Jumat, 03 Juli 2020

KAMILLA LIMA

Tetapi semua tidak akan pernah sama seperti sebelumnya.  Jika dulu dia adalah seorang kakak panutan dan seorang anak kebanggaan, maka sekarang dia adalah bukti ketidakberdayaan seorang insan karena cinta.  Terlebih ketika Galih dan keluarganya menolak untuk meminang dan menikahi Kamila.
"Siapa bisa memastikan bahwa bayi itu benar-benar adalah anak Galih?"  Suara sinis itu dilontarkan ayah Galih ketika Kamila dan Papa datang ke rumah Galih.  Kamila menggenggam tangan Papa kuat-kuat, menatap wajah lelaki itu dari samping, rahang Papa mengeras dan bibirnya membentuk segaris tipis yang tajam menggurat raut wajahnya yang menegang.
"Baiklah jika begitu...kami pamit dulu, terima kasih."
Kamila merasa hatinya hancur lebur, tetapi dia tahu, papa lebih sakit lagi.  Karena itu sepanjang perjalanan dengan motor itu, dia hanya diam dan memeluk pinggang papa erat-erat.

"Mila harus pergi, dia tidak bisa melahirkan dan membesarkan anaknya di sini tanpa seorang lelaki yang mengakui anaknya."  Cetus Papa datar ketika mereka sudah sampai di rumah.  "Dengar Kamila, kamu sudah berbuat kesalahan, tetapi jangan pernah kamu tambah kesalahan itu dengan kembali menerima lelaki pengecut seperti Galih!  Kamu harus kuat, biarpun kamu perempuan kamu harus kuat!"
"Iya Pa..."  Kamila ingin bertanya, kemana dia harus pergi sekarang dengan perutnya yang semakin membuncit. Tetapi lidahnya kelu. Karena dia tahu pasti, papa dan mama juga tidak tahu kemana harus menyembunyikan anak sulungnya yang sudah ternoda ini.


Rabu, 03 Juli 2013

KAMILLA EMPAT : PULANG!!!

Hampir seminggu Mila hidup di jalanan.  Di pagi buta dia menenggelamkan wajahnya di balik topi bercaping lebar dan mengikuti langkah-langkah Pakde Marno mengais tempat sampah di tiap rumah dan toko, mencari sesuatu yang masih bisa dikumpulkan dan dijual ke pengepul barang bekas langganan Pakde Marno.  Ketika fajar menyingsing, dia cepat-cepat antri di kamar mandi umum di terminal dekat tempat Pakde Marno biasa tidur di malam hari.  Sesudah itu menyantap nasi bungkus dengan lauk seadanya.  Yang penting kenyang, seperti kata Pakde Marno dan Bude Tarmi.  Di siang hari dia duduk di alun-alun kota di bawah keteduhan pohon beringin sembari memandang lalu lalang orang lewat. 

Sabtu, 04 Mei 2013

KAMILLA TIGA : PULANG???

Ketika tersadar dari pingsannya, Milla mencium aroma tak sedap menyelubungi tubuhnya. Dia berusaha duduk, menyibakkan kain tipis yang menyelimuti tubuhnya dan menjadi sumber bau tak sedap itu.
"Sudah sadar, Nak?"  Seorang lelaki tua yang duduk tak jauh darinya menatap Milla dengan pandangan mata bersyukur.  Hari telah beranjak pagi dan semburat merah fajar pagi mulai mewarnai langit.  Milla mengangguk lemah dan mandah saja ketika lelaki tua itu menyodorkan sebotol air minum ke bibirnya.  Diteguknya air dingin itu, ada berbagai aroma tak sedap, tapi semua itu tak membuat Milla mual, dia terus minum dari botol plastik itu.
"Terimakasih, Pak."  Sahutnya lirih sembari mengembalikan botol plastik yang hampir kosong itu kepada sang lelaki tua.
"Sama-sama Nak.  Kalo sudah kuat, nanti Bapak antarkan ke rumah bu Hardi."
Milla ingin bertanya siapa itu bu Hardi, tetapi kepalanya terasa sangat berat dan pening.  Hingga akhirnya dia memutuskan kembali berbaring, dan baru menyadari bahwa tubuhnya sudah dipindahkan ke tepian kaki lima sebuah jalan yang tidak dikenalinya, beralaskan kardus bekas dan setumpuk kain usang sebagai alas kepalanya.  Dia ingin mengucapkan terima kasih, tetapi bibirnya hanya membentuk senyuman dan sorot matanya yang bicara banyak, memandang sang lelaki tua.  Lelaki tua itu menyunggingkan senyum tulus dan berkata pelan, "Masih pagi, tidur lagi sebentar Nak.  Nanti terang tanah kita berjalan ke rumah bu Hardi."
Mila menaikkan kain usang yang menutupi tubuhnya hingga menutupi dagu. Matanya memandang langit yang keemasan, gendang telinganya bagai dimanjakan kicauan burung yang bersahutan.  Milla tidak tahu dia ada dimana, dan siapa lelaki tua itu.  Yang dia tahu, dia sekarang sendiri.  Sendiri, tidak berdua seperti yang selalu dikatakan Galih padanya.  "Oh, tidak...aku tidak sendiri.." Milla tersenyum tipis sembari merasakan geliat kecil di dalam rahimnya. Anaknya, Galih kecil-nya yang akan memberinya kekuatan untuk terus bertahan.

