Senin, 07 Mei 2012

Tak Selamanya Mendung Itu Kelabu Bagian Enam


“Jadi...kamu ingin mengundurkan diri dari biro ini?”  Suara Amanda terdengar pelan sekali.  “Kamu ingin meninggalkan semua yang sudah kita rintis bersama?”  Amanda memandang ke jalan raya melalui jendela kaca di kantor mereka.  Siang itu sama saja seperti siang-siang yang lalu.  Jalan raya di bawah sana tetap saja ramai.  Banyak orang yang lalu lalang dengan kendaraan masing-masing.  Semua punya berbagai tujuan dan kebutuhan yang harus diselesaikan.  Amanda mencoba memahami, Astri termasuk salah satu dari orang-orang itu.
            “Am, aku tidak mungkin menutup perusahaan Agung.  Banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada kelangsungan perusahaan itu.  Menjualnya juga tidak mungkin.  Perusahaan itu dirintis Agung  mulai dari nol.  Dia hanya memiliki satu buah mesin ketika memulai usaha itu.  Dia menawarkan sendiri produk yang dihasilkannya ke toko-toko bangunan.  Perusahaan itu memiliki arti yang sangat besar bagi keluarga kami, Am.”
            “Kamu sendiri yang bilang, kalau bukan karena perusahaan itu, mungkin mahligai cintamu dengan Agung masih berjalan dengan mulus.”
            “Dulu aku berpikir begitu.”  Astri menghela nafas panjang.  “Sekarang ini aku sadar sepenuhnya.  Semua yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah seijin Tuhan.  Semua diatur oleh Yang Maha Kuasa.”
            “Oh ya?”  Amanda menatap Astri dengan sinis.  “Aku betul-betul tidak bisa mengerti dirimu, As.  Selama ini kupikir kita bersahabat, dan aku mengerti betul perasaanmu.  Tapi...”  Amanda mengangkat bahu.  “Kamu jauh berbeda dari apa yang selama ini aku kenal.  Kamu memaafkan keluarga Sal begitu saja.  Kamu bahkan mengambil anak buta itu dan menganggapnya anak kandungmu sendiri.  Sekarang, kamu ingin mengelola perusahaan peninggalan Agung itu, dan memberikan sebagian keuntungannya pada keluarga Sal.  Kamu ini betul-betul mau jadi malaikat?”
            “Am...”
            “Kamu bisa menjual perusahaan itu, dan menginvestasikan uangnya pada saham, valuta asing, atau properti.  Berikan saja sedikit bagian untuk keluarga Sal.  Habis perkara.  Kamu sama sekali tidak punya tanggung jawab moral untuk memelihara mereka.  Atau untuk membagi kebahagiaanmu dengan orang yang telah melukaimu.”
            “Sal dan Agung yang melukai aku.”
            “Aku tahu...tetapi semua ini tidak akan terjadi kalau keluarga Sal tidak menuntut Agung menikahi Sal.  Ah, semua laki-laki pernah berselingkuh.  Tapi tidak semuanya harus diakhiri dengan pernikahan.”  Amanda mengibaskan tangannya dengan kesal.  “Sekarang aku buka sebuah rahasia besar yang akan mengubah keputusanmu.”
            “Rahasia apa?”
            Amanda mendekat pada Astri.  Memegang tangan sahabatnya dengan erat.  “Kamu tahu, empat tahun aku berselingkuh dengan Pak Broto.  Tidak ada komitmen apa pun.  Dia memberikan apa yang kumau, dan aku memberikan apa yang dia mau.  Itu sudah cukup.”
            Astri mendekap mulutnya dengan tangan.   “Kamu...”
            Amanda tertawa kecil.  “Tidak usah terlalu terkejut, malaikat kecilku.  Kamu pikir Pak Broto itu dewa, mau memberikan komisi sedemikian besar kepada seorang konsultan yunior seperti aku?  Astaga, kenapa kamu sama sekali tidak berpikir ke arah itu?”
            “Aku...aku pikir...”
