Minggu, 24 Maret 2013

KAMILLA DOEA : SERENADE KISAH LAMA


Halaman-halaman dengan tulisan rapat berjajar bagai semut berbaris itu memusingkan kepalanya.  Kamilla menutup buku tebal yang tengah dibacanya.  Melepas kacamatanya dan meletakkan alat bantu baca itu ke atas meja.  Direntangkannya tubuhnya kuat-kuat sembari menguap lebar.  Sudah cukup untuk hari ini.  Semua tugasnya untuk hari ini sudah selesai.
Dia beranjak ke arah jendela kamar, menurunkan tirainya hingga kegelapan malam tidak membuatnya resah lagi.  Jam dinding berdentang sebelas kali.  Oh, baru terasa lelahnya seharian bekerja.  Baru saja Kamilla meletakkan tubuhnya ke pembaringan, ponselnya bernyanyi riang.
'not recognized number is calling you' tulisan di layar ponselnya berbunyi.  Kamilla menimbang-nimbang antara menerima panggilan itu atau mengabaikannya.  Dia masih belum mengambil keputusan ketika dering ponselnya berhenti.  Matanya nanar menatap layar ponsel yang menyala sejenak kemudian kembali gelap.
Lelaki dari belahan dunia mana lagi yang berusaha mengusiknya?
Lelaki mana lagi yang ingin menjadikannya sekedar pengisi waktu luang dan tempat membuang rasa bosannya?
Belum menjawab pertanyaannya sendiri, Kamilla dikejutkan oleh ponselnya yang kembali bernyanyi riang.  Tanpa pikir panjang Kamilla menekan tombol hijau dan suara beningnya menyapa "Ya....selamat malam"
"Bener ini mbak Milla?"
"Ini siapa?"
"Ini Revan Mbak...Revan yang dulu bareng mbak dari Jakarta ke Surabaya. Dah lupa ya?"
Seraut wajah tirus dan bola mata coklat bening yang tulus, menyeruak benak Kamilla.  "Ya...Revan yang mana ya?"
"Oh..ya sudah...maaf sudah mengganggu malam begini.  Selamat istirahat, Mbak."
Tut...tut....tut....tutttttttttttttttt...
Kamilla meletakkan ponselnya ke atas meja di tepi pembaringan.  Revan, pemuda berwajah tirus yang menganggapnya masih berusia dua puluh lima itu?  Pemuda aneh yang menyatakan cintanya di akhir sebuah perjalanan kereta api sepanjang dua belas jam? Hahahaha...mana bisa Kamilla lupa?
Diraihnya lagi ponselnya, menekan tombol 'log panggilan' lalu tombol hijau.
"Hai Revan...apa kabar?"
"Oh Mbak...bener udah lupa sama aku ya?"
"Inget kok, kamu yang gag suka coklat itu kan?"
"Hahahaha...sebenernya aku penggemar coklat mbak, cman waktu itu aku nolak karena aku tahu pasti mbak lebih membutuhkan coklat daripada aku.  Hehehehe..."  Suara menghela napas panjang.  "Aku baik saja Mbak, Mbak sendiri gimana?"
"Aku baik, Dek.  Btw....gmana cara kamu nemuin nomorku?"
"Dari mbak sendiri kan?"
"Dari...aku?"
"Iya Mbak...Mbak yang ngasih aku nomor mbak waktu kita chatting di facebook, tadi malam.  Mbak nawarin aku polis."
"Owh!"
Kamilla sedikit terpesona.  "Jadi kamu pemilik akun 'Putra Fajar'?"
"Ya Mbak, heran ya..."
Kamilla menghela napas panjang.  Dia merasa begitu kenal dengan gaya bicara teman chattingnya semalam.  Hingga ditahannya kantuknya hingga jarum jam mendekati pukul dua pagi untuk melayani pembicaraan via web itu.  Dia pikir...
"Iya...aku pikir kamu orang lain"
Suara napas panjang di seberang.  "Oke deh mbak..selamat malam...besok aja kita sambung lagi.  Mbak harus istirahat, besok kerja lagi kan..."
"Iya Rev...makasih ya pengertiannya...kamu juga cepat istirahat, biar besok gag capek kalau kuliah. Met malam met istirahat"
"Thanks ya Mbak..."
Kamilla mematikan ponselnya, meletakkan benda pipih itu ke atas meja, lalu duduk dengan kaki menjuntai di tepi pembaringan.  "Putra Fajar itu Revan...dari mana dia tahu akun facebook-ku? Dan kenapa dia seolah tahu banyak tentang diriku?  Aku pikir dia Galih...."


Galih adalah cinta pertama Kamilla.  Galih dengan rambut ikalnya dan sorot matanya yang setajam sorot mata elang.  Galih yang tak pernah lalai membawakannya edelweis tiap kali dia naik gunung.
"Kamilla...pacarmu naik gunung lagi...ingat ya...sekali ini edelweisnya buat aku!"  Kinanthi melambai-lambaikan buku kimianya di depan hidung Kamilla yang seolah tenggelam dalam lamunannya tentang sosok Galih.
"Iya....ya elahhh...udah dong bikin orang sebel dengan buku jelek itu!"
 "Kimia sayaaanggg...kimiaaaa....bukan buku jelek, nilaimu yang jelek tuhhh...kebanyakan pacaran!"
Kamilla tersenyum pahit.  Tidak juga.  Kimianya tidak pernah dapat nilai jelek sebelumnya.  Dia selalu berhasil duduk di peringkat satu, dua atau paling rendah tiga, dalam setiap ulangan matematika, kimia dan fisika.  Tetapi akhir-akhir ini....
Kamilla mengelus perutnya dengan sedih.  "Aku tahu sesuatu sedang terjadi di dalam sini...dan itulah yang membuat nilai-nilaiku hancur."



Galih menyepak kerikil kecil di ujung sepatunya kuat-kuat.  “Aku benci mengatakannya…tapi kamu tahu…aku rindu saat-saat itu. Saat kamu ada di sisiku, dan kita bercerita tentang mimpi indah kita.  Kenapa sih kamu biarkan sesuatu yang tidak baik itu tumbuh dalam rahimmu dan mengacaukan hubungan kita?”
“Sesuatu yang tidak baik itu anak kita!  Buah cinta kita!” sergah Kamilla kasar.
Galih menghentakkan kakinya lagi.  “Halah…omong kosong apa itu!  Kita bisa punya selusin anak, nanti…setelah aku dan kamu sama-sama siap.  Tidak sekarang.  Sekarang itu suatu kesalahan…plizzzz….Milla…hentikan itu!”

Kamilla menghentikan langkahnya.  Merapatkan jaketnya menutup perutnya yang kian membuncit.  Lalu menatap Galih dengan sorot mata asing.  “Kalau kamu masih saja memaksaku menggugurkan kandunganku, pergilah Galih…pergilah dari hidupku!  Biarkan aku di sini….menanggung semua resiko yang aku pilih sendiri.  Pergilah…jangan pernah kembali!”
 

"Terus kamu anggap apa aku?  Harus berhenti meraih mimpiku hanya demi isi perutmu yang kamu sebut buah cinta kita itu?"  Galih menghentakkan kakinya dengan marah.  Edelweis yang tadi ada dalam genggaman tangannya, dilemparnya begitu saja hingga berhamburan di atas tanah.  Kamilla memandang semua itu dengan mata berlinang dan bibir bergetar.  "Itu bukan buah cinta kita...itu kutukan, Milla!  Kutukan!  Berapa usiamu? Enam belas!  Berapa usiaku? Delapan belas!  Ya ampun....sebatang rokok saja aku masih minta bapakku belikan, bagaimana aku bisa menghidupi anak itu?  Kenapa susah sekali....aku punya kenalan dukun bayi yang biasa aborsi.  Aku jamin aman..banyak..."
Kamilla menatap Galih dengan mata berlinang, tetapi sorot matanya menyala penuh kemarahan.  "Lanjutkan!  Tapi jangan pernah berharap aku akan menurut maumu!  Aku akan melahirkan anak ini!"
Galih mendekat pada Kamilla, meraih kedua bahu gadis belia itu dan menatap matanya tajam-tajam.  "Dengar aku...dukun bayi itu pintar, dia sudah sangat berpengalaman!"
"Tidak!"

Dan kata 'tidak' itu pula yang dibawa Kamilla pada papa dan mama ketika akhirnya dia tak bisa menutupi kehamilannya lagi.

"Milla hamil, Ma. Anak Galih."  Milla duduk tertunduk di sofa ruang keluarga.  Tak sanggup menatap mata papa yang menyala marah dan lebih tak sanggup lagi menatap mata mama yang sangat terluka meski mata lembut itu tidak berlinang air mata.  "Maafkan Mila."

"Maaf?  Hanya itu yang kamu ucapkan setelah sebuah pengkhianatan sebesar ini terhadap orang tua yang sudah membesarkanmu dengan air mata dan keringat darah?  Maaf?"  Suara Papa menggelegar.  Milla sudah siap menerima tamparan di pipinya.  Tetapi Papa tidak melakukan itu, tangannya yang bergetar kuat berhenti di udara.  Lalu disertai teriakan keras papa menghantamkan kepalannya pada meja kaca hingga hancur berantakan.  Selanjutnya   Kamila tidak tahu apa yang terjadi.  Mama sibuk merawat tangan papa yang mengucurkan darah.  Kamilla berdiri dengan tubuh lunglai.  Hatinya terasa sangat sakit.  Dengan sisa kekuatannya, dia melangkah menuju kamar, mengambil tas ranselnya yang telah disiapkannya sejak semalam.  Ketika seisi rumah sibuk dengan papa yang terluka, Milla menyelinap keluar.  Berjalan di gelapnya malam dengan langkah gontai. "Tidak ada seorang pun boleh memaksaku berpisah dengan anak dalam rahim ini, tidak seorang pun!"

"Kamu pintar Milla, kamu pasti dapat beasiswa, kamu bisa jadi dokter spesialis bedah jantung yang hebat.  Kelak kamu akan menyelamatkan banyak nyawa dan membuat hidup banyak orang lebih berarti.  Tuhan menyayangimu, Sayang."

"Kami bangga punya kakak Mbak Milla, semua guru membicarakan kakak. Kakak hebat!"

"Aku cinta kamu Milla, kita akan bersama mengarungi bahtera hidup ini.  Kamu adalah puncak tertinggi yang bisa kutaklukkan, dan berdua kita akan menaklukkan puncak-puncak kehidupan ini.  Berdua, Milla!"

Dan semua itu berputar bagai arus air yang kuat, menarik seluruh sisa-sisa kekuatannya.  Kamilla hanya tahu dia berjalan dan terus berjalan tanpa pernah tahu arah tujuannya.  Langkah kakinya silih berganti.  Air matanya terus mengalir tanpa henti sampai akhirnya kelenjar air matanya kering.  Dia menangis tanpa suara tanpa air mata.  Kekuatannya hilang, dia masih terus berjalan hingga akhirnya tubuhnya tak mampu menahan lagi, luruh begitu saja ke permukaan bumi, diterpa hujan dan dihembus angin malam yang dingin.