Mila terjaga ketika sinar matahari yang hangat membelai wajahnya.  Dia membuka sedikit matanya, menahan silau karena cahaya mentari yang gemilang. Jalan raya di depan trotoar di mana dia terbaring, sudah ramai kendaraan lalu lalang.  Dia mengucek matanya dan sedikit merentangkan badannya, terasa lebih segar.  Pelahan dia duduk dan menggulung rambut panjangnya ke atas tengkuk.  Dia berpaling ke arah kiri, dilihatnya bapak tua yang tadi memberinya minum, sedang sibuk memilah beberapa kantong plastik bekas.
"Selamat pagi, Pak."  Sapanya pelahan.  Bapak tua itu menoleh dan tersenyum manis.  Mata tuanya bersinar ramah ketika dia menjawab sapaan Mila "Selamat pagi Nak.  Sebentar ya, Bapak pilih kantong plastik dulu, nanti bapak belikan sarapan di warung seberang jalan sana."
Mila tersenyum penuh ucapan terima kasih.  Dia ingin berdiri, tetapi kedua kakinya terasa lemas.  Dan dia baru ingat, terakhir kali dia makan adalah kemarin pagi sebelum berangkat ke sekolah.  Dielusnya perutnya yang membuncit dengan kasih.  "Adek lapar ya?  Mama jahat ya tidak kasih makan adek..." bisiknya lirih.
"Sudah sadar tho nDuk...ini makan dulu!"  Seorang ibu setengah baya berpakaian lusuh tiba-tiba sudah ada di sisi Mila, menyodorkan sebungkus nasi beraroma pecel kepadanya.  "Ini makan dulu, ayo...kasihan bayinya nanti."
"Tarmi...matursuwun kamu sudah belikan nasi buat dia."  Bapak tua tadi mengucapkan terima kasih.
"Alah sudahlah Pakde...tidak apa-apa.  Saya kan juga pernah mengalami nasib seperti dia ini.  Wes pokoknya kalau sudah hidup di jalanan seperti ini, kita harus bisa saling menolong dan saling menjaga.  Gak usah bicara soal terimakasih dan balas budi."  Suara ibu itu bak kicau burung di pagi hari, riuh rendah dan berlogat khas jawa timur.  Mau tak mau Mila jadi tersenyum juga.  Pelahan dia buka bungkusan nasi itu dan segera dia sibuk menyendokkan isi bungkusan ke mulutnya, sedikit susah karena harus menggunakan sendok bebek dari plastik.  Nasi hangat dan pecel itu segera membuat perutnya terasa nyaman.  Ditenggaknya segelas teh panas yang juga disediakan Bu Tarmi.
"Saya nggak bisa balas apa-apa, Pak, Bu."  Bisik Mila lirih.
"Memang siapa yang minta dibalas?  Orang kita hidup di jalan seperti ini, kalau kita tidak saling menolong, bagaimana kita bisa tetap bertahan?"  Bu Tarmi menatap gadis remaja ayu berperut buncit itu dengan iba.  "Jadi pakde nanti akan bawa mbak ini ke tempat Bu Hardi?"
"Iya, biar dia bisa istirahat di sana sampai melahirkan.  Sesudah itu, baru dipikirkan selanjutnya bagaimana."
"Memang kamu  lari dari rumah karena orang tuamu tidak bisa menerima kehamilanmu ya?"
Mila tertegun.  Teringat kemarahan Papa dan tangisan Mama.  Hatinya terasa diremas  hancur dan ditaburi air jeruk nipis.
"Papa sudah berjuang mati-matian untuk membesarkanmu, menyekolahkanmu...lalu ini balasanmu?  Ini?????"  Rasa perih ketika mengingat ucapan itu terasa mencengkeram ulu hati Mila.  Menggulirkan sebutir mutiara bening di pelupuk matanya.
"Saya sudah buat papa mama kecewa Bu, tidak ada gunanya saya bertahan di rumah itu."
"Nduk...tidak ada orang tua yang tidak sayang pada anaknya, dan rasa sayang itu sering diwujudkan dengan kemarahan.  Tetapi percayalah, kalau kamu mau datang kembali dan minta maaf, pasti mereka memaafkanmu."
"Saya tidak mau bikin malu keluarga, Bu."
"Mereka lebih malu jika orang sampai tahu anaknya menggelandang begini."
"Menggelandang?"  Pahit sekali suara  Mila.
"Iya, apa namanya hidup di jalanan seperti aku dan dan Pakde Marno, kalo bukan menggelandang?  Memang kamu sanggup jadi gelandangan?  Kamu cantik nDuk, masih muda, banyak kejahatan mengintaimu.  Lebih baik kamu pulang, karena rumah bu Hardi sekalipun tidak akan bisa melindungimu seaman rumah keluargamu tempatmu dilahirkan dan dibesarkan."
"Tarmi...biarkan saja dulu dia bersama kita, nanti kita antar ke bu Hardi."
"Bu Hardi memang baik, Pakde. Tapi keponakannya yang namanya Tito itu?"
"Tito cuma mata keranjang, tapi dia tidak jahat. Bu Hardi tahu itu kok.  Anak-anak gadis yang dulu dirawat Bu Hardi juga tidak diganggu sama Tito."  Sahut Pakde Marno.
"Iya karena mereka tidak secantik mbak ini."
"Aku Mila, Bu."
"Ya, tidak secantik Mila!"  Bu Tarmi memegang tangan Mila. Menatap matanya dalam-dalam.  Mata yang mulai memburam itu berusaha membujuk Mila.  "Pulang ya, Bude anterin.  Nanti Bude yang bilang ke Bapak dan Ibu mu."
Mila tergugu.  Apakah masih ada tempat di rumahnya, untuk seorang wanita jalang seperti dia? Seorang gadis yang tidak bisa menjaga kesuciannya dan kehormatannya?  Mila mengelus perutnya, sekali lagi, sembari berbisik lirih.  "Pulangkah kita, Dek?"


Minggu, 24 Maret 2013

KAMILLA DOEA : SERENADE KISAH LAMA


Halaman-halaman dengan tulisan rapat berjajar bagai semut berbaris itu memusingkan kepalanya.  Kamilla menutup buku tebal yang tengah dibacanya.  Melepas kacamatanya dan meletakkan alat bantu baca itu ke atas meja.  Direntangkannya tubuhnya kuat-kuat sembari menguap lebar.  Sudah cukup untuk hari ini.  Semua tugasnya untuk hari ini sudah selesai.
Dia beranjak ke arah jendela kamar, menurunkan tirainya hingga kegelapan malam tidak membuatnya resah lagi.  Jam dinding berdentang sebelas kali.  Oh, baru terasa lelahnya seharian bekerja.  Baru saja Kamilla meletakkan tubuhnya ke pembaringan, ponselnya bernyanyi riang.
'not recognized number is calling you' tulisan di layar ponselnya berbunyi.  Kamilla menimbang-nimbang antara menerima panggilan itu atau mengabaikannya.  Dia masih belum mengambil keputusan ketika dering ponselnya berhenti.  Matanya nanar menatap layar ponsel yang menyala sejenak kemudian kembali gelap.
Lelaki dari belahan dunia mana lagi yang berusaha mengusiknya?
Lelaki mana lagi yang ingin menjadikannya sekedar pengisi waktu luang dan tempat membuang rasa bosannya?
Belum menjawab pertanyaannya sendiri, Kamilla dikejutkan oleh ponselnya yang kembali bernyanyi riang.  Tanpa pikir panjang Kamilla menekan tombol hijau dan suara beningnya menyapa "Ya....selamat malam"
"Bener ini mbak Milla?"
"Ini siapa?"
"Ini Revan Mbak...Revan yang dulu bareng mbak dari Jakarta ke Surabaya. Dah lupa ya?"
Seraut wajah tirus dan bola mata coklat bening yang tulus, menyeruak benak Kamilla.  "Ya...Revan yang mana ya?"
"Oh..ya sudah...maaf sudah mengganggu malam begini.  Selamat istirahat, Mbak."
Tut...tut....tut....tutttttttttttttttt...
Kamilla meletakkan ponselnya ke atas meja di tepi pembaringan.  Revan, pemuda berwajah tirus yang menganggapnya masih berusia dua puluh lima itu?  Pemuda aneh yang menyatakan cintanya di akhir sebuah perjalanan kereta api sepanjang dua belas jam? Hahahaha...mana bisa Kamilla lupa?
Diraihnya lagi ponselnya, menekan tombol 'log panggilan' lalu tombol hijau.
"Hai Revan...apa kabar?"
"Oh Mbak...bener udah lupa sama aku ya?"
"Inget kok, kamu yang gag suka coklat itu kan?"
"Hahahaha...sebenernya aku penggemar coklat mbak, cman waktu itu aku nolak karena aku tahu pasti mbak lebih membutuhkan coklat daripada aku.  Hehehehe..."  Suara menghela napas panjang.  "Aku baik saja Mbak, Mbak sendiri gimana?"
"Aku baik, Dek.  Btw....gmana cara kamu nemuin nomorku?"
"Dari mbak sendiri kan?"
"Dari...aku?"
"Iya Mbak...Mbak yang ngasih aku nomor mbak waktu kita chatting di facebook, tadi malam.  Mbak nawarin aku polis."
"Owh!"
Kamilla sedikit terpesona.  "Jadi kamu pemilik akun 'Putra Fajar'?"
"Ya Mbak, heran ya..."
Kamilla menghela napas panjang.  Dia merasa begitu kenal dengan gaya bicara teman chattingnya semalam.  Hingga ditahannya kantuknya hingga jarum jam mendekati pukul dua pagi untuk melayani pembicaraan via web itu.  Dia pikir...
"Iya...aku pikir kamu orang lain"
Suara napas panjang di seberang.  "Oke deh mbak..selamat malam...besok aja kita sambung lagi.  Mbak harus istirahat, besok kerja lagi kan..."
"Iya Rev...makasih ya pengertiannya...kamu juga cepat istirahat, biar besok gag capek kalau kuliah. Met malam met istirahat"
"Thanks ya Mbak..."
Kamilla mematikan ponselnya, meletakkan benda pipih itu ke atas meja, lalu duduk dengan kaki menjuntai di tepi pembaringan.  "Putra Fajar itu Revan...dari mana dia tahu akun facebook-ku? Dan kenapa dia seolah tahu banyak tentang diriku?  Aku pikir dia Galih...."


Galih adalah cinta pertama Kamilla.  Galih dengan rambut ikalnya dan sorot matanya yang setajam sorot mata elang.  Galih yang tak pernah lalai membawakannya edelweis tiap kali dia naik gunung.
"Kamilla...pacarmu naik gunung lagi...ingat ya...sekali ini edelweisnya buat aku!"  Kinanthi melambai-lambaikan buku kimianya di depan hidung Kamilla yang seolah tenggelam dalam lamunannya tentang sosok Galih.
"Iya....ya elahhh...udah dong bikin orang sebel dengan buku jelek itu!"
 "Kimia sayaaanggg...kimiaaaa....bukan buku jelek, nilaimu yang jelek tuhhh...kebanyakan pacaran!"
Kamilla tersenyum pahit.  Tidak juga.  Kimianya tidak pernah dapat nilai jelek sebelumnya.  Dia selalu berhasil duduk di peringkat satu, dua atau paling rendah tiga, dalam setiap ulangan matematika, kimia dan fisika.  Tetapi akhir-akhir ini....
Kamilla mengelus perutnya dengan sedih.  "Aku tahu sesuatu sedang terjadi di dalam sini...dan itulah yang membuat nilai-nilaiku hancur."



Galih menyepak kerikil kecil di ujung sepatunya kuat-kuat.  “Aku benci mengatakannya…tapi kamu tahu…aku rindu saat-saat itu. Saat kamu ada di sisiku, dan kita bercerita tentang mimpi indah kita.  Kenapa sih kamu biarkan sesuatu yang tidak baik itu tumbuh dalam rahimmu dan mengacaukan hubungan kita?”
“Sesuatu yang tidak baik itu anak kita!  Buah cinta kita!” sergah Kamilla kasar.
Galih menghentakkan kakinya lagi.  “Halah…omong kosong apa itu!  Kita bisa punya selusin anak, nanti…setelah aku dan kamu sama-sama siap.  Tidak sekarang.  Sekarang itu suatu kesalahan…plizzzz….Milla…hentikan itu!”

Kamilla menghentikan langkahnya.  Merapatkan jaketnya menutup perutnya yang kian membuncit.  Lalu menatap Galih dengan sorot mata asing.  “Kalau kamu masih saja memaksaku menggugurkan kandunganku, pergilah Galih…pergilah dari hidupku!  Biarkan aku di sini….menanggung semua resiko yang aku pilih sendiri.  Pergilah…jangan pernah kembali!”
 

"Terus kamu anggap apa aku?  Harus berhenti meraih mimpiku hanya demi isi perutmu yang kamu sebut buah cinta kita itu?"  Galih menghentakkan kakinya dengan marah.  Edelweis yang tadi ada dalam genggaman tangannya, dilemparnya begitu saja hingga berhamburan di atas tanah.  Kamilla memandang semua itu dengan mata berlinang dan bibir bergetar.  "Itu bukan buah cinta kita...itu kutukan, Milla!  Kutukan!  Berapa usiamu? Enam belas!  Berapa usiaku? Delapan belas!  Ya ampun....sebatang rokok saja aku masih minta bapakku belikan, bagaimana aku bisa menghidupi anak itu?  Kenapa susah sekali....aku punya kenalan dukun bayi yang biasa aborsi.  Aku jamin aman..banyak..."
Kamilla menatap Galih dengan mata berlinang, tetapi sorot matanya menyala penuh kemarahan.  "Lanjutkan!  Tapi jangan pernah berharap aku akan menurut maumu!  Aku akan melahirkan anak ini!"
Galih mendekat pada Kamilla, meraih kedua bahu gadis belia itu dan menatap matanya tajam-tajam.  "Dengar aku...dukun bayi itu pintar, dia sudah sangat berpengalaman!"
"Tidak!"

Dan kata 'tidak' itu pula yang dibawa Kamilla pada papa dan mama ketika akhirnya dia tak bisa menutupi kehamilannya lagi.

"Milla hamil, Ma. Anak Galih."  Milla duduk tertunduk di sofa ruang keluarga.  Tak sanggup menatap mata papa yang menyala marah dan lebih tak sanggup lagi menatap mata mama yang sangat terluka meski mata lembut itu tidak berlinang air mata.  "Maafkan Mila."

"Maaf?  Hanya itu yang kamu ucapkan setelah sebuah pengkhianatan sebesar ini terhadap orang tua yang sudah membesarkanmu dengan air mata dan keringat darah?  Maaf?"  Suara Papa menggelegar.  Milla sudah siap menerima tamparan di pipinya.  Tetapi Papa tidak melakukan itu, tangannya yang bergetar kuat berhenti di udara.  Lalu disertai teriakan keras papa menghantamkan kepalannya pada meja kaca hingga hancur berantakan.  Selanjutnya   Kamila tidak tahu apa yang terjadi.  Mama sibuk merawat tangan papa yang mengucurkan darah.  Kamilla berdiri dengan tubuh lunglai.  Hatinya terasa sangat sakit.  Dengan sisa kekuatannya, dia melangkah menuju kamar, mengambil tas ranselnya yang telah disiapkannya sejak semalam.  Ketika seisi rumah sibuk dengan papa yang terluka, Milla menyelinap keluar.  Berjalan di gelapnya malam dengan langkah gontai. "Tidak ada seorang pun boleh memaksaku berpisah dengan anak dalam rahim ini, tidak seorang pun!"

"Kamu pintar Milla, kamu pasti dapat beasiswa, kamu bisa jadi dokter spesialis bedah jantung yang hebat.  Kelak kamu akan menyelamatkan banyak nyawa dan membuat hidup banyak orang lebih berarti.  Tuhan menyayangimu, Sayang."

"Kami bangga punya kakak Mbak Milla, semua guru membicarakan kakak. Kakak hebat!"

"Aku cinta kamu Milla, kita akan bersama mengarungi bahtera hidup ini.  Kamu adalah puncak tertinggi yang bisa kutaklukkan, dan berdua kita akan menaklukkan puncak-puncak kehidupan ini.  Berdua, Milla!"

Dan semua itu berputar bagai arus air yang kuat, menarik seluruh sisa-sisa kekuatannya.  Kamilla hanya tahu dia berjalan dan terus berjalan tanpa pernah tahu arah tujuannya.  Langkah kakinya silih berganti.  Air matanya terus mengalir tanpa henti sampai akhirnya kelenjar air matanya kering.  Dia menangis tanpa suara tanpa air mata.  Kekuatannya hilang, dia masih terus berjalan hingga akhirnya tubuhnya tak mampu menahan lagi, luruh begitu saja ke permukaan bumi, diterpa hujan dan dihembus angin malam yang dingin.









Kamis, 08 November 2012

Kamilla Satoe


Semburat merah keemasan menyemarak di langit, awan-awan tampak gemerlap bak permaisuri yang mempersiapkan kedatangan junjungannya. Angin sepoi membisikkan hawa dingin mencumbu pucuk-pucuk pinus yang mengangguk seolah enggan menanggapi.
Kamilla merapatkan kedua tangannya menutupi dada, mencoba mengusir hawa dingin yang mencoba menusuknya pelahan.  Sepasang matanya yang berwarna coklat bening berkaca-kaca.  Bening telaga kaca itu akhirnya luruh menjadi sebutir permata yang menggantung di pelupuk matanya.  Kasar Kamilla mengusapnya.
“Ya sudah kalo itu mau Mas, aku gag bisa maksa?”  Sergahnya dengan suara sengau.  Sekuat tenaga ditahannya air mata yang sudah mendesak ingin keluar.  Sembari menengadah dia tertawa kecil.  “Aku tahu akhirnya akan begini juga….”

Senin, 07 Mei 2012

Tak Selamanya Mendung Itu Kelabu, Epilog


Astri melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangannya.  Sudah hampir satu jam Riris dan Sal berbicara.  Dia menjemput Sal dan mempersilakannya berbicara sendiri dengan Riris, berdua saja, dalam kamar gadis itu.  Dia sengaja menyibukkan diri dengan bunga-bunga kesayangannya.  Jangan sampai Sal mengira dia menguping pembicaraan mereka.
            Riris duduk di pembaringannya di kamar.  Sepasang matanya memang buta, tidak bisa melihat seperti apa wajah wanita yang katanya adalah ibu kandungnya itu.  Tetapi dia bisa merasakan betapa sangat tidak sehatnya wanita itu. 
            Sejak wanita itu masuk dalam kamarnya, memeluknya erat-erat, Riris hanya diam, sama sekali tidak membalas perhatian yang diberikan wanita itu.  Kalau bukan permintaan Astri, tidak akan dibiarkannya wanita yang telah membuangnya ini masuk dan memeluknya.  Kenapa tidak dilakukannya hal itu dua puluh tahun yang lalu, ketika dia betul-betul masih sangat lemah dan sangat membutuhkan pelukan seorang ibu?
            “Nak, saat itu memang ibumu ini bersalah.  Tetapi sekarang ibumu sudah sadar.  Kamu mau memaafkan dosa ibumu ini?”  Sal membesut hidungnya, untuk kesekian kali.  Semua sudah diceritakannya.  Secara sangat tidak seimbang.  Dia menggambarkan Astri sebagai seorang wanita tingkat atas yang sombong, angkuh dan sangat mementingkan dirinya sendiri.  Dia menempatkan dirinya sebagai korban.  Seorang wanita kalangan bawah yang berhasil meraih cinta seorang pria kaya, yang kemudian terpaksa menanggung penderitaan karena ulah istri pria kaya itu, Astri. 
            Dia sama sekali tidak sadar, semua penjelasannya itu malah membuat Riris semakin benci padanya.  Dua puluh tahun usianya di dunia itu, Riris hanya mengenal Astri sebagai ibunya.  Selama itu Astri telah menunjukkan cinta dan perhatian yang sangat besar padanya.  Sama sekali tidak mudah menghapuskan citra seorang ibu yang baik dan penuh kasih sayang menjadi seorang wanita sok, angkuh dan jahat.  Riris tahu, Mama Astri-nya tidak seperti penggambaran wanita ini, ibu kandungnya.
            “Sudahlah, Bu...”  Riris berusaha keras untuk mengucapkan kata itu.  “Riris sudah memaafkan Ibu.”
            “Jadi...”  Sal memekik kegirangan.  “Kamu mau tinggal bersama Ibu kan?”
            “Tinggal bersama Ibu?”  Riris mendengus kesal.  “Memaafkan tidak berarti Riris bisa menerima Ibu sepenuhnya.  Cobalah mengerti keadaan Riris.  Selama ini Riris tinggal bersama Mama Astri.  Bagi Riris, cuma Mama Astri yang menjadi ibuku.  Tidak ada yang lain.”
            “Riris...kamu tidak mau menerima ibu kandungmu sendiri?”
            “Riris sudah memaafkan kesalahan yang demikian fatal.  Apakah Riris harus melakukan sesuatu yang sangat bertentangan dengan keinginan Riris?  Apakah belum cukup bagi Ibu untuk menerima maaf dari Riris?  Masih kurang apa yang Riris berikan?”
            Sal menatap anaknya dengan pahit.  Dia tahu, tidak mudah, sama sekali tidak mudah mengubah semua yang telah ditunjukkan Astri selama ini.  Jika mau jujur pada diri sendiri, Sal menyadari bahwa Astri memang sangat baik.  Dulu dia memang angkuh, sombong, dan merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain.  Tapi kerelaannya membesarkan Riris, menolong keluarganya dari kesulitan ekonomi, semua itu bukan kesombongan dan keangkuhan.  Sal menggelengkan kepalanya kuat-kuat.  Rasa marahnya, putus asa karena penyakitnya, membuat dia membutakan mata batinnya.  Dia merasa, Astri yang membuatnya menderita, bahkan penyakit yang dideritanya saat ini, itu disebabkan Astri.
            Dia menggertakkan giginya.  “Baik, kalau memang itu yang menjadi pilihan Riris.  Terima kasih, karena Riris masih mau mengakui ibumu ini.” Sal berdiri.  Meraih tas tangannya.  Sekilas dia ingin mengecup kening anaknya, tapi wajah Riris yang tampak membeku membuatnya mengurungkan niat itu.  “Selamat tinggal, Riris.”
            Sal tidak berpamitan pada Astri.  Astri baru tahu kalau dia sudah pergi ketika melihat Riris turun dari lantai atas dan menuju ke pianonya.
            “Ibu sudah pulang, Ris?”
            “Sudah.  Untuk apa dia lama-lama di sini?  Berusaha menghasut Riris agar membenci Mama Astri?  Dia hanya menghabiskan waktunya.”  Riris memberi senyum manis pada Astri.  Setelah itu dia duduk dan mulai memainkan pianonya.  “Riris sudah memaafkannya.  Riris juga sudah mengakuinya sebagai ibu.  Itu sudah cukup.   Riris tidak bisa memberikan lebih.”  Riris menjelaskan hasil pertemuannya dengan Sal, sebelum Astri bertanya.  Jemarinya yang sudah menari di atas tuts piano, memberi isyarat pada Astri bahwa gadis itu tidak mau diganggu lagi.  Astri menghela nafas panjang.  Dia sudah mencoba memperdamaikan keduanya.  Kalau Riris tetap menjaga jarak dengan ibu kandungnya, apa yang bisa dilakukan Astri?  Riris sudah dewasa, bahkan hampir menikah.  Tidak mungkin dia dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya.
                                                            ***
            Ivonne menatap wajah Jojo dengan sorot memohon.  “Mas Jo mau kan mengantar Ivonne ke sana?  Mas Jo, semua membawa pasangannya.  Semua.  Masa Mas Jo tega membiarkan Ivonne datang sendiri?”
            “Kalau memang kamu masih sendiri...”
            “Ivonne sudah bilang Ivonne akan membawa teman pria Ivonne.”
            “Mas Jo ini kakakmu, bukan teman pria.”
            “Mas Jo...”  Ivonne mulai merajuk.  Bibirnya manyun dengan manis.  Di usianya yang hampir tujuh belas, Ivonne memang masih kolokan.  Papanya, Raam, dan ibunya, Anita, terlalu banyak memanjakan Ivonne.  Terlebih karena dia anak tunggal.  Meskipun Raam menginginkan selusin anak, Anita tetap bersikeras untuk memiliki satu anak saja.  Segala keinginan Ivonne dituruti.  Untungnya anak itu tidak pernah minta sesuatu yang mustahil.
            Jojo menarik tangan Ivonne.  “Kalau kehadiran Mas Jo di pesta itu akan membuat teman-teman kamu berpikir kita ini sepasang kekasih, lebih baik Mas Jo tidak datang.”
            “Kenapa?  Memangnya Mas Jo sudah punya kekasih?”
            “Mas Jo belum menemukan seseorang yang tepat.”
            “Seperti Tante Astri?  Mana mungkin ada orang seperti Tante?”
            “Satu saat akan kutemukan.”
            “Kalau Ivonne?”  Ivonne tersenyum malu-malu.  Jojo mengacaukan poni tebal gadis itu.  Ditatapnya sepasang mata lugu yang menatapnya penuh harap.  Rasanya sulit untuk mengatakan kebenaran.  Tapi mama sudah menasehatinya, lebih baik berterus terang.
            “Ivonne kan cuma punya tempat sebagai adik Mas Jo.”
            “Kata Papa, Ivonne mirip tante Astri?”
            “Wajahnya sih iya.  Tapi sifatnya, sama sekali nggak mirip.”
            “Ivonne bisa belajar...”
            “Dan menyiksa dirimu sendiri?  Membuat dirimu yang sebenarnya terkubur hidup-hidup?  Tidak Ivonne Sayang.  Itu tidak boleh terjadi.  Aku akan sangat berdosa.jika menghilangkan seorang Ivonne nan manja dan ceria ini.  Mama telah menempuh banyak kesukaran, itu yang membentuk sifatnya sekarang ini.  Tapi Mas Jo yakin, satu saat akan ada seseorang yang keluhuran budinya tampak dari sorot matanya.  Saat itu, mungkin Mas Jo akan jatuh cinta.”
            “Huuh...tunggu saja bidadari itu datang.  Pokoknya Ivonne minta antar.  Nanti Ivonne tulis pakai karton, tempel di punggung Mas Jo. Bunyi tulisannya, ‘sorry, saya bukan pacarnya Ivonne’.” 
            Jojo tergelak.  Dia selalu tak berdaya kalau Ivonne mengeluarkan jurus pamungkasnya itu.  Konyol.  “Okey.  Tapi kamu harus meralat pernyataanmu bahwa kamu akan datang dengan teman priamu.  Bilang saja sejujurnya.  Mas Jo ini kakakmu.”
            “Kalau teman-teman Ivonne naksir Mas?”
            “Mau diantar nggak?” 
            “Iyayaya...”  Ivonne cemberut.  Tapi tak urung dia tersenyum manis pada Jojo.
            Astri melihat adegan keduanya dari teras atas.  Keduanya sama sekali tidak sadar kalau Astri ada di sana sejak tadi.  Memperhatikan mereka dengan senyum bahagia, bercampur rasa geli.  Tubuh Astri memang terhalang tanaman-tanaman hias yang diletakkan di teras atas itu.  Saat itulah tangannya tak sengaja menyenggol ujung besi tempat dia meletakkan pot bunga.  Astri sudah berniat ingin membungkus ujung runcing itu dengan kain atau karet.  Tapi kesibukan selalu membuatnya lupa.  Sekarang, ujung besi itu melukai tangannya.  Membentuk parut memanjang yang berdarah di lengan kanannya.  Dia memekik kecil, membuat Jojo dan Ivonne serentak menengadah ke atas.  Melihat Astri ada di sana, mengeryit kesakitan, Ivonne merasa pipinya panas, dia merasa sangat malu.  Sebaliknya, Jojo malah lari meninggalkan Ivonne dan segera naik ke atas.
            “Kenapa Ma?”
            “Nggak apa-apa kok, Jo.  Cuma tergores sedikit, kena ujung besi pot itu.  Berkali-kali Mama ingin menutup ujung runcing itu dengan kain.  Tapi selalu lupa.”
            “Darahnya banyak lho, Ma.”  Jojo meraih tangan Astri.  Luka itu memang tidak terlalu dalam, tapi cukup panjang.  Darah mulai membentuk aliran kecil pada luka itu.  Melihat kekhawatiran anaknya, Astri tertawa. 
            “Ini biasa, Jo.  Sudahlah, biar Mama beri antiseptic.”
            “Iya, nanti bisa infeksi lho...”  Jojo betul-betul khawatir.  Dia tidak pernah melihat Astri berdarah.  Karena itu dia panik melihat luka yang memanjang itu.  Kalau saja dia tahu luka jahitan bekas operasi caesar di perut Astri baru sembuh setelah hampir tiga minggu...
***
            Gerimis bulan Desember turun malu-malu.  Sore yang bersaput mendung kelabu.  Cuaca seolah tanah liat yang berada di tangan pembuat periuk.  Begitu mudah berubah bentuk.  Pukul empat sore tadi, cuaca masih sangat cerah.  Pukul setengah enam, kegelapan tiba-tiba menyelubungi langit.  Sekarang, gerimis turun bagaikan jutaan jarum halus menerpa bumi.  Satu menit lagi, mungkin saja gerimis itu berubah menjadi hujan deras yang disertai kilat dan petir.
            Sal meletakkan tubuhnya ke sofa ruang tengah rumah Astri.  Dipandangnya ruang tengah yang asri itu dengan sorot sinis.  Dia tak bisa menghapus bayangan kemewahan yang sempat dinikmatinya setelah menikah dengan Agung.  Dia sama sekali tidak merasa berterima kasih atas semua yang dilakukan Astri untuknya.
            Sebagai istri yang dinikahi secara siri, tanpa sehelai surat nikah resmi, mestinya Sal sama sekali tidak memiliki hak apapun.  Astri telah berbaik hati membuka deposito atas namanya, dari sebagian harta peninggalan Agung.  Deposito itu telah meningkat dengan sangat besar.  Jumlahnya hampir sepuluh kali jumlah awal yang ditanamkan Astri.  Astri telah memberikan sertifikat itu pada Sal, sehari setelah dia tahu Sal pulang.  Perhiasan-perhiasan yang disimpan Agung di safe deposit box bank langganannya, diberikannya separuh untuk Sal.  Nilainya, bisa ditukar dengan sebuah Mercedez  Benz.  Jelas jumlah yang tidak kecil.  Tetapi toh, semua itu tidak ada artinya di mata Sal.  Kebencian telah menutup mata hatinya rapat-rapat.  Yang dilihatnya hanyalah kejelekan dan kejahatan Astri.
            Sal ada di ruangan ini satu bulan setelah penolakan Riris untuk ikut bersamanya.  Dia kembali dengan dendam yang puncaknya mencapai langit-langit hatinya.  Dendam yang menggelegak bagaikan kawah candradimuka.  Bagaimanapun, dia harus menyakiti Astri. 
            Berbeda dengan Sal yang menatap dengan sorot penuh kedengkian, Astri yang duduk di hadapan Sal, tersenyum lembut.  Usianya sudah tidak muda, tahun ini dia akan meniup lilin ulang tahunnya yang ke lima puluh dua.  Gurat-gurat usia tampak menghiasi wajahnya.  Meski masih tetap halus mulus, toh usia telah mengukir garis-garis halus itu untuk membuat wajahnya terlihat lebih matang daripada tahun-tahun sebelumnya.
            “Riris belum pulang.  Tadi dia dan Jojo pergi belanja.  Adolf akan pulang minggu depan, jadi Riris merasa perlu untuk mempercantik dirinya.”
            “Dia sudah cantik.  Tanpa polesan apapun anakku sudah cantik.”
            “Tentu saja.”  Astri menjawab lembut.  “Tunggulah sebentar.  Dia akan segera datang.”
            “Aku akan menunggu.  Aku kangen padanya.”  Suara Sal sama sekali tidak bisa menyembunyikan rasa marahnya.  Astri hanya tersenyum.  Dia tetap tersenyum ketika Sal mengeluarkan sebatang rokok, menyulutnya dan mulai menghisap batang tembakau itu.  “Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan.  Aku juga punya hak atas perusahaan yang sekarang kamu pimpin.  Aku istri Agung.  Aku melahirkan anaknya.  Aku tahu, aku memiliki dua puluh persen saham.  Aku ingin tahu, apakah aku bisa menjual perusahaan itu kalau aku mau.”
            Astri mulai kehilangan kesabarannya.  “Apa maksudmu dengan menjual?”
            “Aku memang lulusan SMP, tapi aku tidak bodoh.  Di HongKong aku banyak bergaul dengan orang-orang bisnis.  Aku memiliki dua puluh persen saham.  Riris dua puluh lima persen dan kamu serta Jojo memiliki persentase yang seimbang dengan kami.  Jika aku memberikan saham yang kumiliki pada Riris dan aku berhasil membujuk dia untuk menjual perusahaan ini, maka...”
            “Dengar Sal, meskipun kamu cukup pintar dalam hal saham, Riris tidak akan setuju menjual perusahaan ini.  Perusahaan ini jatuh bangun bersama kami.”
            “Maksudmu bersamamu.”  Koreksi Sal dengan nada sinis.  “Kalau Riris tidak mau, aku bisa menjualnya pada investor lain.  Investor yang piawai memainkan saham.  Investor itu satu saat akan mencaplok bagian kalian seperti seekor alligator mencaplok mangsanya.”
            Astri berdiri dengan marah.  “Kamu membicarakan sesuatu yang sebenarnya bukan hakmu sama sekali.”
            Sal juga berdiri.  Melempar rokoknya ke lantai dan menginjak dengan marah hingga puntung rokok yang masih panjang itu hancur berantakan.  Matanya membara menatap Astri.  “Dengar, aku tidak bisa memaafkan semua kesalahan yang kamu lakukan.  Kalau bukan karena ulahmu, maka Mas Agung masih tetap hidup hingga saat ini, aku tidak akan seperti ini.”
            “Mas Agung meninggal karena kamu meninggalkannya tanpa pamit, Sal.  Dia mulai menyadari cintanya untukmu ketika kamu malah meninggalkan dia.”
            “Tidak.  Dia adalah suamimu.  Dia merasa aman di bawah ketiakmu.  Dia selalu ingin melindungimu.  Apa saja dia lakukan agar kamu tidak merasa sakit.  Aku berdiri di depannya.  Melayani dan melakukan apa saja maunya, tapi dia tidak pernah merasa senang, dia selalu ingat kamu.  Padahal, apa hebatnya kamu, seorang wanita angkuh dan sombong.”
            “Cukup Sal.”  Suara Astri dingin.  Kemarahan telah membekukan kehangatan hatinya.  Dengan suara amat tenang dia meminta Sal meninggalkan rumah itu.  Bukannya menuruti kehendak Astri, Sal malah mendekat.  Saat itulah ada suara keras yang membelah langit, bersamaan dengan padamnya aliran listrik. 
            Dalam kegelapan yang tiba-tiba itu, Sal bertindak sangat cepat.  Dengan pisau kecil yang telah disiapkannya, dia menggores tangan Astri.  Ketika Astri memekik, dia telah menggigit ujung jarinya sendiri.  Setetes darah keluar, Sal mengoleskan darah itu pada luka yang terasa kasar di tangan Astri.  Dia menyeringai puas.
            Guntur menggelegar di luar sana.  Hujan deras turun dengan tiba-tiba.  Astri berseru marah, membentak Sal dan mengusirnya, dia menahan sakit karena luka yang terasa menggigit tangannya.  Ketika Pak Said, tukang kebun rumah itu datang dengan lampu darurat di tangannya, Astri tidak melihat Sal lagi.  Dia memekik ngeri melihat luka yang berdarah hebat pada lengan kirinya.  Luka itu sama sekali lain dengan luka parut bekas goresan ujung besi penyangga pot pada tangan kanannya.  Meskipun hampir sama panjang, tapi luka itu lebih dalam.  Astri meraba bekas luka goresan itu, basah.  Ada tanda tanya besar dalam kepalanya ketika diciumnya cairan yang menutup bekas luka yang sudah lama mengering itu.  Bau anyir darah.  Cepat-cepat dia mengoleskan ujung jarinya yang basah oleh darah pada rok yang dikenakannya.  Tentu darah dari luka yang dibuat Sal waktu gelap tadi, pikirnya.
            “Apa maunya orang itu.  Kenapa dia membawa pisau ke rumah ini.  Kenapa dia melukai tanganku?”  Ceracau Astri gugup.  Saat itu listrik kembali mengalir.  Ruangan yang tadi gelap, terang benderang.  Tapi Sal tidak ada dalam ruangan itu.  Dia sudah pergi, lagi-lagi, tanpa pamit.
                                                            ***
            Telepon di ruang kerja Astri berdering.  Dia mengangkat dengan mata masih terpaku pada layar monitor.  “Ya, ada apa Windy?”
            “Ibu,  ada telepon dari rumah sakit Bakti Husada Indonesia.  Ingin bicara langsung dengan Ibu.”
            “Sambungkan.”  Astri mengeryitkan dahinya.  Rumah sakit?  Seingatnya tidak ada teman atau kerabatnya yang sedang sakit.  “Hallo, ya saya sendiri. Apa?”
            Wajah Astri memucat.  Handel telepon merosot dari pegangannya.  Tulisan pada layor monitor tiba-tiba menjadi barisan semut yang memusingkan kepalanya.  Suara yang mengaku milik seorang dokter dari bagian penyakit menular rumah sakit itu terngiang-ngiang di kepalanya. 
            “Sal... ya ampun...”
                                                            ***
            Ruang isolasi itu merupakan sebuah ruang kaca yang betul-betul terlindung dari sekitarnya.  Ada satu tempat tidur yang terletak di dalam ruangan tiga kali empat meter itu.  Bau obat yang menyengat hidung, bercampur dengan aroma pembersih lantai suci hama.  Membuat aroma rumah sakit ini betul-betul steril.
            Astri merasa bulu kuduknya meremang ketika melihat sosok yang terbaring di tempat tidur ruang isolasi itu.  Begitu kurus, bagaikan tulang berbalut kulit.  Selang-selang infus menancap pada pergelangan tangan kiri kanannya.  Mulut yang setengah terbuka itu mengeluarkan suara yang mirip dengkuran.
            “Maaf Bu, kami harus memastikan Ibu tidak memiliki luka terbuka.  Untuk amannya, gunakan saja sarung tangan ini.  Jangan terlalu dekat dengan pasien.  Ibu mengerti apa akibatnya.”  Jelas seorang perawat yang berseragam putih bersih.  Bagaikan orang tolol,  Astri hanya mengangguk.
            Ketika tiba di tepi pembaringan, Astri tak kuasa menahan air matanya.  Sosok yang tinggal tulang berbalut kulit, dan menyebarkan bau busuk yang bercampur bau obat-obat sucihama, membuat perutnya terasa mual.  Seraut wajah amat kurus dengan mata yang menonjol keluar, menatapnya dengan sorot hampa. 
            “Kondisi Ibu Salimah sudah sangat parah, Bu.  Dia datang ke rumah sakit ini dalam kondisi yang sudah tidak memungkinkan tindakan pertolongan.  Anda tahu, AIDS merupakan penyakit yang masih belum terkalahkan oleh dunia kedokteran.  Beberapa obat memang bisa meringankan gejalanya.  Tapi tidak sepenuhnya menyembuhkan.  Sebenarnya, ketika gejala awal seperti pembengkakan kelenjar getah bening itu tampak, pasien harus segera menghubungi dokter.  Ibu Sal ini...”  Dokter Lusi, yang mendampingi Astri masuk ke ruang isolasi itu memberi sedikit penjelasan.
            “Apakah dia tidak bisa disembuhkan?”
            “Yang tahu hanya Tuhan, Bu.  Tapi melihat keadaannya...”  Dokter Lusi menggeleng lemah.  “Karena daya tahan tubuhnya sama sekali tidak bekerja, maka penyakit biasa yang pada orang lain tidak menyebabkan sesuatu yang fatal, pada penderita AIDS akan menjadi sesuatu yang amat fatal.  Batuk-batuk yang dideritanya selama ini, itu hanya infeksi biasa pada orang sehat.  Tapi karena daya tahan tubuhnya tidak bekerja, batuk-batuk itu menjadi penyakit mematikan.  Lalu diarenya...”
            “Kenapa setelah separah ini baru kami diberitahu, Dok?”
            “Ibu Salimah ini yang melarang.  Dia mengaku seorang diri di dunia ini.  Tidak punya keluarga sama sekali.  Tapi setelah kondisinya memburuk, dan pihak rumah sakit terpaksa menghubungi pihak bank yang ditunjuk oleh Ibu Sal ketika mulai masuk sebagai pasien, kami baru tahu kalau dia masih memiliki keluarga.”
            “Sudah berapa lama virus ini ada dalam tubuhnya?”
            “Sekitar dua tahun.  Memang, ada beberapa orang yang mengidap HIV untuk waktu yang lama tanpa ada gejala.  Seperti orang sehat saja.  Walaupun begitu, ada ciri khusus yang harus dicermati, berat badan yang menurun terus tanpa sebab pasti, diare yang terus-menerus, dan keringat berlebih pada malam hari.  Ketika masuk ke sini, Ibu Salimah sudah seperti tulang berbalut kulit, meskipun masih lebih gemuk daripada sekarang ini.”
            “Kami pikir itu karena psikotropika...”
            “Ya, itu tidak salah sepenuhnya...”
            “Tapi apakah dia tahu virus itu ada dalam tubuhnya?”
            “Tentu saja.  Dia memberikan hasil test  AIDS yang dikeluarkan sebuah rumah sakit HongKong.  Dia juga mengaku sudah menjalani seks bebas sejak dua puluh tahun yang lalu.”
            Astri merasa aliran darahnya seolah berhenti.  Luka itu...
                                                            ***
            Selama Sal menanti sang malaikat maut menjemputnya, hanya Astri yang setia menjenguk dan mendampinginya.  Dia selalu datang pagi sebelum berangkat ke kantor, dan sore sepulang dari kantor.  Kadang di saat makan siang dia menyempatkan diri untuk menjenguk Sal. 
            Dengan penuh kasih dia berdoa untuk Sal.  Meskipun dengan masker pelindung, tangan dibungkus sarung tangan, dia tetap tidak kehilangan kehangatan yang ingin ditunjukkannya pada Sal.
            Sesekali Sal mengenalinya, tetapi lebih banyak tidak.  Dia hanya menatap kosong dan hampa.  Beberapa kali Astri menemukan setitik air mata di ujung mata Sal.  Tetapi tidak pernah lebih dari itu.  Sal sudah kehilangan emosi yang dimilikinya selama ini.  Dendam dan amarahnya pada Astri menguap entah kemana.
            Riris , Jojo dan keluarga Sal, semua sudah tahu penyakit yang diderita Sal.  Tetapi yang mau menjenguknya ke ruang isolasi, hanyalah Jojo dan Mak Jah, ibunya.  Riris tidak mau, karena memang dia tidak akan bisa melihat keadaan ibunya.  Mengharapkan mendengar suara Sal, itu tidak mungkin lagi.
            Astri yang paling sering mendampingi Sal.  Bahkan saat-saat akhir kehidupannya, Astri yang ada di sisi Sal.   Dengan tangan Sal dalam genggamannya, dan doa yang dinaikkannya sepenuh hati, Astri melepas kepergian Sal.  Kepergian seorang wanita yang telah merusak sebagian hidupnya.  Tetapi karena Sal juga dia punya semua ini.  Keluarga yang mencintainya, anak-anak yang setengah memujanya, dan tentu saja, kekayaan batin.
            Kesibukan merawat Sal sempat membuatnya mengabaikan test HIV yang dilakukannya.  Astri tahu Sal mencoba melukainya untuk menularkan HIV yang ada dalam darahnya.  Tidak dikatakannya hal itu pada siapapun.  Dia tidak mau Sal yang telah terbaring lemah tanpa daya, masih harus menanggung amarah orang-orang yang merasa muak dengan usahanya menyakiti Astri.  Maka, dia melakukan test itu dengan diam-diam.  Dalam hatinya, Astri hampir yakin bahwa Tuhan pasti tidak akan membiarkan virus jahanam itu menyusup dalam tubuhnya. 
            Dua kali test yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu, keduanya negatif.  Sal tidak berhasil melaksanakan misinya yang terakhir. 
            Setelah agak lama Sal meninggal, Astri merenungkan kembali sore berselimut awan tebal itu.  Saat aliran listrik mendadak padam dan Sal melukainya dengan pisau.  Dia bisa mendengar gelegar kilat itu, dia bisa merasakan bau anyir darah pada hidungnya.  Saat itu dia sadar, Sal telah salah melakukan proses penularan itu.
            Astri menaikkan lengan bajunya ke atas siku, mengamati dua luka memanjang yang ada di kedua belah tangannya.  Luka di tangan kiri, adalah luka lama, karena tergores ujung besi penyangga pot bunga.  Luka di tangan kanan, adalah luka yang dibuat Sal.  Saat itu tiba-tiba saja lampu padam.  Entah karena aliran listrik memang padam atau karena dipadamkan oleh Sal, Astri tak tahu pasti.  Tapi yang jelas, Sal telah mencoba melukainya dan menularkan virus mematikan itu pada luka itu.  Sungguh suatu kebetulan dua minggu sebelumnya dia terluka karena goresan ujung besi penyangga pot .  Dalam kegelapan, Sal tak bisa membedakan kedua luka itu.  Yang terasa olehnya hanyalah parut luka.  Dia telah mencoba memasukkan HIV itu lewat bekas luka yang telah sembuh, hanya meninggalkan parut memanjang pada lengan kirinya.  Kalau saja hal itu dilakukannya luka yang baru dibuatnya, mungkin...  Astri tidak mau membayangkan hal itu lagi.
                                                            ***
            Riris berputar sekali dengan gaun pengantin yang melekat indah di tubuh rampingnya.  Gaun putih bersih dengan hiasan gemerlap itu membuatnya seperti seorang ratu negeri dongeng.  Rambutnya yang hitam legam disanggul ke atas dan dihiasi mahkota bertatahkan permata.  Lima menit lagi dia akan masuk dalam mobil pengantin yang akan membawanya ke gereja, tempat pemberkatan pernikahan diberikan.
            “Cantik nggak sih?”  Rajuknya sekali lagi.
            Astri tertawa kecil.  “Tentu saja... kamu sangat cantik sekali, Sayang.”
            “Mama... “  Riris menunduk dan mengecup kening Astri.  “Kalau bukan karena Mama, mungkin saat seindah ini tidak akan pernah hadir dalam kehidupan seorang gadis buta seperti Riris.”
            “Berhentilah menyebut dirimu seperti itu, Riris.  Paling lama empat puluh menit lagi kamu akan menyandang predikat Nyonya Adolf Parinussa.”  Tegur Astri tegas.  “Kamu sudah berjanji.  Mau ingkar ya?”
            “Nggak lah yaooo....”
            Setelah satu tahun berpacaran, dua tahun tiga bulan, bertunangan, akhirnya Marissa menikah juga dengan Adolf.  Semua orang turut bahagia.  Termasuk Jojo yang sampai saat adiknya resmi menjadi Nyonya Adolf, belum juga punya seorang calon istri.
            “Jo, kapan nih nyusul Riris.  Nanti Riris sudah punya cucu, kamu baru menimang anak pertama.”  Ledek beberapa tamu yang datang.
            “Tenang saja, hari masih terlalu siang.”  Jawab Jojo tersenyum.
            “Aku dengar kamu cari yang seperti ibumu ya?  Wah, itu sih namanya oeidipus complex.  Kelainan tahu!”
            “Rasanya standar yang kamu tetapkan terlalu tinggi, Jo.  Mana mungkin ada seorang wanita yang seperti ibumu?  Dia terlalu hebat, iya kan?”
            “Nothing compares to her.”
            Jojo menatap ibunya yang tengah menyalami tamu-tamu pada pesta pernikahan adiknya itu.  Begitu cantik, begitu baik.  Mungkin mereka semua benar, ibunya tiada bandingnya.
            “Bang Jojo...”  Sebuah suara merdu menyapa indra pendengarannya.  Dia menatap si pemilik suara, dan terpana dalam kekaguman.
            Ivonne tampil memikat dengan gaun malam berwarna putih gemerlap.  Rambutnya disanggul dan dihiasi mutiara putih.  Seuntai kalung mutiara melingkar di leher jenjangnya.  Dua tahun dia tidak bertemu dengan Ivonne, sejak anak kecil itu melanjutkan kuliahnya di California.  Sekarang, Ivonne telah jauh berubah.
            “Kenapa?”  Bola mata Ivonne membulat ketika mendapati tatapan Jojo yang berlumur rasa kagum dan heran.
            “Ivonne...”  Jojo tak sanggup mengeluarkan  sepatah kata saja.  Ketika tatapan matanya bertemu dengan sorot mata Ivonne yang penuh kedewasaan, dia tahu, dia sudah menemukan seorang calon istri.  Debar-debar cinta yang dulu ditepisnya jauh karena sifat manja Ivonne, kini menyeruak kembali. 
            “Hei... jangan salah memanggil Ivonne ini Mama Astri...  Ivonne bukan mama Astri lho!”  Ivonne tersenyum manis.  “Tapi Ivonne mau belajar banyak pada Tante Astri.  Everything can be learned, betul kan?”
            Jojo ingin mengangkat Ivonne tinggi-tinggi dan memperkenalkannya sebagai calon mempelainya.  Saat ini juga, di depan sekian banyak tamu.  Tapi dia sangat sadar, masih banyak waktu yang tersedia baginya.  Dia menatap Ivonne, meraih jemari gadis itu dalam genggamannya.
            “Terimakasih, Iv.” 
            Astri masih di sana, sibuk dengan tamu-tamu yang menyatakan kebahagiaan mereka.  Dengan ekor matanya dia tahu tangan Jojo dan Ivonne saling menggenggam, seperti dua hati mereka yang telah bertaut.  Astri menyadari bahwa anak lelakinya yang gagah telah menemukan tambatan hatinya.  Dia merasa sangat lega.  Kebahagiaan begitu menenggelamkannya, sampai dia ingin tertawa keras dan menyanyi keras-keras.  Memuji Tuhan yang telah mengaruniakan segala berkah ini padanya.
            Sesungguhnya, bukankah jalan hidup manusia terbuka di hadapan Tuhan?  Mereka yang berhati lurus dan baik, mana mungkin menuai petaka yang tidak pernah disemaikannya?  Kalau mengatur seisi alam semesta yang agung ini saja DIA sanggup, apa sulitnya mengatur kehidupan seorang anak manusia?
            Langit cerah bulan Juni berhiaskan ribuan bintang yang gemerlap.  Masing-masing dengan kilaunya yang cemerlang.  Setiap anak manusia punya kehidupan sendiri.  Tidak pernah ada satu kehidupan yang sama persis dengan kehidupan lainnya.  Tetapi satu hal yang pasti, tidak ada satupun terjadi pada hidup seseorang, jika Tuhan tidak menghendakinya.  Mungkin terjal dan berduri jalan yang harus ditempuh, tetapi kalau akhir yang menanti adalah kebahagian, apalah artinya batu karang terjal dan duri-duri tajam sekalipun?