            “Sampai sekarang aku belum menikah.  Mungkin tidak akan pernah menikah.  Semua yang kuinginkan sudah kudapatkan.  Cinta, pemujaan, uang, dan sex.  Kamu tahu, berselingkuh itu jauh lebih nikmat daripada menikah.  Seharusnya keluarga Sal tidak menuntut Agung untuk menikahi Sal.”
            “Amanda...”  Astri berdiri.  Dengan mata berlumur kekecewaan yang amat sangat, dia memandang sahabatnya.  “Kenapa kamu mengatakan semua ini padaku, Am?  Kamu tahu, aku paling benci ketidakjujuran.  Kamu mengakui perselingkuhan itu seperti seorang anak menunjukkan permen yang dicurinya dari kantong ibunya.  Kamu sama sekali tidak merasa bersalah.”
            “Kenapa harus merasa bersalah?  Tidak ada yang dirugikan dalam kasusku ini.  Istri Pak Broto tetap memperoleh seluruh haknya sebagai istri.  Anak-anaknya tetap merasakan kehadiran seorang ayah.  Aku tidak mengambil apapun dari mereka.  Lain sekali dengan apa yang dilakukan Sal dan keluarganya.  Mereka mengambil semua...semuanya dari kamu dan Jojo.”
            “Am...kamu mengecewakan aku.”
            “Dengar Astri, aku tidak bermaksud apa-apa.  Aku cuma ingin membuka matamu, bahwa semua yang kamu lakukan ini adalah kebodohan.  Tidak seharusnya kamu berbuat begitu banyak untuk keluarga Sal.  Mereka adalah sebab dari segala kesedihan dan tragedi keluargamu.  Tidak ada maaf bagi mereka.”
            “Adakah maaf untukmu, Am?”
            “Sudah kuk`takan, aku tidak mengambil apa-apa dari istri dan anak-anak Pak Broto.  Lalu apa salahku?  Apa yang harus dimaafkan?”
            “Amanda...kamu tidak mengerti...”
            “Aku mengerti.  Aku sangat mengerti.”  Tukas Amanda ketus.  “Baiklah, terserah padamu, As.  Aku tidak akan pernah bisa memaksamu menuruti kehendakku.  Meskipun aku sudah membuka sebuah rahasia terbesar yang kumiliki, kamu tetap pada keputusanmu.  Ya... apa boleh buat.  Semua terserah kamu saja.”
            “Am...”
            “Hei...jangan jadi rikuh begitu.  Meskipun kita bukan satu tim kerja lagi, tidak berarti persahabatan kita putus kan?  You’re still my best.  Jojo tetap anak angkatku.  Semuanya baik-baik saja, tak ada yang berubah kecuali hubungan kerja kita.”
            “Maafkan aku, Am.”  Astri memeluk Amanda, erat. 
            “Hei... kamu akan menjadi klien biro ini.  Iya kan?”
            “Tentu saja.  Banyak yang harus dibenahi dalam perusahaan Agung.  Kamu mau membantuku kan?”
            “Dengan fee yang sepantasnya, tentu?”  Amanda tersenyum.  “Hanya bercanda, aku tidak serius As.”
            “Serius juga tidak masalah, setiap pekerjaan harus ada imbalannya.  Iya kan?  Hanya saja, aku boleh minta potongan harga kan?”  Astri menghindari cubitan Amanda yang bertubi-tubi.  Mereka tertawa bersama, seolah tidak ada apapun yang berubah.
                                                            ***
            Perbaikan yang harus dilakukan pada perusahaan peninggalan Agung, ternyata sangat banyak.  Hampir dua tahun, Astri mengingatnya sebagai hari pernikahan Sal dan Agung, perusahaan itu tidak diurus dengan baik.  Amanda menyamakan perusahaan itu seperti kerakap tumbuh di atas batu, hidup segan mati tak mau.  Mempertimbangkan banyaknya keluarga yang menggantungkan hidupnya dan kepulan asap dapurnya pada perusahaan itu, maka mau tidak mau perusahaan itu harus mengalami pembenahan.  Semua.  Bukan cuma satu atau dua bagian, tapi keseluruhan.
            Astri dan Amanda mencurahkan seluruh keahlian mereka untuk memperbaiki perusahaan itu.  Setelah memeriksa laporan-laporan yang masuk, mereka berhasil menemukan penyakit utamanya.
            “Seluruh kendali manajemen ada pada Agung.”  Amanda menggigit-gigit ujung pensil yang dipegangnya.  Ditutupnya berkas laporan yang baru diterimanya dari Astri.  Laporan itu setebal tiga puluh tujuh halaman.  Merupakan penggambaran yang sempurna dari keadaan perusahaan yang sama sekali tidak baik.  “Agung seperti matahari tunggal b`gi perusahaan ini.  Manajer-manajer yang ada tidak lebih dari staf administrasi.  Semua keputusan ditentukan oleh Agung.  Payahnya, dia sama sekali tidak menguasai pengambilan keputusan yang tepat.”  Amanda mengernyitkan dahinya hingga berlipat-lipat.  “Ketika dia mengambil keputusan untuk menaikkan harga jual, dia sama sekali tidak mempertimbangkan harga produk kompetitornya.  Tenaga penjualan tidak diberi pengetahuan bagaimana menunjukkan keunggulan produk yang mereka jual.  Lihat ini, tingkat penjualan menurun drastis setelah keputusan itu diambil.”
            “Beberapa salesman main kayu dengan menjual produk di bawah harga yang ditetapkan perusahaan.”  Astri membaca tulisan yang dicetak miring itu dengan perhatian penuh.  “Apa maksudnya?”
            “Itulah yang disebut kelemahan keputusan.  Agung mengubah sistem pemberian komisi dan bonus.  Dasar pemberian insentif diubah dari nilai rupiah penjualan menjadi besar unit produk yang terjual.”
            “Agung mengambil keputusan itu karena dengan dasar nilai rupiah yang masuk, banyak salesman yang menaikkan harga produk.  Akibatnya produk tidak begitu laku di pasar.”
            “Ya, ada benarnya sih.  Tapi dengan dasar penetapan insentif yang kedua, dia telah membuka kesempatan bagi para salesman itu untuk menurunkan harga produk sampai titik dimana insentif yang diterimanya cukup melebihi kerugian karena menanggung penurunan harga produk itu.  Begini...”  Amanda membuat beberapa coretan di kertas.  “Dengan menjual  dua ratus dosen foot klep, seorang sales akan menerima komisi sebesar sepuluh persen dari harga jual ditetapkan.  Ini berarti, jika dia menurunkan lima persen harga jual ditetapkan itu untuk menaikkan penjualan hingga dua ratus dosen, dia masih memperoleh insentif sebesar lima persen.  Ini hanya perumpamaan.  Bagaimana jika dia sudah merasa cukup memperoleh insentif sebesar dua persen?  Dia akan menurunkan harga produk hingga delapan persen.  Tentu saja hal itu merusak harga jual ditetapkan.  Akibatnya, produk perusahaan itu akan dikenal sebagai produk dengan harga yang tidak pasti.  Sebanding dengan jumlah sales yang menawarkan produk itu, sebanyak itu pula jenis harga yang ada.   Ini namanya persaingan internal yang sama sekali tidak sehat.  Merupakan metode penetapan harga yang tidak tepat.”
            “Jadi sebaiknya kembali pada sistem lama?”
            “Tidak sepenuhnya kembali pada sistem lama.  Tapi sistem lama itu harus mengalami penyesuaian.  Bagaimana dengan menggabungkan kedua sistem ?”
            “Membuat suatu dasar yang pasti, menyesuaikan besarnya unit terjual dengan nilai penjualan?  Bagaimana mungkin Agung tidak memikirkan sistem seperti itu?”
            “Aku juga tidak memikirkan sistem seperti itu, As.”  Amanda tertawa geli.  “Sistem yang kamu anjurkan itu, sangat rumit dan sulit.”
            Astri menatap Amanda.  Dia tidak melihat kemungkinan lain.  Tapi sejak dulu volume otaknya memang tidak sebesar volume otak Amanda, kan?
            “Sistem pertama menimbulkan kecenderungan menaikkan harga, sistem kedua sebaliknya.  Keduanya sama-sama merusak harga yang ditetapkan.  Betul?”
            “Heeh....”  Astri masih belum menangkap gagasan Amanda.
            “Kalahkan perhitungan para salesman itu dengan perhitungan yang lebih rumit.  Ini kan sederhana sekali, As.  Misalnya, berikan besar insentif yang tidak merupakan persentase harga jual ditetapkan.  Misalnya, lima ratus ribu untuk penjualan lima ratus dosen atau penjualan sebesar harga jual ditetapkan dikalikan lima ratus unit, mana yang lebih dulu dicapai.  Kalau jalan yang ditempuhnya lurus, maka besarnya penjualan dalam unit maupun dalam rupiah akan seimbang.  Satu lagi, lakukan pemberian insentif itu secara terbuka dalam suatu forum yang diikuti seluruh tenaga penjualan.  Jadi, mereka akan saling mengendalikan.  Tidak ada lagi praktek main kayu yang bisa dilakukan tanpa diketahui rekan lainnya.”
            Astri memandang Amanda dengan kagum.  “Mestinya kamu menduduki posisi seorang manajer dalam sebuah perusahaan multinasional yang besar, Amy.”
            Amanda mengibaskan tangannya.  “As, aku sudah cukup puas dengan keadaan ini.  Tidak perlu ditambah dengan segala macam jabatan.”  Dia tertawa keras.  Tiba-tiba tawanya terhenti.  “As, bagaimana hubunganmu dengan dua jejaka tampan itu?”
            “Maksudmu Reza dan Raam?”
            “Siapa lagi lah...”
            “Sama saja seperti hubungan mereka denganmu.”
            “Tidak sama.  Sekarang kamu adalah wiraswastawati yang akan segera mencetak prestasi gemilang.  Cara pandang mereka terhadapmu pasti berubah.  Lagi pula, bukan itu yang kumaksud.  Reza sudah meminangmu?”
            “Aku?  Kenapa harus aku?  Begitu banyak gadis-gadis cantik...”
            “Begitu banyak juga yang tidak sesuai dengan keinginan Reza.”
            “Itu bukan urusanku, Amy sayang.  Berhentilah menjadi comblang.  Aku betul-betul tidak membutuhkan jasamu.”
            “Reza memintaku untuk menyampaikan isi hatinya padamu.  Kamu tahu, dia bilang lidahnya jadi kelu setiap kali ingin menyampaikan perasaannya padamu.”
            “Oh ya...”
            “As, Jojo membutuhkan figur seorang ayah, kan?  Sekarang juga ada Riris.  Kamu tidak punya niat untuk menghapus figur seorang ayah dari kehidupan mereka kan?”
            Astri menatap sahabatnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.  Dia menghela nafas panjang, membuangnya pelan-pelan.  “Figur seorang ayah tidak berarti aku harus menerima Reza kan?”
            “Reza tidak punya kekurangan yang fatal.”
            “Agung juga tidak, tapi dia tidak berhasil menjadi seorang ayah yang baik.”
            Amanda mendecakkan lidahnya dengan kesal.  “As, kamu harus belajar untuk tidak lagi membandingkan setiap lelaki dengan Agung.  Terimalah kenyataan bahwa Agung sudah pergi, dan kisah hidupmu dengannya seperti buku yang ditutup.  Sudah.  Habis.”
            “Amy sayang, aku masih merasa belum cukup siap untuk menerima kehadiran seorang pengganti Agung.”
            “Itu merupakan kalimat penutup yang paling kamu sukai, iya kan?”
            “Amy...”
            “Sudahlah...lupakan.  Aku tidak berhak bicara apapun tentang pendamping hidupmu.”
            “Sama seperti kamu membatasi hakku sebagai sahabat, tidak boleh menasehatimu sedikit saja tentang Pak Broto.”
            “Yah...”  Amy angkat bahu.  Senyumnya merekah.  “Jadi kita seimbang.”
            Astri hanya tersenyum tipis.  “Kita bersahabat, kita berbagi semua hal, kecuali satu itu.  Setuju?”
            Amanda mengangkat bahunya sekali lagi.  Matanya melirik ke atas, ditambah bibirnya yang manyun semakin tampak seperti seorang anak yang tengah merajuk.  “Tidak ada pilihan lain.  Kasihan Reza.  Dia pasti sangat terpukul dengan penolakanmu ini.  Kamu tahu, dia tidak pernah dito...”
            “Ssttt...”  Astri meletakkan telunjuknya di depan bibir.  Matanya membulat jenaka.  “We make a deal....
            Ternyata baik Reza maupun Raam, tidak mengalami pukulan sebesar yang diperkirakan Amanda.  Yang terjadi empat belas bulan kemudian justru sesuatu yang sama sekali tidak masuk akal.
            “Aku akan menikah, As.”  Amanda memegang tangan Astri.  Mereka berdua tengah menikmati keteduhan sebuah kafe kecil.  Kesibukan kerja Astri dan Amanda hampir membuat mereka tidak sedekat dulu lagi.  Sekali ini ada waktu yang benar-benar bagus.  Waktu dimana Amanda dan Astri sepakat untuk tidak membicarakan soal pekerjaan, meskipun hanya sedikit. 
            Ketika berangkat dari rumah tadi, Astri punya rencana untuk menceritakan tentang Riris yang sudah bisa menghafalkan lagu Satu Nusa Satu Bangsa (padahal usianya baru dua tahun lebih sedikit, karena itu Astri sangat bangga) dan  Jojo yang akan mengambil kelas taekwondo.  Mendengar kalimat Amanda, Astri merasa tangannya kaku.  Sendok teh yang tengah dipakainya mengaduk jus apelnya, jatuh ke meja batu.  Berdenting nyaring.
            “Menikah?”
            “Tentu saja.  Masa kamu pikir aku mau jadi perawan tua?  Aku juga ingin menikah, punya anak-anak yang lucu seperti Jojo dan Riris.”
            Astri merasa mulutnya kering ketika melanjutkan pertanyaannya.  “Kamu pernah berjanji tidak punya tuntutan apa-apa kepada Pak Broto.  Kamu tidak ingin menghancurkan kehidupan keluarganya kan?”
            Amanda tertawa keras.  Tak dipedulikannya pandangan heran dari pengunjung lain. “Siapa sih yang mau menikah dengan lelaki baya seperti Pak Broto.  Dia itu kan sudah out of date?  Memang sih dia dulu pernah memiliki kedudukan khusus dalam kehidupanku.”  Amanda menunduk.  “Jujur saja, saat itu aku betul-betul terobsesi ingin meraih materi sebanyak-banyaknya.  Pak Broto adalah jalan yang tepat.”  Nada suaranya merendah.  Dia kembali menegakkan tubuhnya.  Senyumnya tersungging dengan amat manis.  “Aku akan menikah dengan Reza.”
            “Reza...”
            “Iya, jejaka tampan yang sudah kamu kecewakan.”
            “Aku...”
            “In fact... aku sudah lama sekali suka pada Reza.  Tetapi sikapnya yang angin-anginan, seperti tidak punya prinsip...belum lagi rasa percaya dirinya yang cukup besar...  Kami sering bertengkar sebelumnya.  Sebelum kamu membuka matanya, bahwa dia tidak cukup menarik bagimu.  Saat itu dia bisa melihat dirinya secara utuh, bahwa dia tidak sehebat dugaannya.  Kesibukanmu menjadi seorang pengusaha wanita yang sukses, membuat kamu kehilangan perhatian pada sahabat-sahabatmu, As.  Enam bulan terakhir ini aku dan Reza sepakat untuk menjalani kehidupan bersama-sama.”  Amanda menyilangkan tangannya ke depan dada.  Tersenyum kecil sambil menganggukkan kepalanya berkali-kali.  “Ternyata kami bisa saling berbagi.  Baik dia maupun aku, punya masa lalu yang tidak terlalu bagus.  Dia sudah mengenal banyak perempuan dalam hidupnya, aku juga bukan seorang yang suci bersih.  Tetapi kami bisa saling menerima kenyataan itu.  Kata lainnya, dia dan aku sepakat untuk menutup masa lalu kami, dan membuka lembaran baru.  Kemarin malam, Reza meminangku secara langsung.  Ah, kamu tahu, As...ini luar biasa sekali!  Seorang lelaki, yang pernah menganggap pernikahan tak lebih dari sebuah lelucon kehidupan, meminangku menjadi istrinya.  Dia ingin aku menjadi ibu anak-anaknya.  As... aku bahagia sekali!”
            Astri merasa matanya berkaca-kaca.  Dia sangat memahami perasaan Amanda.  Dulu, ketika Agung meminangnya, dia juga merasakan hal yang sama.  Agung...lagi-lagi Agung.  Astri tidak tahu sampai kapan nama itu akan terus menghantuinya.
            “Aku turut bahagia, Amy.”
            “Kamu tahu... ada berita lain yang tidak kalah menggemparkan.”  Sepasang mata Amanda berbinar-binar.  “Raam... si pendiam itu, yang tidak pernah punya keberanian untuk menyatakan rasa cintanya padamu, dia juga akan menikah.”
            “Raam?”  Astri merasa seluruh tubuhnya dingin.  “Raam juga akan menikah?”  Satu waktu dulu, ketika Agung masih bersama Sal, ketika Raam begitu dekat dengannya.  Ketika Raam mencoba untuk membuatnya menjadi tegar dan menghadapi semua kenangan akan Agung dan cintanya...  Satu waktu itu Astri pernah merasakan debar asing yang dulu hanya dirasakannya saat bersama Agung.  Tetapi kepergian Agung, keputusannya untuk merawat Riris dan membenahi perusahaan Agung, telah membuatnya melupakan Raam dan debar asing itu.  Sekarang...
            “Iya... dia menemukan sosok yang segalanya mirip denganmu, kecuali dalam hal usia.  Dia akan menikah dengan Anita.”
            Ketika pertama kali diperkenalkan dengan Anita, Astri menyadari betapa miripnya gadis muda itu dengan dirinya. Di sisi Anita, Astri merasa seolah mendapat seorang adik.   Kesibukannya membenahi perusahaan yang ditinggalkan Agung, membuatnya seolah hidup di dunia yang lain dengan dunia sahabat-sahabatnya.  Reza, Raam, Amanda, dan ‘adik’nya, Anita, telah menjalin hubungan-hubungan yang sama sekali tidak disadarinya.  Tiba-tiba, Astri merasa dirinya jauh dari mereka.  Dia sendiri, tidak ada yang mempedulikannya.
            “As, kamu tidak menyesal dengan keputusan yang kamu ambil sendiri kan?”  Amanda bertanya dengan suara yang pelan.  Dia melihat perubahan yang sangat jelas di wajah Astri.  Dia sama sekali tidak ingin sahabatnya menjadi sedih.  “Kalau kamu tidak merestui pernikahanku dengan Reza...”
            “Astaga, kenapa aku harus tidak merestuinya?  Kalian berdua adalah sahabatku.  Kebahagiaan kalian adalah kebahagiaanku.  Hanya saja, aku akan merasa kehilangan kamu, Am.  Kamu akan sibuk dengan keluargamu...”
            “Ssttt...dengar Astri, keluargamu adalah keluargaku, keluargaku adalah keluargamu.  Lagipula, mestinya kamu sekarang lega, karena setelah menikah, aku tidak akan berselingkuh lagi dengan ayah mertua Raam.”
            “Kamu...”  Astri tertawa melihat wajah Amanda yang jenaka.  Dia tidak kehilangan seorang sahabat.  Astri berjanji, mulai sekarang, dia akan menyediakan waktu yang lebih banyak untuk orang-orang yang pernah menjadi tempatnya berlindung.  Satu waktu dulu, ketika dunia seolah memusuhinya.
                                                ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar