Senin, 07 Mei 2012

Tak Selamanya Mendung Itu Kelabu Bagian Empat


Astri melirik arloji di pergelangan tangannya.  Pukul setengah empat sore.  Dengan gelisah dia menaikkan kaki kiri ke atas kaki kanan, kedua tangannya meremas-remas.  “Seharusnya tidak selama ini, Am.”
            “Astri sayang... kita kan sedang menunggu suatu keputusan penting.  Raam sedang menemui manajer pembelian.  Tidak mungkin begitu bertemu dia langsung menawarkan produknya.  Lip servicesejenak tidak akan merusak acara pokok, As.  Percayalah, dia pasti berhasil.  Produk yang dia punya berkualitas bagus.”
            “Itu kan menurut kamu, Am.  Belum tentu manajer fastfood itu berpendapat sama.”  Astri berdiri, memandang pesawat telepon yang tetap diam dengan tenangnya.  “Menurutku kentang yang dibawa Raam tadi kurang tua sedikit.  Ibu mertuaku sering memberi nasehat, kentang yang kurang tua kalau dimasak tidak akan bagus.  Maksudku, kalau dibuat perkedel, perkedel itu rasanya akan kurang pas.”
            “Astaga, Raam tidak menemui seorang ahli kuliner.  Masalah tua tidaknya kentang yang dia bawa tadi...”  Amanda tertawa.  “Kenapa kamu jadi begitu gelisah, As?”
            Astri ikut tertawa sejenak.  “Kenapa?  Raam klien kita kan?  Dia berhak memperoleh solusi yang terbaik untuk permasalahannya.  Jika alternatif yang kita ajukan gagal, mungkin dia akan mencari konsultan lain.  Kamu tahu Am, biro konsultan manajemen tengah menjamur, banyak sekali yang membuka jasa seperti kita.”
            “Ah, masa karena itu kamu jadi gelisah?”  Amanda bertanya dengan nada dibuat-buat.  “Bukannya karena hal lain?  Kalau klien itu bukan Raam...   Bu Magda misalnya...”
            “Apa maksudmu?”
            “Ehm...”  Amanda menegakkan tubuhnya.  “Tidak...tidak ada apa-apa.  Maksudku, kalau kamu tidak tertarik pada Reza yang galant, mungkin kamu tertarik pada Raam yang lugu-lugu konyol.”
            “Amanda...”
            Amanda memutar-mutar bola matanya.  “Kenapa, apa salahnya?” 
            Astri menunduk, tersipu.  “Tidak...mestinya kamu tahu bahwa aku tidak akan tertarik pada Raam.  Dia terlalu lugu untuk seorang calon janda seperti aku.”
            “Reza terlalu memikat, sampai membuatmu takut terjebak.  Lalu Raam terlalu lugu.  Memangnya kamu mau yang seperti apa?”
            “Memangnya siapa yang sedang mencari suami?”  Astri balik bertanya.  “Punya satu  mantan suami sudah cukup.  Tidak perlu ditambah lagi.”
            “Jojo masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah, As.”
            “Amanda, kumohon.  Berhentilah menjadi mak comblang untukku.  Statusku saat ini masih tetap istri Agung.  Meski secara de facto aku dan dia sudah berpisah, status pernikahanku secara yuridis masih berlaku.  Mungkin, satu saat jika aku sudah resmi menjadi janda, aku akan mencari suami.”  Astri mengibaskan tangan kanannya.  “Tapi rasanya itu mustahil.”   
            Saat itulah telepon berbunyi.  Tak sabar Astri mengangkatnya.  “Halo, Raam...  Oh, Pak Broto...  Amanda...oh tentu saja.”  Astri memberikan handel telepon pada Amanda.  Amanda tersenyum geli melihat kekecewaan Astri.  Diterimanya telepon dari Pak Broto.  Keduanya berbincang akrab, sesekali terdengar tawa renyah Amanda. 
            Astri memandang sahabatnya sembari melipat tangan ke dada.  Usianya dan Amanda tak berbeda jauh, hanya dalam hitungan bulan.  Tetapi Amanda tampak jauh lebih muda.  Sejak dulu Amanda pandai merawat diri.  Bahkan di usia awal tiga puluh dua, penampilannya selalu fresh dan membuat siapa saja yang memandangnya menduga usianya baru sekitar dua puluh lima tahun. 
            “Astri...”  Suara Raam tiba-tiba saja terdengar di belakang Astri.  Astri berpaling dan melihat wajah Raam yang bersinar bagaikan matahari pagi.  “Kamu tahu, manajer itu langsung menandatangani kontrak pembelian selama satu tahun.  Selama ini dia selalu memperoleh kentang dari pasar tradisional.  Fluktuasi harganya tajam, membuat dia kesulitan menetapkan harga jual.  Ada sih beberapa pengusaha agrobisnis yang menawarkan produknya.  Tapi entah kenapa dia tidak bisa menerima mereka.”  Raam segera bercerita dengan antusias.  Sama sekali tidak memberi kesempatan pada Astri untuk menyela.  Matanya berbinar-binar.  Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. 
            Astri memandang Raam dengan sorot menerawang.  Dia ingat saat Agung mengabarkan promosi yang diterimanya di kantor.  Mata Agung yang berbinar-binar, sama seperti mata Raam saat ini.  Hanya saja mata Raam coklat, sedang mata Agung hitam kelam.  Ketika itu dia begitu bahagia, seolah masa depan yang gemilang ada di hadapannya.  Sekarang, dia malah menyesali promosi yang diterima Agung itu.  Kalau saja karier Agung tidak naik, tentu mereka tidak akan pernah memakai jasa seorang pembantu rumah tangga.  Kalau saja Agung tidak berpenghasilan besar, mungkin keluarganya masih tetap utuh.  Meskipun harus seteliti mungkin mengatur uang belanja, yang penting Agung masih tetap jadi staminya yang setia, yang sangat menyayanginya.  Kalau saja...
            “Astri...melamun ya?”  Suara Raam menyadarkan Astri dari lamunannya.  “Kenapa?”
            “Eh...tidak...tidak apa-apa kok... selamat ya...”
            “Suara kamu tidak seceria yang kuharapkan.  Kamu tidak senang mendengar keberhasilanku?”  Ada sebersit kecewa dalam suara Raam.  Mata coklatnya yang semula bersinar ceria, mendadak tampak suram.  “Benar, Astri?”
            “Eh...siapa bilang?  Nggak kok... aku senang sekali mendengar keberhasilan kamu.  Terus, bagaimana strategi harga ganjil yang kuanjurkan?”
            “Nah, itu satu nilai lebihku.  Hanya berbeda dua puluh lima rupiah per kilo, manajer itu memilih aku dibandingkan penawar lain.  Itu kan anjuran kamu, As!”
            “Oh ya...”  Astri berusaha menutupi kegalauannya dengan tawa sumbang.  Raam tahu itu.  Di luar dugaan Astri, tiba-tiba saja Raam meraih tangannya.  Lalu menggenggam jemari Astri erat.
            “As, apapun yang kamu pikirkan, tolong, jangan bersikap over seperti ini.  Aku tahu kamu sedang sedih.  Mata tidak bisa berdusta, As.  Sudahlah... tidak adil untukmu jika aku memaksamu ikut dalam kegembiraanku.  Kalau kamu tidak keberatan, bagilah kesedihanmu itu dengan orang lain.  Aku misalnya.”
            “Raam...”  Astri merasa matanya panas.  “Aku tidak apa-apa... semua baik-baik saja, Raam.  Aku tadi hanya...”  Astri tersenyum jengah.  “Aku teringat mantan suamiku.  Sedikit.”
            “Banyak juga tidak masalah, As.”  Raam tersenyum mengerti.  “Sepuluh tahun bersama seseorang yang kamu cintai, mustahil melupakannya begitu mudah.”  Raam melepaskan tangan Astri.  “Kamu tahu, kenapa sampai saat ini aku masih sendiri?”
            “Nggak suka buat komitmen.  Itu kan penyakit lelaki mapan seperti kamu, Raam.”
            “Oh ya... jadi seperti itu anggapan kaum wanita terhadap lelaki yang masih membujang di usia tiga puluh tiga tahun?”  Raam tertawa.  “Sebenarnya tidak, As.”  Raam menghela nafas panjang.  “Aku pernah jadi duda.” 
            Astri mendekap mulutnya dengan tangan.  “Kamu...”
            “Ah, dengar dulu, As.  Aku pernah dekat dengan seorang wanita.  Adik sepupuku sendiri.  Yah... tidak sedarah maupun sedaging.  Dia anak angkat pamanku.  Kami saling mencintai.  Sejak masih ingusan, rasanya.  Mala sangat berarti untukku, demikian juga aku baginya.”  Mata Raam menerawang jauh.  “Sejak masih kecil, kami saling menyebut papa dan mama.  Aku begitu ingin menyuntingnya sebagai istri, kelak, setelah kami sama-sama dewasa.  Tetapi banyak yang tidak bisa diseberangi di antara kami.  Akhirnya kami harus berpisah, benar-benar berpisah dan mengubur semua cita-cita yang kupupuk sejak masih ingusan.  Mala dinikahkan dengan seorang lelaki yang menurut ayahnya paling sesuai untuk Mala.  Aku... aku dipaksa menjadi duda.  Saat itu seluruh cita-citaku kandas.  Seluruh dunia seolah memusuhiku, tidak ada yang mengerti betapa dalam rasa cintaku pada Mala.  Aku tidak tahu, entah berapa lama aku harus berjuang untuk bangkit dari keputusasaan itu.”  Raam tersenyum.  “Tapi aku bisa...ya, aku bisa...  Sampai saat ini cintaku pada Mala belum pupus sepenuhnya.  Tetapi aku telah mengubah cinta itu menjadi cinta seorang kakak terhadap adiknya, seperti seharusnya.  Ada saat-saat di mana aku kembali terpuruk dalam kesedihan, penyesalan.  Aku tidak menghindari saat itu, aku menjalaninya.  Setelah saat itu lewat, maka aku kembali siap menjalani kehidupan ini.  Kamu tidak perlu menghindari saat-saat kamu teringat pada mantan suamimu, As.  Hadapi dan jalani saat itu.  Itu wajar, sangat normal.  Tetapi satu hal, kamu tidak boleh membiarkan perasaan itu mengendalikan kamu.  Ehm, jangan mencoba menahan aliran sungai.  Satu saat jika pertahanan itu bobol, maka kamu akan terhanyut di dalamnya.  Biarkan saja  semuanya mengalir apa adanya.”
            Astri menatap Raam.  Matanya berkaca-kaca.  “Terimakasih, Raam, buat nasehatmu.”
            “Hei... aku bukan nenek tua yang nyinyir dengan segala macam nasehat, As.  Aku cuma berbagi pengalaman.  Itu saja.  Kamu lihat kan hasil penerapan metode itu dalam kehidupanku?  Semuanya baik-baik kan?”
            “Ya...”
            “Wah... konsultasi apa nih...”  Amanda duduk di sisi Astri.  “Kayaknya kok serius banget...  Eh, bagaimana hasilnya Raam?”
            “Sukses, kontrak pembelian satu tahun.”
            “Satu tahun?”
            “Hooh!”  Raam tertawa girang.  Kali ini Astri ikut tertawa lepas.  Sama sekali tidak pura-pura seperti tadi.
            “Sekarang, jalankan langkah kedua.  Bagaimana caranya agar kontrak itu berjalan lebih dari satu tahun.  Ini namanya follow up.”  Tukas Amanda serius.  “Di sekitar kita banyak sekali keberhasilan yang hanya terjadi satu kali saja.  Produk-produk yang meledak di pasaran selama masa promosi, lalu hilang dalam ketatnya rimba persaingan.  Kamu tidak boleh seperti itu, Raam.  Anyway, kamu harus usahakan kontrak pembelian itu diperpanjang.”
            “Amy, satu kilo kentang saja belum dikirim ke restoran itu... kok terburu-buru sekali sih?”  Astri menatap sahabatnya dengan sorot bertanya.
            “Itulah yang dipikirkan produsen dan tim pemasaran produk-produk yang meledak dh pasaran hanya selama masa promosi.  Akhirnya, mereka gagal.  Justru karena belum mengirimkan satu kilo kentang saja ke restoran itu, strateginya harus kita tetapkan.  Ibaratnya, kita ambil kuda-kuda sebelum memulai suatu serangan.”
            Raam mendecakkan lidahnya dengan kagum.  “Kalian berdua benar-benar tim yang baik.  Saling melengkapi.  Nah, sekarang, apa strategi itu, Amy?”
                                                            ***
            Dokter Bambang memandang wajah perempuan muda yang tengah terbaring lemah di pembaringannya itu.  Sisa-sisa perjuangan meregang nyawa untuk melahirkan seorang anak manusia ke dunia ini, masih tampak jelas di wajah perempuan muda itu.  Sorot matanya penuh harap.  “Anak saya lelaki atau perempuan, Dok?”  Suara perempuan muda itu lemah, namun penuh harap.
            “Perempuan, cantik sekali.”  Dokter Bambang memegang tangan Salimah, memeriksa denyut nadinya yang agak lemah.  “Sekarang yang penting Ibu istirahat yang banyak.  Ibu harus berusaha agar cepat pulih.  Cepat sehat, agar bisa merawat bayi Ibu dengan baik.”
            “Iya Dok... terima kasih.”  Salimah tersenyum menahan haru.  Kalau saja Agung ada di sini, di sisinya.  Saat dia meregang nyawa untuk melahirkan anaknya, lelaki itu justru memilih untuk pergi ke luar kota.
            “Klien yang satu ini sangat berbobot, Sal.  Mengertilah.  Kalau aku sampai kehilangan dia, perusahaan kita akan kehilangan kesempatan terbaik.  Kamu kan sudah dewasa, seperti yang sering kamu katakan.  Lagipula, di sini kan banyak keluarga yang bisa menjagamu.”  Itu alasan Agung ketika meninggalkannya di ruang bersalin.  “Aku sudah pesan pada bagian administrasi, sudah kuberikan nomor kartu kreditku.  Mereka tahu apa yang terbaik untukmu, Sal.  Oke?”  Agung mengecup kening Sal, sekilas.  Tanpa menghiraukan air mata yang mulai membayang di pelupuk mata istrinya, lelaki itu pergi begitu saja.
            Kalau saja tidak ada kedua orang tuanya, kakak dan adiknya, mungkin saja proses kelahiran anaknya tidak akan berlangsung dengan baik.  Merekalah, keluarganya, yang terus mendampingi dan mendoakannya.  Suaminya pergi begitu saja.  Sal baru menyadari, bahwa sampai kapanpun Agung tidak akan bisa mencintainya dengan cinta sebesar yang telah diberikannya pada Astri.  Bersamaan dengan kebahagiaannya karena bisa melalui saat-saat sulit itu dengan baik, Sal merasa kesedihan yang dalam.  Ditatapnya Mak yang duduk di kaki tempat tidur, memijit kakinya dengan lembut. Mak yang selalu menunggunya dengan setia, Mak yang telah melahirkan sepuluh orang anak, menjadi pendukungnya yang setia.
            “Mak, kalau saja aku benar-benar menikah dengan Kusman, mungkin aku tidak kecewa seperti sekarang ini, Mak.”  Katanya lirih.  Mak yang duduk di sisi tempat tidur putrinya, tertawa pelan.
            “Oalah Nduk...Nduk...  Kamu ini bisa saja.  Kalau kamu jadi istrinya Kusman, mana bisa mengangkat keluargamu ke tempat seperti ini?  Kamu tetap saja sama seperti kakak-kakakmu itu.  Selalu susah mengatur uang belanja, agar bisa cukup untuk membayar ini dan itu.  Keponakan-keponakanmu tidak akan pernah jadi anak gedongan.”
            Sal merasa matanya panas.  “Mak, kenapa Mas Agung belum bisa melupakan istri pertamanya?”
            “Nduk... Neng Astri itu kan istri pertama, mereka belum cerai.  Ya tentu saja sulit untuk menyingkirkannya dari kehidupan suamimu.  Seharusnya kamu lebih bisa menempatkan diri sebagai istri muda.”
            “Tetapi perempuan itu sudah mencampakkan Mas Agung, Mak.  Sedikitpun dia tidak punya keinginan untuk mempertahankan cintanya pada Mas Agung.  Bodoh sekali Mas Agung, kenapa masih saja berpikir untuk rujuk kembali dengan perempuan itu.”
            “Sal, kamu jangan begitu.  Neng Astri itu orang baik, kamu jangan menyebutnya perempuan itu, kasar sekali.  Bagaimanapun, dia itu kan mantan majikanmu, dia baik pada kamu.  Kalau saja dia mau, dia bisa membuat kamu jatuh tanpa bisa bangun lagi.  Dia mau mundur, memberikan tempatnya pada kamu, itu sudah jadi rejekimu, Nduk.  Kamu jangan marah-marah lagi sama dia, ingat, anakmu itu perempuan.  Anak perempuan yang ibunya suka berbuat jahat, nasibnya akan jelek.”
            “Ah, Mak ini...”  Sal mengibaskan tangannya.  “Jadi selama ini nasibku baik ya Mak?”
            “Iya... Mak ini mana pernah punya hati jahat sama orang lain?”  Mak tertawa kecil.  Wanita setengah baya itu sama sekali lupa, bahwa perbuatan anaknya menghancurkan pernikahan orang lain, adalah perbuatan yang jahat.  Dia malah menyebut perbuatan itu rejeki bagi anaknya.
                                                            ***
            “Agung sudah punya anak.”  Astri merasa suaranya tercekat ketika memberitahukan berita kelahiran itu pada Amanda.  “Perempuan.  Katanya sih cantik jelita seperti ibunya.”
            Amanda tertawa keras.  “Bayi itu sama saja tampangnya.  Mana bisa disebut cantik jelita seperti ibunya.  Ajaib sekali kalau bayi baru lahir bisa secantik ibunya yang hampir dua puluh tahun hidup di dunia...”
            “Agung yang meneleponku semalam.  Dia menghubungiku dari Jakarta.  Heran, kenapa dia meninggalkan Sal berjuang sendiri melahirkan anaknya.”
            “Itu tandanya dia masih mencintai kamu, As.”
            “Omong kosong.”  Astri menepuk bahu Amanda keras-keras.  “Berhentilah bicara seperti itu, Am.”  Astri merenung sejenak.  “Kurasa sudah waktunya aku mengajukan gugatan cerai secara resmi.  Agung pasti sudah cukup kuat untuk menerima kenyataan bahwa dia tidak mungkin memiliki dua istri.  Sekarang dia sudah punya anak dari Sal.  Aku sendiri...”  Astri membuka tangannya lebar-lebar.  “Aku sendiri sudah punya pekerjaan yang rasanya cukup untuk menunjang hidupku dan Jojo.  Tak selamanya mendung itu kelabu, iya kan Am?”
            Amanda terdiam menatap sahabatnya.  “Jadi kamu betul-betul ingin bercerai dari Agung?  Kamu membiarkan tempatmu direbut oleh perempuan itu?”
            “Apalagi yang bisa diharapkan dari seorang suami yang telah mengkhianati istrinya, Am?  Seribu kali dia diberi kesempatan, seribu kali juga dia menodai kesempatan itu.  Ayah Agung sendiri yang menjadi buktinya.  Percayalah! ”
            “Kamu terlalu berlebihan, As.”  Amanda manggut-manggut.  Dia tahu betul watak Astri, bagi Astri, pepatah ‘sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya’ berlaku mutlak.  Sahabatnya itu tidak suka pengkhianatan.  Mungkin saja trauma masa kecil Astri tidak akan pernah hilang. 
            Amanda tahu, ayah Astri menikah lagi ketika usia Astri masih lima tahun.  Setahun kemudian ibunya melakukan hal yang sama, dengan alasan membalas perlakuan ayah Astri.  Sejak saat itu Astri membenci pengkhianatan, karena pengkhianatan kedua orang tuanya itulah yang membuat dia hidup terlantar.  Berpindah dari satu tante ke tante yang lain.  Dari satu oma ke oma yang lain.  Siapa sangka, pernikahannya dengan Agung juga kandas di tengah jalan.  Amanda merasakan kekecewaan sahabatnya, dan memahaminya.
                                                            ***
            “Perceraian...”  Agung tercekat, menatap Astri yang duduk tenang di hadapannya.  “Bukankah kita pernah sepakat...”
            “Mas, saat itu aku hanya tidak tega melihat keadaan Mas.”  Astri menyela kata-kata Agung.  “Aku tidak mau Jojo malu punya ayah yang mati bunuh diri.  Itu cara mengakhiri hidup yang tidak terhormat, Mas.  Aku juga kasihan pada Sal.  Kalau Mas sampai meninggal, bagaimana nasibnya?  Mengertilah Mas, aku hanya menunda perceraian kita...”
            “Menunda...”  Agung mengepalkan kedua tangannya.  “Tidak bisakah kamu memaafkan aku, As.  Kita mulai lagi semua dari awal.  Percayalah, berdua kita akan mengubur kenangan pahit ini.  Sal cuma ingin hartaku.  Tidak lebih...”
            “Jangan serendah itu menilai seorang wanita, Mas.”  Tukas Astri ketus.  “Sal sangat mencintai Mas, aku tahu pasti itu.  Aku tidak mungkin menghancurkan impiannya.”
            “Kamu memikirkan orang lain, Sal, Jojo...lalu bagaimana dengan dirimu sendiri?  Mimpimu?  Mimpi yang kita bangun bertahun-tahun, As?”
            “Mimpi itu berakhir ketika kamu mengkhianati cinta kita, Mas.  Tidak ada lagi yang bisa kita pertahankan atau kita bangun bersama.  Semua sudah hancur, dan air mataku sudah habis pada malam-malam itu, saat aku menyadari ketidakberdayaanku sebagai seorang istri yang dikhianati suaminya.”  Astri menghela nafas panjang.  “Cobalah memahami aku, Mas.  Tidak mungkin lagi kita hidup bersama.  Kalau masih ada rasa belas kasihanmu padaku, lepaskanlah aku dan Jojo.  Biarkan kami menjalani hidup ini dengan kelegaan.  Bersikaplah dewasa, Mas.”
            Agung duduk di sofa, meremas rambutnya dengan kedua tangan.  Dahinya berkerut-kerut.  “Kapan kamu mau kita mengajukan gugatan cerai itu?”
            “Aku yang akan mengajukan, lewat pengacaraku.  Aku harap, sidang nanti bisa berjalan lancar, Mas.”  Astri berdiri.  Diulurkannya tangannya, menyentuh bahu Agung.  “Anggaplah apa yang pernah kita rasakan bersama adalah satu bagian dari hidup ini, Mas.  Jangan mencoba untuk menguburnya dalam-dalam, biarkan kenangan akan saat-saat itu sesekali datang menyapa.  Satu waktu, Mas akan terbiasa hidup tanpa kenangan itu lagi.  Ada Sal dengan lautan cintanya di sisi Mas.”
            “As...”  Agung meraih tangan Astri, menciumnya berkali-kali.  “Kumohon, As.  Maafkanlah aku... segera setelah anak Sal lahir, aku akan menceraikannya.  Kita akan merajut lagi kebahagian kita berdua, As.”
            “Di atas penderitaan orang lain?  Tidak Mas.  Keputusanku sudah bulat.  Sal dan anaknya jauh lebih membutuhkan Mas.  Aku bisa bekerja sendiri, lagi pula aku hanya punya satu tanggung jawab, Jojo.  Sal masih harus memikirkan keluarganya, itu tidak mungkin dipikulnya sendiri, Mas.”
            “Astri...kamu merasa seperti seorang malaikat ya?  Kamu ingin menjadi seorang dewi dengan membiarkan orang lain mengambil keuntungan dari penderitaan kamu...kamu merasa hebat bisa merenggut kebahagiaan orang yang telah melukaimu...”
            “Hentikan, Mas!”  Astri nyaris berteriak.  “Mas bicara seolah semua ini terjadi atas kemauanku.  Mas sudah bermain api, tidak mungkin memadamkannya begitu saja.  Kalaupun api itu padam, maka puing-puing yang ditinggalkannya tidak akan kembali utuh seperti semula, Mas.”  Astri merasa sesuatu dalam dadanya ingin meledak.  Tapi Astri tahu, dia harus menahan ledakan itu.  Harus.  “Sudahlah, Mas.  Terimalah semua dengan hati yang lapang.  Hanya dengan cara itu kehidupan ini bisa terus berjalan.  Sekarang aku memohon untuk Jojo.  Jika pernikahan ini tetap kita pertahankan, dia harus menerima banyak pertengkaran yang pasti akan melukai batinnya.  Please, Mas.”
            “As, aku...”
            “Percayalah, semua akan baik-baik saja.  Hei... Mas yang sering bilang, waktu adalah sahabat yang terbaik.  Satu saat Mas akan bisa menerima semua ini dengan sangat baik.  Percayalah...”
            “Aku...”
            “Maafkan aku, Mas.  Masih ada klien yang harus kutemui.  Jaga diri baik-baik, lakukan itu untuk Jojo, anak kita.”  Astri menepuk-nepuk tangan Agung yang ada dalam genggamannya.  “Banyaklah mendekatkan diri pada Tuhan, Mas.  DIA yang akan mengajarmu bagaimana menghadapi saat-saat sulit dalam hidup ini.”
            Astri melangkah menuju ke pintu.  Ketika menutup pintu kantor Agung, pada saat yang sama seluruh kenangan manis tentang Agung telah ditutupnya.  Astri melangkah menuruni anak tangga dengan hati yang lega.  Rasanya dunia lebih cerah kini.  Sosok Agung tidak akan menghantui pikirannya lagi.  Astri sangat percaya bahwa Agung cukup dewasa untuk menerima permintaannya.  Astri juga sangat percaya, Salimah pasti bisa membahagiakan Agung.
                                                            ***
            Salimah merasa lututnya lemas.  Bibirnya bergetar ketika menyebut nama dokter Haris.  “Dokter Haris...betulkah apa yang Dokter katakan tadi?”
            “Iya, Bu. Ini tampak sangat nyata dari bola mata putri Ibu yang sama sekali tidak bereaksi terhadap sinar yang dikeluarkan senter ini.  Dengan sangat menyesal saya harus mengatakan bahwa putri Ibu buta.”
            Salimah merasa sekelilingnya berputar dan berubah menjadi gelap.  Ketika tersadar, dia sudah dibaringkan di sebuah sofa panjang.  Dokter Haris duduk di sisinya, sementara seorang perawat tengah mengukur tekanan darahnya.
            “Syukurlah Ibu sudah sadar.”  Dokter Haris memberi tanda agar sang perawat meninggalkan mereka.  “Semua harus dihadapi dengan tabah, Bu.  Kebutaan putri Ibu merupakan cacat bawaan.  Sama sekali bukan karena kelalaian Ibu.  Tapi lihatlah, dia sangat cantik, Bu.  Dia pasti memiliki kelebihan yang bisa menutupi cacat matanya itu.”
            “Tapi dia buta, Dok.  Dia buta... anak saya buta!”  Sal menangis tersedu.  Dia sama sekali tidak bisa menerima kenyataan ini.  Anak yang begitu cantik, yang membuat Agung sangat bangga ketika menimangnya untuk pertama kali, ternyata buta. Apa kata Agung nanti? 
            “Banyak orang-orang buta yang menghasilkan karya besar, Bu.  Lagi pula, sekarang ini kesempatan belajar bagi orang-orang buta sama luasnya dengan kesempatan bagi orang yang sehat.  Yang terpenting adalah bagaimana kita menanamkan kepercayaan diri yang kuat padanya.  Sangat penting untuk membuatnya merasa dihargai, merasa tidak dibedakan dengan anak-anak lain yang sehat.”
       :     Tapi Salimah sudah tidak mendengar kata-kata Dokter Haris.  Tangisnya sudah memuncak, hingga bahunya terguncang kuat.  Rasanya, seluruh harapan yang pernah dirasanya begitu semarak dalam hari-harinya, pudar seketika. 
                                                            ***
            “Apa?  Riris  buta?”  Rahang Agung mengeras mendengar tangisan Sal.  Kedua tangannya terkepal kuat.  “Bagaimana mungkin?”  Lelaki itu berjalan mondar-mandir.  Seolah dengan begitu dia bisa mengusir tangisan Sal yang terus meratap tentang kebutaan anaknya. 
            Tiba-tiba dia berbalik, tangannya teracung ke arah Sal.  “Ini pasti akibat dosamu.  Kamu sudah mengkhianati kebaikan hati Astri, kamu sengaja menggoda aku, sampai akhirnya anak itu lahir.  Anak itulah yang harus menanggung dosamu, Sal.  Kamu dikutuk Tuhan!”  Suara Agung terdengar dingin, penuh tuduhan.  Sal bergidik mendengar suara itu.  Dia menengadah, menatap lelaki yang telah menuduhnya dengan demikian keji itu. 
            “Mas... jadi sdperti itulah anggapanmu selama ini?  Aku yang menggodamu?  Karena aku seorang pembantu, dan kamu majikan.  Semua yang terjadi adalah salahku, semua yang terjadi adalah karena aku.  Mas bersih dari segala dosa, Mas bersih dari segala kesalahan, karena Mas adalah majikan, Mas lebih tinggi dari aku!”  Teriak Sal.  “Mengapa selalu orang miskin dihina sampai dia tidak bisa mengangkat mukanya lagi?  Jadi Tuhan mengutukku, jadi begitu?”  Tangis Sal kian keras.
            “Diam!”  Bentak Agung keras.  “Semua ini memang salahmu.  Kamu tahu...hidupku dengan Astri tidak akan pernah porak poranda jika kamu tidak merusaknya.  Kamu ...”  Agung menggertakkan giginya.  Sejenak kemudian lelaki itu sudah meninggalkan Sal yang masih tetap tergugu di tepi pembaringan.  Sama sekali tidak dipedulikannya perasaan Sal yang hancur lebur bagaikan debu.
                                                            ***
            “Nduk...jangan gegabah mengambil keputusan.”  Mbok Jah menatap anaknya yang sibuk menandatangani berkas-berkas yang tidak pernah dilihatnya.  “Ingat anakmu, Nduk.  Dia masih sangat kecil.  Dia membutuhkan kamu, Nduk.”
            “Biar saja dia Mak.  Biar saja dia sendirian, lalu mati pelan-pelan.  Hanya dengan cara itu dia bisa menebus dosanya pada ibu yang telah melahirkannya dengan susah payah.  Begitu besar harapanku padanya, ternyata dia lahir buta.  Apa yang bisa diberikan seorang anak perempuan buta kepada ibunya?  Dia tidak akan pernah mengangkat harkat dan martabat ibunya.”  Sal memandang ibunya dengan tatapan pedih.  “Harkat dan martabat yang telah dihancurkan oleh ayahnya sendiri?”
            “Lalu kemana kamu akan pergi, Nduk?”
            “HongKong.  Di sana sangat menjanjikan, Mak.  Mak ingat si Murni?  Dia kan kerja di sana.  Dia yang mengajak aku ke sana.  Dia sudah punya banyak kenalan di sana.”
            “Nduk, kamu itu bisa apa?”
            “Aku ini pembantu rumah tangga, Mak.  Sampai mati juga tetap seperti itu.  Meskipun aku dinikahi seorang majikan, tetapi di mata suamiku, aku tetap seorang pembantu.  Buat apa aku memaksakan diri menjadi orang lain?  Itu satu-satunya kemampuan yang kumiliki.”
            “Nduk...”  Mbok Jah menangis.  Mata tuanya dipenuhi genangan air mata.  Sejak Dokter Haris menyatakan bahwa anak Salimah buta, seluruh dunia seolah berputar terbalik bagi Mbok Jah dan keluarganya.  Salimah jadi pemarah, sedikit tersinggung saja dia meledak dengan hebat.  Masalah harkat dan martabat terus menerus disinggungnya.  Sekarang anak itu malah memutuskan untuk pergi ke luar negeri.  Pergi ke HongKong katanya.  Sampai usianya yang mendekati lima puluh tahun ini, Mbok Jah tidak pernah setuju orang-orang yang berbondong-bondong pergi bekerja ke luar negeri.  Biar mereka bilang gajinya bagus, bisa jadi orang kaya, Mbok Jah tetap tidak setuju.  Sekarang, anaknya sendiri yang akan pergi ke sana, bekerja ke luar negeri.
            “Nduk, nanti Mak kangen sama kamu.  Nanti anakmu ikut siapa, Nduk?”
            “Itu urusan ayahnya, Mak.  Kalau ayahnya masih mau mempedulikan anaknya.”
            “Kamu saja yang ibunya, tidak peduli, kok bisa mengharapkan ayahnya peduli.  Ikatan batin anak dengan ibunya itu lebih kuat daripada dengan ayahnya, Nduk.”
            “Aku sudah tidak peduli lagi, Mak.  Kalau Mak mau, rawat saja anak itu.  Terserah mau diapakan.  Aku betul-betul tidak peduli.”  Suara Sal terdengar keji, membuat Mbok Jah bergidik mendengarnya.  Saat itu, rasanya dia sama sekali tidak mengenal putri kandungnya sendiri.
                                                ***
            “Bagaimana gugatan cerai yang kamu ajukan, As?”  Tanya Amanda sembari menghirup secangkir kopi hangat.  Ditatapnya sahabatnya yang tengah sibuk memeriksa laporan keuangan klien mereka.  “Sudah diterima Agung?”
            “Belum kuajukan.  Entahlah, aku masih menunggu waktu yang tepat.”  Astri menghentikan kegiatannya.  Dia termenung sejenak.  “Rasanya, aku takut Agung mengulangi kebodohannya dulu.  Kalau dia sampai melakukan perbuatan bodoh itu lagi, dan berhasil, apa yang harus kukatakan pada Jojo kelak?  Ayahnya bunuh diri karena ibunya minta dicerai?”  Astri menggelengkan kepalanya berkali-kali.  “Nanti kalau Agung menelepon menanyakan kabar tentang gugatan itu, artinya dia sudah siap.  Saat itulah aku akan memasukkan gugatanku.”
            “Itu kan sudah enam bulan yang lalu, As.  Sejak kamu memutuskan untuk bercerai dengan Agung, sudah enam bulan waktu berlalu.  Kamu ingat, waktu itu anak Agung baru saja lahir, bulan Juni kan?  Sekarang sudah Desember.”
            Astri tergelak.  “Iya...heran juga aku ini.  Ketika menyampaikan keputusanku pada Agung dulu, rasanya aku pasti memasukkan gugatan ceraiku sehari sesudahnya.  Ternyata... sampai sekarang aku belum juga memasukkan gugatan itu.  Mungkin juga karena sudah agak lama Agung tidak menghubungiku.”
            “Iya, bagaimana kabar mereka ya?  Ehm, maksudku, biasanya kan kamu suka cerita tentang perkembangan hubungan Agung dengan Sal.  Apa mereka masih tetap rukun?”
            “Pasti, Am.  Pasti mereka masih tetap rukun.  Memangnya apa yang kamu harapkan?”  Astri menatap sahabatnya, tajam.  “Kamu tidak berharap mereka bertengkar lalu berpisah sebelum aku memasukkan gugatan ceraiku kan?”
            “Siapa tahu?”  Amanda tertawa.  “Rasanya sih, cinta Agung dan Sal itu tidak sekuat cinta yang pernah dimiliki Agung terhadapmu, As.  Itu pasti.”
            “Kamu sok tahu!” 
                                                                        ***
            “Sal menitipkan ini untuk Nak Agung.”  Pak Saturi menyodorkan sepucuk surat ke tangan menantunya.  “Dia minta maaf karena tidak sempat pamit.  Begitu visanya keluar, dia segera berangkat ke HongKong.”
            “HongKong?”  Agung tercekat, ditatapnya wajah kedua orang tua Sal yang memucat.  Segera dirobeknya amplop putih itu. 
            Mas, saat surat ini sampai ke tangan Mas, mungkin aku sudah tidak di sisi Mas lagi.  Aku memutuskan untuk pergi, Mas.  Karena aku tahu, sampai kapan pun, di mata Mas Agung aku ini tetap seorang pembantu rumah tangga, bukan seorang istri.  Aku lelah mencoba meraih cinta Mas Agung.  Aku tahu, Mas Agung menyalahkan aku atas hancurnya pernikahan Mas dengan Bu Astri.  Semua memang salahku, Mas.  Karena itulah Tuhan menghukumku dengan memberikan seorang anak yang buta.  Mas tidak perlu mengkhawatirkan aku.  Aku punya kemampuan menjadi seorang pembantu rumah tangga yang baik, aku pasti bisa bekerja dengan baik di HongKong.  Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang pernah kulakukan ketika bekerja pada Mas Agung dan Bu Astri.  Aku akan jaga diri baik-baik.    Mas, aku tidak akan memperpanjang surat ini lagi.  Mas tidak usah mengkhawatirkan Riris.  Bapak dan Mak akan mengurusnya sementara waktu.  Kalau anak itu memang ditakdirkan untuk hidup, maka dia akan berumur panjang.  Tapi kalau memang betul dia adalah kutukan Tuhan atas dosaku, maka dia akan segera berakhir.  Selamat tinggal Mas.  Semoga setelah aku pergi, Mas dan Bu Astri bisa rukun kembali.  Salam hangat, Salimah.
            Agung meremas surat itu dengan satu gerakan.  “Dia pergi tanpa memberitahu suaminya?”  Suaranya membahana.  “Istri macam apa itu?”
            “Nak, jangan terus menyalahkan Sal.  Tiga bulan Sal tinggal bersama kami, Nak Agung sama sekali tidak menjenguknya.”
            “Tapi dia masih bebas menggunakan kartu kreditku kan?  Dia sudah menguras banyak dari sana.  Memang itu yang dia mau kan?”
            “Nak Agung, berhentilah menghina Sal.”
            “Ya, aku menghina Sal, dan juga kalian.  Kalau bukan karena kalian yang bermimpi jadi orang kaya, mana mungkin rumah tanggaku dan Astri bisa berantakan?”
            Pak Saturi merasa dadanya sakit sekali.  “Diam, jangan pikir karena kamu orang kaya, kamu bisa seenaknya merendahkan harga diri orang miskin seperti kami!”
            “Bukan urusanku!”  Agung berdiri, melangkah meninggalkan kedua orang tua Sal begitu saja. 
            Mbok Jah memegang tangan suaminya erat-erat.  Menahan lelaki itu agar tidak menyusul Agung.
            “Sabar Pak, sudahlah.  Sudah.  Ingat Riris, kasihan dia.  Kalau Nak Agung marah dan tidak mau membiayai anaknya lagi, dari mana kita dapat uang untuk memelihara Riris, dan juga cucu kita lainnya, yang sudah terbiasa hidup enak satu tahun ini?”        
            Pak Saturi merasa matanya panas.  Lelaki parobaya itu menangis tergugu.  Ketika Sal memberitahukan kehamilannya dulu, dia sudah merasakan firasat yang jelek.  Pikirnya saat itu, majikan Sal itu pasti tidak mau menikahi anaknya, karena itulah perasaannya tak enak.  Tapi setelah Sal dinikahi secara resmi, bahkan Sal berhasil mengalahkan istri pertama majikannya itu, perasaan tak enak terus menghantui Pak Saturi.  Ternyata inilah buktinya.  Kehidupan Salimah, anaknya nomor delapan, yang paling cantik diantara saudara-saudaranya, memang sudah hancur sejak dihamili majikannya.  Meskipun sempat dinikahi, toh akhirnya semua hancur berantakan. 
            “Mak, kenapa kita ini jadi orang susah terus?  Orang sering bilang, kalau roda selalu berputar.  Tapi rasanya, seumur hidup aku tidak akan pernah berada di atas.  Aku akan selalu jadi orang susah sampai aku mati.”  Serunya tertahan.
                                                            ***
            Malam sudah larut, tetapi Astri masih belum mengantuk. Mungkin itu pengaruh secangkir kopi kental yang disajikan Mbok Min sore tadi.  Astri tengah membaca hasil laporan yang dikerjakan Fany ketika telepon di sisi tempat tidurnya berbunyi.  Masih sambil membaca laporan itu, diangkatnya handel telepon.  “Halo, selamat malam...” 
            Seseorang berbicara diseberang sana.  Suaranya terdengar bagaikan di alam mimpi.  Seperti sesuatu yang bergema dari kejauhan.  Astri merasa tubuhnya lemas, tak bertenaga sama sekali.  Handel telepon yang dipegangnya turun pelahan.  Wajahnya pucat pasi, seolah tak sebutir darah merah pun yang mengalir dalam tubuhnya.
            “Namaku Agung Prasetyo, kelas tiga.  Kamu siapa?”
            “Ehm, boleh nggak semisal persahabatan kita ini ditingkatkan menjadi suatu hubungan yang disebut asmara?”
            “Maukah kamu menikah denganku, Astrina Dewanti?”
            “Aku sangat mencintai Astrina Dewanti.  Selamanya.”
            “Aku tidak tahu mengapa semua ini terjadi.  Aku mencintaimu, terlalu mencintaimu.”
            “Tidak bisakah kamu memaafkan aku As?  Kita mulai lagi semua dari awal.”
            “Agung....tidak...”  Astri merasa kegelapan yang pekat menyelubunginya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar