuma punya dua hal.  Pertama harga diri, dan kedua harga diri.  Kita memang miskin, tetapi jangan sampai harga diri itu dirusak.  Semua kakak perempuanmu dipinang dan dinikahi secara baik, kamu juga harus begitu.  Kalau majikanmu itu sudah berani menghamili anak perempuan orang, dia juga harus bertanggung jawab.  Tidak ada alasan, dia harus menikahimu secara resmi.”  Kata ayahnya waktu dia menceritakan kehamilannya.  Mula-mula Sal merasa tidak mungkin Agung mengikuti permintaan keluarganya.  Sangat diluar dugaannya kalau lelaki itu sangat takut ketika keluarganya mengancam akan memberitahu siapa ayah dari bayi dalam kandungan Sal.  Agung sangat takut menyakiti istrinya.  Karena itu dia mengikuti saja segala tuntutan keluarga Sal.
            Ketika akhirnya Astri tahu, Sal merasa sangat takut.  Bagaimana kalau Agung kemudian meninggalkannya begitu saja?  Tentu Astri tidak mau mengalah pada seorang pembantu kan?
            Ternyata, sekali lagi, di luar dugaannya, justru majikan perempuan itu yang mundur teratur dan mempersilakan Sal naik ke singgasana sebagai istri Agung.  Perempuan itu terlalu tinggi menempatkan harga dirinya.  Sampai-sampai dibiarkannya takhtanya sebagai seorang istri direbut oleh wanita lain.
            Sal memang selalu bersikap rendah hati, dia pintar meletakkan dirinya di bawah Agung.  Tetapi sebenarnya, itulah kekuatannya.  Sal tahu pasti Agung suka dipuji, dan itulah yang dilakukannya.  Dengan pujian dan pujaan yang tidak akan pernah habis, Sal berusaha menenggelamkan Agung ke dalam kekuasaannya.  Pepatah yang mengatakan bahwa wanita itu lemah, sudah waktunya ditambah sedikit lagi.  Wanita memang lemah, tapi dalam kelemahan itulah terletak kekuatan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar