Senin, 07 Mei 2012

Tak Selamanya Mendung Itu Kelabu Bagian Tujuh


Tepuk tangan bergemuruh ketika dentingan piano yang lembut memikat itu usai.  Hampir seluruh penonton yang semula duduk, berdiri untuk memberi penghargaan bagi sang maestro yang baru saja menunjukkan kemahirannya menekan  tuts-tuts hitam putih itu.
            Jojo mengedipkan mata pada Astri, “Sudah Jojo tebak, dia akan menjadi bintang malam ini.” 
            Astri merasa matanya berkaca-kaca.  Ditatapnya wajah Jojo dalam-dalam.  Anak itu telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tidak saja tampan, tetapi juga tinggi tegap seperti ayahnya.  Sorot matanya ramah bersahabat, kontras dengan bibirnya yang selalu menyunggingkan senyum sinis.  Astri tahu, senyum itu senyum Agung, dan matanya adalah mata Astri.  Kalau Astri dua puluh tahun lebih muda, dan dia bukanlah ibu Jojo, pasti dia akan jatuh cinta pada anaknya ini.
            “Mama, lihat, Riris sangat hebat kan?”
            Astri kembali merasa matanya basah, kali ini dia membiarkan ujung jari anaknya menghapus mutiara itu dari ujung matanya.  Maestro itu, sang pianis nan jempolan, adalah Marissa.  Delapan belas tahun yang lalu, dia adalah seorang bayi kecil yang kurus, sakit-sakitan, dan buta.  Bimbingan dan kasih sayang Astri yang telah membesarkannya.  Kesabaran Astri telah membuat bakat terpendamnya muncul laksana fajar.  Riris begitu berbakat di bidang musik.  Pada usianya yang keempat, dia sudah berani berdiri di depan ratusan jemaat gereja, melantunkan lagu pujian dengan suaranya yang jernih dan merdu.  Pada usia lima tahun, Riris sudah pintar memainkan gubahan Beethoven pada pianonya.  Sekarang, di usianya yang kesembilan belas, Riris telah menjadi seorang pianis yang handal.  Namanya bisa disejajarkan dengan pianis mancanegara, Richard Clayderman.  Tentu saja bagi Astri dan Jojo, kakaknya.  Tetapi sebenarnya Riris memang sangat terkenal.  Dia adalah pianis termuda yang memasyurkan nama Indonesia di mancanegara.  Satu lagi kelebihannya adalah karena dia seorang gadis buta.  Dalam berbagai seminar tentang menanamkan kepercayaan diri pada anak yang terlahir cacat, nama Marissa selalu disebut sebagai contoh konkret.  Bukan itu saja, Riris telah tumbuh menjadi seorang gadis yang  cantik jelita. 
            Rasa bangga Astri tidak ada bedanya, terhadap Jojo yang bintang kelas dan gagah, atau terhadap Riris yang cantik jelita dan piawai memainkan piano.  Keduanya telah tumbuh dengan sempurna, menjadi anak-anak yang bisa dibanggakan Astri pada semua orang.  Dia selalu bersyukur pada Tuhan, jika mengingat saat-saat sulit yang harus dilaluinya dulu, dia merasa adalah satu keajaiban dia bisa bertahan sampai saat ini.
            Delapan belas tahun setelah kepergian Agung, Astri bertahan untuk menjalani kehidupan ini.  Perusahaan yang ditinggalkan Agung, dua orang anak yang masih kecil, seorang ibu yang hanya punya satu anak yang telah meninggal, ibu Agung, dan satu keluarga besar yang sungguhpun tidak meminta bantuannya, tetapi sangat memerlukan bantuannya, keluarga Sal, semua adalah kekayaan hidup baginya.  Mereka semua yang mendorong Astri untuk melupakan kehancurannya.  Astri tidak mau segala kepahitan yang diterimanya semasa kecil menimpa Jojo dan Riris.  Dengan sekuat kemampuan, dia berusaha membesarkan kedua anak itu dengan kasih sayang seorang ibu sekaligus bimbingan seorang ayah.  Untuk mereka semua Astri telah melupakan dirinya sendiri.  Astri mengubur keinginannya sebagai seorang wanita yang merindukan pujaan dan belaian seorang lelaki.  Dia membiarkan dua lelaki yang pernah mengharapkan cintanya, menikah dengan wanita lain.  Astri telah meletakkan kepentingannya di bawah kepentingan orang lain.  Mungkin, inilah yang disebut pengorbanan.  Astri tidak tahu namanya, dan dia tidak peduli.  Dia sangat bahagia melihat hasil seluruh kerja kerasnya.
            Dari sepuluh orang kemenakan Sal, tujuh diantaranya telah menjadi orang sukses.  Astri yang mengusahakan mereka menyelesaikan pendidikannya hingga tingkat sarjana.  Tiga lagi akan segera menyusul.  Mereka semua menghargai kerja keras Astri, dan tidak akan melupakannya.  Tidak akan pernah.
            Dalam usianya yang telah berkepala lima, Astri benar-benar telah menjadi seorang wanita yang matang.  Kalau saja dulu Jojo tidak terlambat lahir, mungkin dia sudah menyandang predikat nenek.  Wajahnya memang tak secantik dulu, beberapa garis telah menghiasi wajahnya.  Beberapa helai rambut putih menyelip di antara rambut hitamnya.  Berbagai tantangan dalam kehidupan mengukir garis wajahnya.  Astri tidak pernah menyukai perbaikan wajah yang dilakukan oleh para ahli bedah plastik.  Baginya, satu garis keriput menandakan satu tantangan yang telah dilewatinya.  Tubuhnya tidak selangsing dulu, tapi justru lebih padat dan berisi.  Astri belajar menghargai olahraga sebagai bagian dari hari-harinya.  Di atas segalanya, Astri belajar banyak dari kehidupan ini.  Jika kehidupan ini adalah sebuah arena perlombaan, dia telah keluar sebagai pemenang.
            Jojo telah berusia dua puluh tiga tahun.  Tahun lalu dia lulus dengan predikat cum laude dari sebuah universitas negeri yang ternama.  Tahun ini dia mengambil program strata dua di universitas yang sama.  Paling lambat tahun depan, dia akan lulus dan dikirim ke luar negeri untuk mengambil gelar doktor.  Bukan atas biaya Astri, tapi dengan beasiswa yang diraihnya dari sebuah universitas terkenal di Boston.  Ibu mana yang tidak bangga? 
            Marissa telah berusia sembilan belas tahun lebih.  Sangat cantik jelita dan memikat.  Satu waktu dulu Astri pernah mencoba untuk membawanya berobat ke negeri seberang, siapa tahu mata Riris bisa melihat kembali.  Tetapi Riris sendiri yang menolak.  Dia merasa dia lebih bahagia dalam keadaannya yang sekarang.
            “Mama tahu, kalau Riris tidak buta, mungkin Riris tidak akan dikaruniai bakat musik yang begitu berarti bagi Riris.  Dunia Riris memang gelap, hitam, tapi semuanya jadi penuh pelangi setelah Riris menemukan musik di dalamnya.  Riris mohon, terimalah Riris apa adanya.  Jangan berusaha untuk membuat mata Riris melihat lagi, Ma.  Setuju?”  Meski tak sepenuhnya memahami penolakan Riris, Astri tak kuasa menolak.  Apalagi setelah Jojo mendukung permohonan adiknya itu.
            “Riris sudah terbiasa dengan keadaannya saat ini.  Bukan tidak mungkin dia akan merasa asing jika dia bisa melihat.  Mama tahu, seperti seorang yang biasa tinggal dalam gua gelap, kemudian keluar dan melihat sinar matahari yang begitu terang.  Tidak akan mudah.”
                                                            ***
            “Hallo, Jojo, oh ada, tunggu sebentar ya...”  Astri menutup telepon dengan tangannya.  “Jojo, telepon dari Ivonne.”
            “Tunggu sebentar Ma...”  Terdengar jawaban dari atas.  Sesaat kemudian didengarnya langkah kaki menuruni anak tangga.  Astri menggelengkan kepalanya berkali-kali melihat Jojo masih mengenakan celana pendek dan kaus dalam. 
            “Jojo, ini kan hari Sabtu, sudah jam enam sore.  Rasanya kamu ada j`nji dengan Ivonne kan?”
            “Sstttt...”  Jojo memberi isyarat agar Astri diam, matanya bersinar jenaka.  Astri tersenyum melihat ulahnya.
            Meskipun keluarga mereka bukan keluarga yang sangat kaya, tapi cukup berada.  Perusahaan yang ditinggalkan Agung memang berjalan dengan baik, tapi tidak akan pernah membentuk konglomerasi yang menguasai berbagai bidang usaha.  Astri merasa sudah cukup asal keluarganya dan kehidupan para karyawannya terjamin.  Baginya, kerajaan bisnis yang terlalu besar akan membuatnya pusing dan menambah beban hidupnya.  Prinsip yang selalu dipegang Astri adalah, biarkan hidup ini mengalir dengan tenang.  Jauhkanlah segala hal yang bisa membuat hidup ini mengalir tersendat.  Mungkin, kalau Jojn sudah menyelesaikan pendidikannya di Boston nanti, dia akan mengubah prinsip Astri.  Tapi itu sudah menjadi hak Jojo, Astri akan meninggalkan aktivitasnya di perusahaan segera setelah Jojo siap mengambil alih.
            Astri bersyukur meskipun keluarga mereka tergolong mapan secara ekonomi, tetapi anak-anaknya bisa hidup sederhana..  Betapapun getolnya semua orang menganggap HP sebagai gaya hidup, Jojo tetap menggunakannya hanya bila perlu.  Misalnya jika berjauhan dengan Astri, baru dia mau membawa telepon genggam yang sangat kuno (menurut Ivonne sudah seperti barang langka).  Alasannya, biar Astri bisa tahu di mana dia berada, agar ibunya tersayang itu tidak selalu khawatir.
            “Ma, Jojo tadi memakai Mama sebagai alasan agar Ivonne tidak mengajak Jojo keluar malam ini.  Tolong ya, kalau nanti atau kapan dia tanya, Mama jawab aja ‘iya’ gitu.”
            “Kok gitu?”  Astri mengernyitkan dahinya.  Ivonne, anak Raam dan Anita, memang naksir Jojo mati-matian.  Tetapi Jojo sama sekali tidak punya perasaan yang sama.  Dia hanya memandang Ivonne sebagai seorang adik, tidak lebih.  “Kalau kamu memang nggak suka sama Ivonne, coba katakan itu terus terang padanya.  Mama percaya, dia pasti bisa menerimanya.”
            “Huh, Mama, Ivonne kan kolokan.  Kalau nanti dia nekad suicide bagaimana?  Bisa pecah perang dunia nanti.”
            “Ssst...”  Astri meletakkan telunjuknya pada bibir.  “Memangnya kamu mau kemana, Jo?”
            “Mau tidur yang enakkkkk dan lamaaaaa...  Bangun tidur, Jojo mau makan nasi goreng ikan asin buatan Mama.  Harus Mama, bukan buatan Mbok Min yang rasanya netral itu.”  Jojo merengkuh bahu Astri.  “Mama tahu, kalau Jojo mau menikah nanti, calon istri Jojo harus lulus kursus memasak dan mengurus rumah pada Mama.”
            “Kamu sudah sering mengatakannya, Nak.”
            “Biar Mama nggak lupa!”  Jojo tertawa keras melihat bibir Astri manyun.  Bagi Jojo, Astri adalah yang terbaik.  Satu kali saja dia tidak pernah menanyakan ayahnya.  Ketika usianya masih tiga tahun, Astri menjelaskan pada Jojo kecil bahwa ayahnya sudah kembali pada Tuhan dan tidak akan menemui Jojo lagi.  Jojo melihat ketika ayahnya dimasukkan ke dalam peti kayu yang kemudian ditutup rapat dan diberi semen.  Jojo ikut menaburkan bunga ketika tanah yang merah dan basah mulai menenggelamkan peti berisi tubuh ayahnya yang telah kaku.  Astri menjelaskan padanya, dengan bahasa anak-anak.  “Papa sudah terbang ke langit, tubuh Papa memang ada di dalam peti.  Tapi Papa tidak ada di dalamnya, karena tubuh itu kosong, maka harus dikuburkan dalam tanah.  Kalau tidak dikubur, tubuh yang kosong itu nanti dijadikan rumah tinggal setan.”
            Riris pernah menanyakan ayah yang tidak pernah diingatnya.  Dia menerima saja bahwa ayahnya telah pergi ketika usianya masih sangat kecil.  Riris hanya mengenal Astri, dia tidak mengenal Sal ataupun Agung.  Setiap saat Astri ingin menceritakan siapa ibu kandungnya, nenek Riris, ibu kandung Sal, melarangnya.
            “Hampir dua puluh tahun Sal pergi.  Kalaupun masih hidup, dia pasti sudah melupakan anak dan keluarganya di sini.  Mungkin juga dia sudah meninggal.  Untuk apa menceritakan tentang sesuatu yang sudah tidak ada kepada Riris?  Bagaimana kalau tanggapannya terhadap Nak Astri lain, bagaimana kalau dia malah jadi benci pada Nak Astri?”
            Maka Astri menuruti nasehat Mbok Jah yang telah dianggapnya sebagai ibu kandungnya itu.  Apalagi karena Ibu Agung juga memberi nasehat yang sama.  Riris tidak pernah tahu ada seorang wanita bernama Salimah, wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini.  Bagi Riris, hanya ada satu ibu, Astri.  Dia sangat menyayangi Astri.
                                                            ***
            Wanita itu berusia kira-kira awal empat puluh tahun.  Mukanya agak pucat.  Rambutnya sebahu, hitam kusam.  Bibirnya menggigil seperti seorang yang tengah diserbu hawa dingin.  Sosok tubuhnya yang kurus terbalut gaun sederhana berwarna coklat muda.  Dengan langkah terseok dia menyusuri jalan kecil di perkampungan padat itu.  Tangannya menarik sebuah tas besar berwarna hitam.
            Matanya nanar menatap rumah-rumah yang berdiri tanpa satu celah pun di sisi kiri dan kanan jalan itu.  Sebagian sudah dibangun dengan bagus, dengan dinding yang ditutup keramik berwarna cerah.  Sebagian lagi masih berupa bangunan semi permanen.  Ada beberapa orang yang berdiri di depan rumah-rumah itu.  Tapi wanita itu sama sekali tidak mengenali mereka.  Demikian juga mereka.
            “Siapa tuh, kok seperti orang sakit parah?”
            “Nggak tahu, mungkin cari alamat seseorang.”
            “Tapi kok seperti orang yang sedang bingung?”
            “Biar saja, kalau dia tanya sesuatu, baru kita jawab.  Jaman sekarang, jangan mudah terkecoh dengan penampilan orang.”
            Ibu-ibu yang tengah berbelanja pada seorang tukang sayur itu, memandang menyelidik ke arah perempuan itu.  Berbagai pikiran berkecamuk dalam tempurung kepala mereka.  Ada curiga, ada iba, ada ingin tahu.
            Wanita itu melangkah pelan ke arah mereka.  “Ini benar Gang Matahari kan?”
            “Iya, itu namanya dulu.  Sekarang sudah jadi Jalan Soekarno Hatta Gang Enam.”  Sahut seorang ibu yang mengenakan daster biru tua.  “Ibu cari siapa?”
            “Eh, rumahnya Mbok Jah tukang sayur mana ya?”  Suara perempuan itu terdengar pelan sekali.  Sesaat dia terbatuk-batuk. “Yang anaknya ada sepuluh orang.”
            “Mbok Jah?”  Ibu-ibu itu saling pandang.  Lalu angkat bahu. 
            “Tukang sayur di sini ya Mak Jum ini.  Nggak ada lainnya.”
            “Masak nggak ada?  Sudah pindah mungkin ya?”  Perempuan itu berkeras.
            “Wah, nggak mungkin, Bu.  Saya di sini sejak masih gadis.  Sekarang anak saya sudah dua.  Nggak ada tukang sayur yang namanya Mbok Jah.  Salah jalan mungkin!”
            “Ada kok.  Mbok Jah.  Anaknya yang nomor delapan namanya Salimah, diambil istri sama orang kaya.”
            Mak Jum, tukang sayur yang usianya menjelang enam puluh itu membulatkan bibirnya.  “O...yang jadi istri simpanan itu?”
            Wajah perempuan itu memerah, sedikit, lalu kembali pucat.  “Iya.  Mak tahu rumahnya yang mana?”
            “Wah, itu sudah lama pindah, Bu.  Mungkin hampir dua puluh tahun.  Waktu itu saya baru pindah.  Sejak itu Mbok Jah dan keluarganya tidak pernah ke sini lagi.  Kata orang, dia dibelikan menantunya rumah di Jalan Kemuning.  Itu, dekat Taman Makam Pahlawan.”
            Perempuan itu tampak kecewa.  “Iya saya tahu.  Tadi saya dari sana.  Katanya Mbok Jah sudah pindah, sudah lama.  Tidak ada yang tahu kemana.  Saya pikir dia kembali ke sini.”
            “Masak iya dia mau kembali lagi ke sini.  Biar rumahnya sudah banyak yang bagus, toh tetap saja namanya perkampungan.  Saya dengar menantunya itu punya pabrik besar.  Masak mertuanya dibiarkan tinggal di kampung?”  Mak Jum mulai mengeluarkan suara bernada sinis.  “Ibu ini siapa ya?”
            Wajah perempuan itu memucat, lebih pucat dari sebelumnya.  Beberapa ibu yang melihatnya malah berpikir perempuan itu bukan manusia.  Kalau saja saat ini tidak siang hari, tentu dipikirnya perempuan ini semacam kuntilanak.
            “Saya temannya.  Baru datang dari desa.”
            “Oh!”  Koor suara sumbang terdengar dari mulut ibu-ibu itu.
            “Coba tanya suami saya, mungkin dia tahu ke mana Mbok Jah dan keluarganya pindah.  Suami saya kan sudah lama kenal dengan keluarga Mbok Jah itu.”  Saran Mak Jum.  Dengan sorot ingin tahu, dia memandang wajah perempuan itu.  “Ibu ini dari desa mana tho?  Ada hubungan dekat dengan Mbok Jah ya?  Kok sampai susah-susah mencari kemana-mana?”
            “Ehm, saya memang masih punya hubungan keluarga dengannya.  Saya mau numpang menginap.  Saya tidak punya keluarga lagi di sini.”
            “Heran, nggak punya keluarga kok ke kota, mau apa?”  Tanya seorang ibu.
            “Saya mau mencari anak saya yang hilang.  Mungkin Mbok Jah bisa menolong.”  Suara perempuan itu mulai bernada ketus.  Dia tidak suka sifat usil ibu-ibu itu.  Kalau saja dia tidak memerlukan informasi dari mereka, tentu sudah ditinggalkannya tempat ini.  Hampir dua puluh tahun dia tinggal di tempat yang orang-orangnya sama sekali tidak peduli dengan urusan orang lain.  Kalaupun ada yang peduli, bisa dihitung dengan jari.
            Mak Jum menitipkan dagangannya pada ibu-ibu yang semakin banyak berkerumun.  Lalu diajaknya sang perempuan pucat itu ke rumahnya.  Dia kasihan melihat perempuan yang tampak lelah dan agak tidak sehat itu.
            Suami Mak Jum seorang lelaki tua yang sakit-sakitan.  Tubuhnya kurus kerempeng dengan mata yang menonjol keluar.  Rasa cintanya pada rokok dan minuman keras, telah merusak tubuhnya dengan hebat.  Dua puluh tahun yang lalu, lelaki itu adalah seorang parobaya yang gagah dan kekar.  Di kampung itu, dia terkenal sebagai seorang sesepuh, karena sejak kakek neneknya sudah tinggal di sana.  Dari sekian banyak penduduk kampung, mungkin hanya lelaki itu yang tetap bertahan dan tidak pindah ke tempat lain.
            Mata tuanya yang sudah mulai buram, meneliti perempuan yang dibawa masuk istrinya.  Kemudian dia terbatuk-batuk.  Agak lama dia memberi isyarat agar istrinya keluar, meninggalkan mereka berdua saja.
            “Kamu Salimah kan?  Anak Pak Saturi yang kedelapan atau kesembilan?”
            Perempuan itu menggugu.  Ingin dipeluknya lelaki tua yang dulu dipanggilnya ‘Lek Usman’.  Sudah jauh berubah dari saat terakhir dia melihatnya.  Sangat berubah.  Perempuan itu merasa sangat sakit, bukankah dia sendiri juga berubah banyak?  “Lek kok jadi begini?”
            “Usia, Sal.  Usia mengubah banyak hal.”  Lek Usman menatap Salimah dengan sorot iba.  “Kamu sendiri dari mana saja?  Begitu banyak hal terjadi setelah kamu ikut Murni ke HongKong.  Kamu sudah tahu semua kan?”
            “Apa yang terjadi, Lek?”  Salimah merasa jantungnya berdegup kencang.  Ketika memutuskan untuk meninggalkan Agung dan anaknya yang baru berusia enam bulan, dia merasa yakin bahwa Agung pasti kembali pada istri pertamanya, Astri.  Anaknya waktu itu buta, sakit-sakitan.  Pasti anak itu meninggal tak lama setelah kepergiannya.  Dia sengaja tidak memberi kabar dimana dia berada.  Dia ingin semua orang melupakannya.  Kalau saja tidak ada sesuatu yang terjadi, dia pasti tetap tinggal di luar sana, di HongKong.  Tempat yang telah menjadi rumahnya hampir dua puluh tahun ini.  Sekarang dia ada di sini, karena dia ingin pergi dengan tenang, ingin jenazahnya kelak dikebumikan dengan cara yang baik.  Bukannya disimpan dalam ruang jenazah salah satu rumah sakit di HongKong sana.  Beku sampai berminggu-minggu tanpa ada yang mengetahui asal-usulnya. Lalu dikremasi secara massal.  Dia tidak mau itu.
            “Suamimu meninggal karena kecelakaan.  Tapi banyak orang yang mengatakan itu bunuh diri.  Ya, mungkin dua bulan setelah kepergianmu.  Mobilnya menabrak beton pembatas jalan, hancur.  Waktu dimakamkan, banyak jahitan di sana-sini, mungkin tubuhnya juga ikut hancur.”
            “Mas Agung....”  Salimah menggigit bibirnya kuat-kuat.  Setetes air bening membayang di pelupuk matanya.  Lelaki yang sangat dicintainya itu, sudah pergi?  Dimana dia ketika lelaki itu menutup mata untuk selamanya?  Dimana dia ketika bunga-bunga ditaburkan di atas tanah kuburannya?  Sedang sibuk melayani seorang tamu di bar tempatnya bekerja?  Atau sedang melewatkan malam yang panas membara bersama seorang lelaki yang membayarnya mahal?  Dimana?
            “Anakmu sakit-sakitan.  Mungkin dia juga segera menyusul ayahnya kalau saja nyonya yang baik hati itu tidak menolongnya.”
            “Nyonya...”
            “Ibu Astri, istri tua suamimu.  Dia datang ke rumah kalian yang di Jalan Kemuning itu.  Lalu menawarkan bantuan untuk merawat anakmu.  Dua tahun kemudian bapak dan makmu, juga Saroh dan Munah, pindah ke rumahnya.  Kabarnya dia membeli rumah di perumahan dekat lapangan terbang sana.  Rumahnya besar.  Karena setiap hari sibuk bekerja, Mak dan Bapakmu yang menjaga kedua cucunya.  Saroh dan Munah sekarang sudah menikah, ikut suaminya.  Suaminya ya... pegawai pabrik almarhum suamimu itu.”
            “Apa?  Perempuan itu mengambil anakku?”
            “Anakmu itu sekarang sudah besar.  Waktu bertemu bapakmu terakhir kali, dia cerita kalau anakmu itu sudah ke luar negeri berkali-kali.  Dia kan pintar main piano.  Wah, namanya terkenal dimana-mana!”
            “Anakku masih hidup?  Bukankah dia buta, Lek?”
            “Betul... tapi itu tidak menjadi penghalang baginya untuk menjadi pemusik yang hebat.  Kamu harus melihatnya.  Dia sangat cantik, Sal.”
            “Namanya Marissa?”
            “Iya, panggilannya Riris.  Tunggu, kemarin ada koran hiburan yang memuatnya.”  Lek Usman berdiri, dengan tertatih dia berjalan menuju sebuah meja.  Membungkuk dengan susah payah dan menarik sebuah kardus berisi koran-koran bekas.  Istrinya memakai koran itu sebagai bungkus.  Sejenak kemudian dia sibuk mengaduk-ngaduk isi kardus besar itu.
            “Tidak ada, rupanya sudah dibawa istriku ke tempat dia berjualan.  Coba kamu ke sana lagi.  Pasti masih ada.  Baru kemarin kok koran itu datang.  Ya, sudah agak lama.  Kalau masih baru masak dijual kiloan untuk kertas pembungkus.  Atau kamu cari di tempat jual koran hiburan.  Kalau tidak salah namanya Cek dan Ricek  Di situ ada fotonya besar sekali.  Namanya Marissa Salungasari.”   
            Salimah menatap Lek Usman dengan tatapan kosong.  Dia sama sekali tidak percaya akan pendengarannya.  Mas Agung meninggal, anak yang ditinggalkannya telah menjadi orang terkenal, dan orang tuanya tinggal bersama Astri.  Ini pasti mimpi.  Tidak mungkin waktu dua puluh tahun berbuat begitu banyak atas kehidupannya.
            “Sal...kamu nggak apa-apa, Nduk?”  Lek Usman tampak khawatir melihat keadaan perempuan di hadapannya.  Wajahnya putih bagaikan tembok, matanya penuh air mata, bibirnya membuka dan menutup seiring nafasnya yang tersenggal.
            “Nggak... saya baik-baik saja, Lek.  Lek Usman tahu kan dimana rumah Bapak dan Mak sekarang?”
            Lek Usman terbatuk-batuk lagi.  Salimah yang semula mendekat, tiba-tiba menjauh lagi.  Dia melihat ada darah pada sudut bibir Lek Usman.  Dia menyembunyikan tangannya yang sudah terulur ingin meraih tangan Lek Usman.  Ada luka goresan memanjang pada tangan kanannya, masih sedikit berdarah.  Dia tidak ingin luka itu bersentuhan dengan Lek Usman.  “Lek sakit apa?”
            “Paru-paru, Nduk.  Penyakit lama.  Sekarang tambah parah.  Kadang-kadang malah batuk darah.”
            “Sudah ke dokter?”
            “Dokter?  Mana ada yang memberiku uang untuk periksa ke dokter?  Jumilah itu pelit lagi nyinyir.  Uang hasil kerjanya habis diberikan pada anaknya dari suami pertama.  Sedikit saja dia tidak peduli padaku.  Padahal dulu dia yang mengejar-ngejar untuk menikah denganku.”  Lek Usman terbatuk-batuk lagi. 
            Salimah memasukkan tangannya ke dalam tas tangannya.  Dengan gemetar dia mengeluarkan segebok uang lima puluh ribuan, masih baru, keluaran bank.  “Terima ini, Lek.  Untuk berobat.  Jangan sampai istri Lek Usman tahu.”
            “Kamu...”  Lek Usman menerimanya, tidak percaya itu betul-betul uang.  “Banyak sekali, Nduk?”
            “Itu sebagian hasil kerja saya, Lek.  Mestinya saya ingin memberikan pada Bapak dan Mak.  Tapi mungkin mereka sudah tidak membutuhkan uang itu lagi.”
            “Yah.... mereka sudah hidup terjamin.  Saturi cerita, Ibu Astri itu sekarang memanggilnya Bapak.  Kamu tahu, Bu Astri kan tidak punya orang tua.”
            Salimah merasa dadanya ingin meledak menahan amarah.  Jadi itu yang diperbuat kedua orang tuanya?  Memihak pada perempuan itu?  “Dimana mereka tinggal sekarang, Lek?”
            “Wah, aku nggak tahu tepatnya, Nduk.  Tapi nama perumahannya aku tahu.  Kalau tidak salah blok II, tempat rumah-rumah elit, kok.  Kamu tanya saja, namanya kan Ibu Astrina.  Kalau tidak tahu, tanya saja mana rumah Marissa Salungasari.  Pasti banyak yang tahu, dia kan sudah terkenal sekali.”
                                                            ***
            Astri menata bunga-bunga krisan itu dalam vas.  Dia menjauh sedikit, memandangnya.  Lalu kembali mengatur bunga-bunga itu.  Bunga krisan adalah bunga yang menjadi favoritnya dalam setiap acara.  Dia suka warnanya yang bagus dan bentuknya yang memikat.  Selain itu krisan juga tidak muda rontok bila ditata, lain dengan mawar.
            “Mama....”  Suara bening Riris membuatnya menoleh.  Dia berpaling dan berdecak kagum melihat anaknya mengenakan gaun malam hitam, seuntai kalung mutiara menghiasi leher jenjangnya.  Rambutnya yang ikal mayang ditata dengan sangat bagus.  Kalau saja matanya bersinar, tentu dia akan secantik dewi.
            “Sudah siap nih, yang mau bertunangan.”
            “Mama...”  Riris berjalan mendekati ibunya, tidak canggung sedikit pun.  Begitu banyak yang telah dipelajarinya.  Sehingga dia terbiasa menggunakan indra keenam untuk menjalani kehidupannya.  Riris bisa berjalan ke mana saja, di rumah ini, tanpa bantuan orang lain.  Dia belajar memanfaatkan indra pendengarannya dengan sangat baik, sehingga dia bisa mengenal dari mana datangnya sebuah suara.  “Tentu saja Riris harus siap.  Mama tahu, tidak semua gadis buta memperoleh kesempatan bertunangan dengan pemuda sebaik Adolf.”
            “Iya, Mama tahu.  Mama bersyukur pada Tuhan buat semua kebaikan yang telah dilimpahkanNya pada kita.  Terutama padamu, Sayang.”  Astri menyentuh ujung hidung Riris.
            Hari ini Riris genap berusia dua puluh tahun.  Hari ini juga ditetapkan sebagai hari pertunangan Riris dan Adolf.  Setelah itu Adolf akan berangkat ke USA, mengambil gelar  Doktor di sana.
            Riris berkenalan dengan Adolf melalui abangnya, Jojo.  Adolf adalah teman satu almamater Jojo.  Mereka menjadi sahabat setelah Jojo menulis skripsi dengan bahan perbandingan skripsi yang ditulis Adolf.  Persahabatan itu akhirnya menjalar ke rumah.  Ibu Adolf dan Astri berteman baik.  Akhirnya, Adolf meminta ijin pada Jojo untuk mendekati adik satu-satunya, Riris.
            Lalu semua berjalan begitu saja.  Jojo melihat Adolf datang ke rumah mereka bukan lagi sebagai sahabatnya, tetapi sebagai calon adik ipar.  Adolf yang usianya telah kepala tiga, terus terang menunjukkan rasa sayangnya pada Riris.  Rasa sayang yang bersambut dengan sangat baik.  Akhirnya, kedua keluarga sepakat untuk mengikat mereka dalam tali pertunangan.  Setelah meraih gelar doktornya, Adolf akan menikah dengan Riris.  Sebuah rencana yang indah.
            Riris berputar satu kali di depan ibunya.  “Ma, lihat, anak Mama sudah menjadi seorang bidadari jelita, kan?”
            “Kamu sudah tahu itu, Sayang.”
            “Mama harus ulangi lagi.  Mama pasti tidak pernah menduga Riris akan menjadi seperti sekarang ini, kan?  Kata Eyang Putri, waktu kecil Riris sakit-sakitan terus.  Masak umur enam bulan beratnya cuma enam setengah kilo?”
            Astri tertawa kecil.  Memang, kalau ingat saat pertama dia bertemu Riris, dia sama sekali tidak bisa mempercayai kenyataan bahwa Riris kini telah menjadi seorang gadis muda yang cantik jelita dan menawan.  Tingginya seratus enam puluh sembilan sentimeter, dengan berat badan lima puluh kilo.  Tubuhnya langsing, padat berisi.  Jika saja dia pernah melihat Salimah, ibu kandungnya.  Tak ayal lagi dia akan tahu, mengapa dia memiliki kulit kuning langsat dan wajah berbentuk hati yang menawan.  Kecantikan itu diwarisi Riris dari ibunya, satu hal yang tidak mungkin dibantah.
            Saat itu telepon berdering.  Riris bergegas menghampiri meja telepon.  “Hallo...selamat sore...”
            “Sore, betul ini rumah Marissa Salungasari?”  Suara perempuan, sama sekali tidak pernah dikenali Riris.  “Bisa bicara dengan Riris?”
            “Ya, saya sendiri.”
            Hening.  Tidak ada suara terdengar.   Sejenak kemudian terdengar suara hidung yang agak tersumbat.  Tampaknya, Si penelepon menangis.  Riris memindahkan handel telepon dari telinga kiri ke telinga kanan.  Diletakkannya tubuhnya ke kursi dekat meja telepon.  Meskipun banyak dimanja oleh abangnya dan juga ibunya, Riris tidak tumbuh menjadi seorang gadis yang suka meremehkan orang lain.  Sebaliknya, dia banyak melihat sikap ibunya yang penuh perhatian kepada orang lain.  Secara tidak sadar, dia ingin mengikuti jejak ibunya.  Tanpa memberi komentar, dia mendengarkan dengan penuh perhatian.
            “Riris, ini Mama Sayang.  Mama Riris yang telah melahirkan Riris.  Mama yang telah mengandung Riris sembilan bulan lebih.  Ini Mama Riris...ini Mama.”
            Riris mendengarkan suara itu, sengau.  Dia merasa suara itu datang dari tempat yang berbeda dengan tempatnya berpijak.  Mungkin, penelepon ini seorang fans yang agak kurang waras.  Mama, katanya.  Riris ingin tertawa.  Dia memalingkan wajahnya ke arah Astri yang pasti masih sibuk dengan vas-vas bunganya.  Itu dia Mama Riris, cantik, lembut, sangat sayang pada Riris.  Orang ini pasti gila.  Tapi tidak diletakkannya telepon itu.
            “Riris. kamu di sana, Nak.  Ini Mama, Sayang.  Ini Mama.  Mama sangat merindukanmu, Nak.”
            Sekarang Riris betul-betul bosan.  Diletakkannya telepon itu ke tempatnya.  Daripada mendengarkan orang gila bicara, lebih baik dia mempersiapkan diri untuk malam pertunangannya nanti.  Wow... tidak bisa dipercaya, dia akan bertunangan dengan Adolf.  Meskipun tidak pernah melihat wajah kekasihnya, Riris yakin dia seorang yang amat tampan.  Riris bisa meraba alisnya yang tebal dan melengkung bagus.  Dia bisa meraba hidung yang bangir dan bibir yang sempurna.  Kekasihnya adalah seorang pangeran di abad dua puluh satu.  Telepon itu...ah, orang iseng dari mana ya?
            “Siapa, Ris...”
            “Nggak tahu Ma, orang gila kali.  Masak dia mengaku sebagai Mamanya Riris.  Ada-ada saja cara penggemar menarik perhatian orang ya?”  Riris tergelak.  Tetapi Astri berbalik jadi waspada.  Mama Riris?  Mungkinkah ...
                                                            ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar