Senin, 07 Mei 2012

Tak Selamanya Mendung Itu Kelabu Bagian Satu



Ruang laboratorium itu terasa dilanda kesejukan luar biasa.  Bidan setengah baya yang menyodorkan hasil tes padanya, seolah menjelma menjadi Kim Kardashian yang luar biasa menawan.  Pendek kata, semua jadi terasa indah.
            “Selamat, Nyonya.  Anda telah menjadi seorang calon ibu!”  Bidan tersebut menjabat tangan Astri yang terasa dingin.  “Jangan lupa, periksakan kehamilan Nyonya setidaknya satu bulan sekali.  Makan makanan bergizi, dan jangan lupa susu!”
            “Terimakasih, Sus!”  Astri mendekap amplop berisi hasil tes kehamilannya, matanya berbinar sekaligus berkaca-kaca.  Akhirnya, setelah penantian hampir dua tahun!
                                                            ***
            “Jangan makan petis, As.  Nanti anakmu kulitnya kotor!”
            “Jangan berdiri di ambang pintu, nanti anakmu susah dilahirkan!”
            “Jangan melilitkan handuk di leher, nanti anakmu terbelit usus!”
            “Jangan mengantongi telur, nanti anakmu kepalanya benjol-benjol!”
            Begitulah, beraneka macam nasehat diterima Astri.  Tentu saja, nasehat-nasehat yang dianggapnya konyol, tidak diturutnya.  Hanya menganggukkan kepala pada si pemberi nasehat, tapi mengeluarkan kembali nasehatnya lewat telinga kiri.  Tapi semua itu tidak pernah menyurutkan kebahagiaan Astri. 
            Terlebih, sejak dinyatakan positif hamil, Astri seolah mampu merasakan adanya pertumbuhan itu di dalam dirinya.  Perasaannya jadi lebih sensitif, lebih lembut, dan cintanya pada Agung...  Ah!  Semakin hari semakin dalam saja...
            Agung, tampaknya tak jauh berbeda.  Tiap akan berangkat bekerja, dia tidak hanya mengecup kening Astri, tetapi juga berpamitan kepada si kecil yang tengah bergelung dalam kehangatan rahim Astri.  “Jaga baik-baik anak kita, As.”  Astri hanya tertawa.  Tanpa diminta Agung pun, dia akan menjaganya baik-baik.
                                                            ***
            Hari-hari Astri yang semula terasa sepi dan hambar, hanya begitu-begitu saja, sekarang terasa indah penuh warna.  Pagi hari, saat bangun pagi, dia tak pernah lupa mengucapkan selamat pagi pada bayinya.  Senyumnya senantiasa merekah tiap kali mempersiapkan sarapan untuk dirinya dan untuk Agung.  Bahkan saat-saat melelahkan di siang hari, usai memasak, atau saat menyeterika, Astri tiada hentinya merasakan kebahagiaan itu.
            Dia, dan Agungnya yang terkasih, akan memiliki seorang buah hati.  Curahan kasih mereka berdua.  Sejuta impian dan harap dia taburkan dalam hatinya.  Mungkin, karena itulah semua pekerjaan jadi terasa ringan.
            Tapi Agung berpendapat lain.
            “As, semakin tua usia kehamilanmu, kamu harus semakin banyak istirahat.”  Agung memulai pembicaraan itu, tepat ketika usia kehamilan Astri menginjak bulan kelima.
            “Lalu kenapa?”  Astri mengangkat wajah, agak meluruskan punggungnya yang membungkuk waktu merajut kaus kaki untuk sang calon bayi.  “Apa kamu punya ide untuk menggantikan tugasku di dapur, mencuci, dan setrika?”
            “Kenapa tidak, Sayang?”  Agung duduk di sisi Astri.  Melingkarkan tangan kanannya ke bahu Astri.  “Seorang pembantu rumah tangga, akan sangat menolongmu.”
            “Ah...”  Astri menghela nafas panjang.  “Itu akan mengurangi anggaran kita untuk si kecil. Coba bayangkan, kalau kita bisa menabung seratus lima puluh ribu rupiah tiap bulannya...”
            “Sstttt....jangan terlalu memikirkannya, As.  Kamu tahu, bulan depan aku dapat promosi sebagai kepala bagian keuangan.  Mulai bulan depan, gajiku akan meningkat hampir tiga puluh persen.  Tiga puluh persen itulah yang kita tabung untuk si kecil!”
            “Tapi, di mana dia akan tidur nanti?  Rumah kita cuma punya dua kamar...”
            “Nah!”  Agung berdiri.  Mengacaukan rambut tebal Astri.  “Pembantu itu tidak usah menginap di sini.  Dia datang pagi-pagi, pulang selepas Maghrib.  Penyelesaian yang sederhana kan?”
            “Iya...”  Astri menatap Agung dengan sorot menyelidik.  “Apa kamu sudah punya calon sih?”
            Agung berdehem.  “Begini, kamu ingat kan, Bapak becak yang biasa mangkal di depan BKIA tempat kamu periksa?”
            Astri mengeryitkan dahinya sejenak, lalu mengangguk mengiyakan.  “Yang tua, berkumis dan selalu pakai kaos oblong putih itu kan?  Yang selalu kebagian senyummu tiap kali kita akan pulang?” 
            “Iya...iya...”  Agung mengepalkan kedua tangannya, ciri khasnya bila sedang bersemangat.  “Anak Pak Saturi itu yang mau kerja.  Usianya baru lima belas.  Sekolahnya cuma sampai SMP kelas dua.   Maklum, keluarganya orang susah, tidak ada uang untuk melanjutkan sekolah.”
            Kelembutan Astri segera tersentuh.
            “Memangnya berapa sih anak Pak Saturi itu?”
            “Sepuluh.  Salimah, yang mau kerja itu, anak nomor delapan.  Masih ada dua adiknya.  Hidup mereka prihatin, pokoknya!”
            “Ehm... kok kamu tahu banyak tentang mereka?”
            Agung tertawa kecil.  “Waktu nunggu kamu giliran diperiksa, aku sering ngobrol  dengan Pak Saturi.  Bagaimana?”
            Astri tersenyum tipis.  “Bagaimana ya...”  Dia memainkan bibirnya.  “Aku tahu maksud kamu baik, Gung.  Tapi rasanya aku bener-bener belum butuh seorang pembantu.  Entah nanti!”
            Agung angkat bahu. “As...”
            “Kalau aku sudah benar-benar membutuhkan seorang pembantu, tentu aku akan memprioritaskan anak Pak...siapa, eh, Pak Saturi itu!  Percaya deh!” 
            Agung angkat bahu, lagi.  Astri punya kemauan yang keras.  Sekali dia bilang tidak, maka tak ada gunanya memaksa lebih lanjut.  “Terserah kamu sajalah...  Yang penting, kamu harus jaga diri dan anak kita baik-baik.  Oke?  Sekarang, kamu harus istirahat.  Masih ada enam bulan lagi untuk merajut kaus kaki yang hangat untuk si kecil.  Ya!”  Agung menyentuh ujung hidung Astri, penuh rasa sayang.  Astri bisa merasakan getaran rasa sayang itu menyentuh dinding-dinding hatinya.  Seorang pembantu?  Ah, Agung bisa-bisa saja!
***
            Ibu datang.  Wanita baya yang selalu berpenampilan rapi itu, langsung memberondong Astri dengan sederet nasehat yang membuat Astri tersenyum simpul.
            “Eh, kalau diberitahu orang tua, jangan cuma senyum begitu!”  Ibu menekan bahu Astri agar duduk di sisinya.  “Agung itu benar.  Kamu harus pakai jasa pembantu.  Memang sih ibu hamil itu harus banyak bergerak agar si kecil bisa lahir dengan lancar.  Tapi perhitungkan daya tahan tubuhmu juga dong!”
            Ibu memandang anak menantunya itu dengan sorot penuh perhatian.  “Agung cerita, kalau kamu dua kali pendarahan.  Iya?  Sudah periksa ke dokter belum?  Ibu antar ya?”
            Astri tersenyum geli.  “Memangnya berapa tebal isi laporan Agung, Bu?”
            Ibu tertawa ditahan.  “Kamu ini, memangnya orang kuliah, pakai laporan segala?”
            “Habis, Agung kok rajin sekali cerita tentang Astri pada Ibu?”
            “Itu tandanya dia perhatian sama kamu, As.  Bagaimana, kamu mau kan pakai jasa pembantu?”
            Astri memainkan bibirnya ke kiri kanan, pembawaannya sejak remaja.  “Jadi kedatangan Ibu ini, dalam rangka membujuk Astri tho?”
            “Bukan begitu, Nak!”  Ibu menghela nafas panjang.  “Agung, juga Ibu, cuma ingin kamu dan bayi kalian baik.  Itu saja!  Lha kalau pagi-pagi kamu sudah bangun, cuci baju, menyiapkan sarapan Agung, lalu sepanjang hari sibuk memasak... kapan waktumu untuk istirahat?” 
            “Ah, usia kandungan Astri kan masih muda!”
            “Justru karena masih muda itu harus dijaga baik-baik.  Ya Nak?”
            Astri terdiam.  Kalau Agung sampai menurunkan Ibu sebagai bala bantuan, bisa dipastikan bahwa hal itu memang penting untuknya.  Astri tahu, Ibu sangat jarang mencampuri ururan rumah tangga mereka.  Jika Ibu sampai bersedia datang jauh-jauh dari Madiun, hanya untuk meyakinkan Astri agar mau memakai jasa seorang pembantu...
            “Baiklah Bu.  Tapi...”  Astri tersenyum sambil meraih tangan sang Ibu.  “Ini karena Ibu yang minta lho!”
            Ibu tertawa, agak keras.  “Astri... Astri...”
                                                            ***
            Salimah hadir saat usia kandungan Astri menginjak bulan keempat.  Bayangan Astri tentang sosok pembantu yang sok tahu seperti pembantu tetangga sebelah, tidak ditemuinya pada Salimah.
            Anak itu benar-benar sosok yang baru matang.  Usianya saja baru enam belas tahun. Bukan lima belas seperti kata Agung. Dengan raut wajah berbentuk hati yang manis, rambut sebahu yang dikepang dua, serta sepasang mata lebar nan bening yang penuh kepolosan, Salimah segera merebut simpati dan kasih sayang Astri.  Astri yang sejak dulu ingin memiliki seorang adik, seolah menemukannya dalam diri Salimah.
            Bukan itu saja, Salimah rajin bukan main.  Dia sama sekali tidak protes ketika gudang barang bekas di samping dapur dibenahi dan dijadikan kamar tidurnya.  Semula, memang dia datang pukul enam pagi dan pulang pukul enam sore.  Tapi setelah Astri merasa cocok dengan anak baru gede itu, Astri yang meminta Salimah tinggal saja di rumahnya.
            Bangun pukul empat pagi, dia segera mandi.  Usai sholat Subuh, dia mulai rutinitasnya.  Menyapu, mengepel, mempersiapkan segala sesuatunya.  Ketika Astri bangun pukul setengah enam pagi, semua hampir sudah siap.  Pakaian-pakaian kotor sudah tercuci bersih..  Pukul enam pagi nanti, Sal akan menjemurnya.  Ketika Agung berangkat kerja, Salimah sudah siap dengan keranjang belanjanya.  Masakannya punya rasa pas, tidak kurang tidak lebih.  Caranya mengatur menu juga sesuai.  Astri bahkan berpikir kalau-kalau Sal lulusan SMKK.  Padahal, tentu saja itu pikiran melantur.
            Mau tidak mau, Astri harus mengakui, bahwa kehadiran Salimah menyelamatkannya dari sebuah dunia kecil yang hampir-hampir menenggelamkannya dalam rutinitas yang membosankan.
            Mengajar Salimah merajut, adalah keasyikan tersendiri.  Anak itu ternyata cukup cerdas.  Baru satu minggu belajar, dia sudah membuat kejutan dengan merajut sepasang kaus kaki biru muda untuk si kecil.  Sampai saat itu, Sal membuat Astri semakin mencintai Agung.  Bukankah Agung yang memaksanya memakai jasa Sal?
***
            “Bagaimana Dok, kira-kira kapan anak saya lahir?”  Agung menatap Dokter Wisnu yang baru saja selesai memeriksa Astri.  Dokter setengah baya itu menurunkan kaca matanya.  Memandang dengan mata tertawa. 
            “Ehm...anak pertama memang selalu dipaksa agar segera keluar.  Padahal, dia kan masih senang di dalam.  Hangat, bebas polusi.”
            “Tapi, tidak ada kelainan apa-apa kan, Dok?”
            “O tidak...tentu saja tidak.  Nyonya Astri masih muda.  Kuat, sehat, tidak merokok dan tidak menggunakan obat-obat terlarang. Tentu saja...Insya Allah, anaknya akan baik-baik saja.”
            Agung menatap gemas pada Dokter yang mulai menulis sesuatu.
            “Masak kapan anak saya lahir, tidak bisa diperkirakan, Dok?  Ini, minggu depan saya akan ke luar kota.  Saya mau, waktu anak saya lahir, saya ada di sisi istri saya.”
            “O...begitu.  Ehm...”  Dokter Wisnu merobek kertas dari bloknote-nya.  “Pak Agung, ini surat pengantar untuk istri Anda masuk ke ruang bersalin.  Saya minta maaf, ternyata kelahiran pertama ini, harus dibantu dengan bedah caesar.”
            “Bedah?”  Astri yang baru keluar dari ruang periksa, memekik kecil sembari meraba perut buncitnya.  “Apakah...”
            “Tekanan darah Nyonya mencapai titik tertinggi yang diijinkan untuk seorang ibu hamil.  Saya tidak mau mengambil resiko kehilangan ibu dan anak.  Keduanya harus bisa diselamatkan.  Paling tidak, nyawa ibunya...”
            “Tapi...tapi kenapa bisa begitu?”
            “O...bisa banyak sebab, banyak alasan.  Yang jelas, ini disebut eklamsia, atau keracunan hamil.  Bayi dalam kandungan ibu seolah menjadi racun yang siap membunuh ibu.  Setiap wanita bisa saja mengalaminya,  sebabnya sampai kini masih belum pasti.  Tapi tenang saja... dunia kedokteran saat ini sudah begitu bagus.  Tidak seperti dulu.”  Dokter Wisnu menyentuh tangan Agung yang lemas terletak di atas meja.  “Jangan cepat-cepat berpikir akan jadi duda...istri Anda masih akan lama mendampingi Anda!”  Dokter Wisnu terbahak melihat Agung salah tingkah. 
***
            Anak pertama Agung dan Astri, lahir 1 November, Agung memberinya nama Joshua, yang artinya  diselamatkan Tuhan.  Panggilannya, Jojo. 
            Jojo lahir sehat meski melalui bedah Caesar.  Panjangnya 51 cm dengan berat 3,25 kilogram. 
            Jahitan pada perut Astri belum pulih betul ketika dia diijinkan pulang kembali ke rumah.  Setiap kali rasa sakit jahitan itu terasa, setiap kali pula Astri mensyukuri keberadaan Salimah.  Gadis itu begitu terampil menangani pekerjaan rumah selama Astri di rumah sakit.  Dan itu terus berlanjut hingga Astri pulang ke rumah sebagai seorang pasien ringan.
                                                            ***
            Hujan pertama musim ini turun di bulan November.  Agak lambat dibandingkan tahun lalu yang jatuh di bulan September.  Rasanya seperti mimpi melihat titik-titik air yang jatuh membasahi bumi.  Saat ini, kemarau panjang seperti sirna begitu saja. 
            Jojo kecil yang manis itu, telah tumbuh pesat menjadi seorang anak yang menggemaskan.  Usianya genap satu tahun, tanggal satu yang lalu.  Di usianya itu, dia telah berjalan ke sana ke mari.  Meski langkahnya masih tertatih-tatih.  Terkadang Astri begitu takut jika anak itu terjatuh dan mengalami cedera.  Perbendaharaan kata yang dimilikinya cukup beragam.  Tentu saja, dengan lafal yang masih asing.  Bahasa makhluk angkasa, kata Agung.
            Astri bersyukur atas segala berkat yang telah dilimpahkan padanya.   Sejak kelahiran Jojo, karir Agung meningkat pesat.  Dia memiliki cukup bekal ketika memutuskan untuk keluar dari perusahaan tempat ia bekerja dan membuka usaha sendiri.  Sudah hampir enam bulan ini perusahaan yang didirikannya beroperasi.  Titik kembali modal sebentar lagi akan tercapai.  Laporan keuangan perusahaan tidak pernah merah.  Agung memang punya bakat wirausaha sejati. 
            Mereka sudah pindah dari rumah kontrakan mereka yang berkamar dua.  Mereka kini punya rumah yang berlantai dua.  Dengan taman yang cukup luas dan suasana asri yang didambakan Astri sejak dulu.  Salimah tidak lagi tidur di gudang pengap.  Dia menempati kamar sendiri yang punya dua jendela menghadap ke kebun belakang.  Rumah mereka tidak terlalu luas, tiap bulan mereka masih harus mengangsur harganya.  Tapi rumah itu sudah cukup untuk mereka berempat.  Astri, Agung, Jojo, dan tentu saja Salimah.
                                                            ***
            Sore itu memasuki minggu kedua bulan Desember, hujan seolah menjadi bagian setiap hari yang ada.  Rasa sejuk, dingin dan bau tanah yang lembab adalah suasana yang paling disukai Astrh.  Dia  tengah duduk di teras belakang ketika di dengarnya suara Agung.  Dia melirik arloji yang melingkar pergelangan kiriny`.  Ini kan baru jam empat, tumben dia sudah pulang.  Astri berdiri dari kursinya.  Dia hampir memanggil Agung ketika didengarnya suara Agung yang agak sinis.
            “Itu kan bukan urusanku.  Kamu sudah tahu itu sejak awal.” 
            Astri terdiam.  Dengan siapa Agung bicara, suaranya begitu sinis.  Ah, mungkin dia sedang menelepon seseorang.  Astri kembali duduk.  Disandarkannya kepala ke kursi.  Kadang-kadang dia lebih suka jika Agung tidak menjadi pengusaha seperti sekarang.  Dulu, ketika masih menjadi pegawai (meskipun kedudukannya kepala bagian, toh tetap saja pegawai) keuangan, dia tidak pernah berurusan dengan orang-orang bisnis yang seringkali bermuka dua.  Itu urusan atasannya.  Sekarang, Agung sering harus mengatakan hal-hal yang kasar.  Astri tidak menyukai itu.  Belum lagi telepon-telepon asing yang sering mengganggu mereka.
            Kesejukan sore yang berbaur hujan, tanpa terasa membuat Astri terlena di kursi teras.  Tangisan Jojo membangunkannya.  Ah, kemana Salimah, biasanya dia selalu cepat menangani tangisan Jojo.  Dia segera berdiri dan berlari ke kamar Jojo. 
            “Cup cup sayang...uh, anak Mama kenapa nangis sih?  Oh, pipis ya.  Aduh, mana sih Mbak Sal, kok gak ganti celana Jojo...”  Astri mengangkat anaknya.  Mengganti celananya yang basah dengan celana kering.  Sejenak dia melupakan ketidakberadaan Salimah.  Ditimangnya si kecil dengan penuh kasih.  Hampir lima menit dia menimang-nimang Jojo sampai anak itu kembali terlelap.  Sore yang dingin ini, memang sangat enak bila menghabiskan waktu di tempat tidur.  Astri menguap lebar.  Ah, ya.  Kenapa Salimah?
            “Sal...”  Panggilnya.  Sore-sore begini biasanya Salimah menyetrika.  Tapi siang ini hujan, dan pakaian yang dicuci tadi pagi belum kering.  Mungkin dia tidur.  Bukankah hujan sering membuat orang ingin tidur?
            Dilihatnya pintu kamar Sal tertutup.  Ah, biar saja kalau Sal memang tertidur.  Toh, tidak ada pekerjaan yang perlu diselesaikan.  Astri kembali menguap.  Dia agak heran kemana Agung pergi.  Tapi rasa kantuk dan rasa malasnya membuat dia masuk ke kamar Jojo.  Sesaat kemudian dia terlelap di sofa  samping boks Jojo. 
                                                            ***
            Astri terjaga ketika adzan Magrib  berkumandang.  Kamar Jojo masih gelap.  Astaga, kenapa tidak ada orang yang berbaik hati dan menyalakan lampu kamar ini.  Untung saja Jojo masih terlelap.  Jika dia terbangun dan ruangan sekitarnya gelap seperti ini, entah seperti apa tangisannya.  Dia paling tidak suka kegelapan.
            Astri menekan saklar lampu, membuat ruangan empat kali empat meter persegi itu terang benderang.
            Ketika keluar dari kamar, Astri kembali kebingungan.  Semua masih gelap.  Padahal, biasanya Sal tidak pernah lupa menyalakan lampu.  Sedikit menggerutu dia menyalakan lampu-lampu.  Tidur ya tidur, masa sampai lupa kewajiban, sih.  Kenapa pula Agung belum pulang.  Dengan agak marah dia mengetuk pintu kamar Sal.  Tidak ada jawaban.  Pelan dia membuka pintu kamar, gelap.  Ah, lelap sekali tidur Sal.  Dinyalakannya lampu kamar.  Astri memekik kecil ketika mendapati kamar itu kosong.  Salimah tidak ada di sana.
            Setengah berlari dia menuju dapur.  Tidak ada.  Salimah memang tidak ada.  Di kebun belakang juga tidak ada.
            Astri terduduk di sofa ruang tengah.  Dia tidak habis berpikir.  Kemana Salimah pergi?
         :                                                   ***
            Agung pulang menjelang tengah malam.  Astri sudah berusaha menghubungi telepon genggamnya.  Tapi tidak ada balasan, telepon itu dimatikan.   Dia hampir saja meledak marah karena kepergian Agung yang tanpa pamit itu. Tapi melihat muka suaminya yang kusut masai, ditambah dengan aroma tajam yang menandakan bahwa lelaki itu belum mandi sore, membatalkan niatnya.
            Dia duduk di sisi Agung.  Meraih tangan lelaki itu yang tergeletak di pangkuan.  Dibelainya lembut.  Itu kebiasaannya jika melihat suaminya dalam masalah.  Meskipun dia belum tahu masalah apa yang dihadapi suaminya sekarang.  Biasanya Agung selalu membalas perhatian itu dengan mencium tangan Astri, lembut.  Tetapi yang terjadi sekarang adalah sebaliknya.  Jangankan mencium tangan Astri, dia malah menepiskan tangan itu seolah tangan Astri sebuah besi panas membara.  Setengah membentak dia berkata, “Ada apa sih dekat-dekat?”
            Astri terhenyak.  Hampir tak percaya bentakan itu keluar dari mulut Agung.  Suaminya.  Sejak berkenalan dengannya, sekali saja Agung tak pernah bicara sekasar ini.
            “Kamu tahu tidak, aku sedang pusing.  Sudah, sana, jangan dekat-dekat!”  Lalu lelaki itu berdiri.  Melangkah naik ke lantai atas menuju kamar tidurnya.  Astri yang mengikuti baru sampai ke kaki anak tangga ketika mendengar suara pintu dibanting dan dikunci dalam satu hitungan.  Astri menggelengkan kepala dengan tidak percaya.  Agung, bisa sekasar itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar