Senin, 07 Mei 2012

Tak Selamanya Mendung Itu Kelabu Bagian Dua



Esok harinya, Astri terbangun ketika matahari sudah kehilangan rona merahnya.  Semalam dia baru tidur pukul dua pagi.  Itupun dengan tubuh yang sangat lelah setelah menimang Jojo yang terbangun akibat kerasnya suara pintu yang dibanting ayahnya.  Masih agak malas dia bangkit dari sofa di samping boks Jojo.  Ya, karena insiden semalam itu, Agung mengunci pintu kamar dan tidak mengijinkan Astri masuk.  Terpaksa Astri tidur di sofa kamar Jojo.
            Dilihatnya boks Jojo, anak itu masih terlelap. Meskipun piyamanya basah kuyub terkena urine.  Astri menggelengkan kepalanya berkali-kali.  Pelahan dia mengangkat tubuh anaknya.  Menarik kain pelapis yang ikut basah.  Lalu digantinya celana dan kain pelapis yang basah itu.  Akhirnya dia kembali meletakkan Jojo yang sudah kering ke atas tempat tidur.  Heran juga, kenapa anak itu masih saja terlelap.  Rupanya, menangis selama hampir setengah jam semalam, membuatnya sangat kelelahan.
            Astri menaikkan tutup boks, menguncinya.  Kemudian dia keluar kamar.  Dilihatnya pintu kamar tidurnya masih tertutup.  Pelahan, dia membuka pintu itu.  Terbuka.  Agung sudah tidak berada di sana, meninggalkan kamar yang berantakan dan selusin lebih puntung rokok di atas meja rias.  Agung merokok lagi.  Padahal sejak kehamilan Astri, dia sudah berhenti merokok.   Dia takut asap rokok mempengaruhi kesehatan Astri dan anaknya.  Tapi sekarang, ditambah lagi, itu dilakukannya di kamar tidur.  Astri hampir meledak karena marah.
            Sepanjang pagi hingga siang itu, Astri betul-betul pusing dan ingin marah.  Sayangnya, obyek kemarahannya tidak berada di tempat.  Sehingga amarah yang seperti hulu ledak nuklir itu terpaksa diredamnya sendiri.
            Ketidakberadaan Sal yang belum diketahui sebabnya, hingga sikap Agung yang berubah seratus delapan puluh derajat, masih dilengkapi dengan Jojo yang tiba-tiba menjadi rewel, membuatnya hampir terjun dari lantai dua. Untung juga dia masih ingat Jojo yang memandangnya dengan mata polos tanpa dosa.  Sejujurnya, Astri tidak pernah menduga hari seperti ini akan tiba dalam hidupnya.
            Telepon yang sejak Agung membuka usaha sendiri, sering menjadi benda menjengkelkan baginya, kini berulah lagi.  Banyak telepon yang masuk, hanya untuk menanyakan keberadaan Agung.  Entah berapa kali sekretaris suaminya itu, Esther, menanyakan apakah Pak Agung sudah memberi kabar.  Entah berapa kali pula Astri harus menahan suaranya agar tetap selembut mungkin ketika menjawab telepon itu.  Akhirnya, Astri menarik kabel telepon, memaksa benda itu untuk diam tanpa suara.  Peduli amat dengan telepon untuk Agung.  Kalau Agung saja tidak peduli padanya, kenapa dia harus peduli pada urusan Agung.  Sifat kekanakan Astri muncul lagi.  Dalam benak, dia merancang sebaris, dua baris, mungkin juga satu halaman penuh, bolak-balik, esai sinis yang akan diucapkannya bila Agung pulang nanti.
            Kenyataannya, dia jadi bengong , batal meledakkan amarahnya, ketika sore itu Agung pulang dengan pakaian rapi.  Tubuhnya masih menebarkan aroma harum sabun mandi kesukaannya.  Rambutnya tersisir rapi, dagunya licin sehabis bercukur.  Astri percaya dia bisa mencium aromaaftershave lotion yang dipakai suaminya.  Wajahnya pun ceria penuh tawa.  Begitu tiba, dia langsung meraih Jojo yang saat itu tengah berada di gendongan Astri.  Lalu mendaratkan sebuah kecupan hangat di dahi Astri.  Membuat wanita muda itu hampir jatuh karena heran.
            “Hei, kenapa?  Memangnya aneh seorang suami mencium kening istrinya?”  Tanya Agung melihat Astri hampir terjengkang ke belakang.
            “Tidak sih, cuma...”
            “Oh ya, yang semalam itu cuma salah paham, kok.  Biasa, urusan bisnis.  Mitra yang sedianya akan menjadi konsumen besar perusahaan kita, tiba-tiba memutuskan untuk membatalkan kontrak kerja. Tentu saja aku jadi bingung.  Untungnya pagi ini aku berhasil melobinya kembali.  Hasilnya...tentu saja clear.  Aku berhasil membatalkan niatnya itu.  Perusahaan kita akan tetap menjadi pemasok produk yang akan digunakannya dalam jumlah besar.  Ehm, mau memaafkan aku kan?  Oh ya, mana Sal, dari tadi kok tidak tampak?”  Suara Agung begitu lincah, seperti  nyanyian burung di pagi hari.  Mulut Astri sampai terbuka, melongo. Sudah lama juga Agung  tidak pernah segembira saat ini.  Agaknya kontrak itu bernilai besar dan sangat menentukan kelangsungan perusahaannya.
            “Nah, itulah.  Sal pergi tanpa pamit.  Pergi begitu saja.  Selembar saja bajunya tak ada yang dibawa, tentu saja, kecuali yang dipakainya saat pergi.  Tidak ada barang yang hilang, jadi pasti bukan karena ingin mencuri dia lalu pergi begitu saja.”  Astri angkat bahu.  “Entahlah, mungkin ketika dia akan pamit pergi, aku sedang tidur, jadi dia langsung saja pergi.  Tapi mestinya dia meninggalkan pesan.  Atau minimal, telepon kan bisa.”
            Agung manggut-manggut.  “Ya, mungkin saja dia ada keperluan mendadak.  Dan saat itu kamu sedang tidur.  Sudahlah, nanti juga dia pasti telepon kok!” 
            Saat itulah Agung melihat kabel telepon yang terputus dari bendanya.  “Lho, ini teleponnya kok bisa putus, kenapa?”
            Astri tersenyum jengah.  “Aku yang putuskan tadi.  Habis, Esther berkali-kali telepon ke sini, tanya Mas Agung di mana.  Siapa yang tidak bosan, sepuluh menit sekali telepon.  Memangnya Mas tidak meninggalkan pesan padanya?”
            Agung terlihat gugup seketika.  Tapi itu semua luput dari perhatian Astri.  “Iya...eh, aku lupa sih sudah punya sekretaris sendiri.  Jadi langsung saja aku membuat janji makan siang bersama mitra bisnisku.  Mestinya aku memang menelpon Esther dulu.  Lain kali aku harus ingat-ingat kalau aku sudah jadi bos sekarang, sudah punya sekretaris pribadi.”  Tawa Agung meledak.  Astri ikut tertawa kecil, meski tak merasa begitu geli akan lelucon suaminya.
                                                ***
            Sal muncul esok pagi.  Mukanya terlihat agak sembab, seperti habis menangis semalaman.  Suaranya juga terdengar agak sengau. 
            “Maaf, Bu.  Waktu itu telepon dari bapak sangat mendesak. Mak  tiba-tiba jatuh sakit, dan minta agar semua anaknya berkumpul.  Sebenarnya saya ingin telepon, tapi keadaan mak terlalu kritis sehingga untuk menelepon saja saya tidak bisa.  Besok sore saya mencoba telepon ke sini.  Tapi teleponnya tidak diangkat.”
            Astri menepuk-nepuk bahu Sal.
            “Sudahlah, yang penting sekarang kesehatan ibumu.  Sudah baikan?  Apa perlu diopname di rumah sakit?”
            “Itulah, Bu.  Mak meminta saya menemaninya.  Ibu tahu kan, dari sepuluh anaknya, saya yang paling dekat dengan mak.  Lagi pula, cuma saya yang telaten merawat mak.  Mak minta tinggal di kampung sampai sembuh total.”
            “Sakit apa sih, Sal?  Kenapa tidak opname saja di rumah sakit?”  Tanya Astri.  “Soal biaya, nanti kami kan bisa bantu.”
            Salimah kelihatan jengah.  Mukanya sekilas tampak memucat.  “Ehm, mak cuma agak tertekan saja.  Bapak suka sakit kalau kerja narik becak.  Sekarang ini yang bisa cari uang cuma mak dan saya.  Kakak-kakak semua kan sudah rumah tangga, sudah punya tanggungan sendiri.  Di rumah masih ada Maesaroh dan Maemuna.”
            “Nah, sekarang kalau kamu jaga mak dan gak kerja di sini lagi, kan kamu tidak bisa dapat uang lagi?”
            Salimah gugup.  Kegugupannya tampak jelas di mata Astri.  “Ehm...saya...”
            “Begini saja, Sal.  Sementara ini kamu jaga mak baik-baik.  Biasa, mungkin orang tua memang suka manja seperti anak kecil.  Kamu jaga sampai mak cukup sehat.  Kalau sudah sehat betul, bisa kamu tinggal, kamu boleh kembali kerja di sini lagi.  Bagaimana?”
            “Ehm...eh, saya...saya sih terserah Bapak saja...”
            “Lho...kan kamu yang menentukan, kok jadi terserah bapak?  Memangnya bapak kamu yang menentukan kamu boleh kerja di sini apa tidak?  Dulu kan bapak kamu sendiri yang minta supaya kamu kerja di sini.” 
            “Maksud saya...eh..., iya...eh!”
            “Lho lho lho...kok jadi latah begitu?”  Astri menepuk bahu Sal.  “Sudahlah.  Anggap saja kamu sedang ambil cuti.  Sesekali jadi pegawai kantor kan tidak apa-apa!”  Astri tergelak.  Salimah menimpali dengan tawa yang terdengar sumbang.  Koor tanpa nada tanpa irama itu masih berlanjut ketika Agung memasuki ruang tengah.
            “Eh, ada apa ini, kok ketawa berdua?”
            “Enggak, ini lho Mas.  Sal, ibunya sakit, minta ditemani.  Mungkin penyakitnya tidak begitu parah.  Tapi biasa kan, orang tua sering cari perhatian sama anak.  Sal minta berhenti kerja di sini.  Nah, kalau kita ikuti, nanti kan susah dua-dua.  Sal tidak bisa bantu keuangan orang tuanya.  Dan kita, kehilangan orang yang paling membantu kita.  Biar kita sama-sama enak, bagaimana kalau Sal kita ijinkan ambil cuti sampai ibunya bisa ditinggal kerja lagi?”
            Agung bertukar pandang dengan Astri.  Lalu, tanpa sepengetahuan Astri, dia mengedipkan mata pada Salimah.  “Ya, kurasa itu ide yang bagus.  Tapi, apa kamu bisa ditinggal Sal?”
            “Ditinggal?”  Astri tergelak.  “Sal kan tidak kemana-mana?  Nanti juga dia kembali.  Percaya aku, paling lama dua minggu lagi ibunya sudah mau ditinggal sendiri.”
            Astri merasa idenya itu hebat.  Dan itulah yang terjadi, Sal membawa sebagian pakaiannya.  Ketika melepas kepergian Sal di pintu depan, Astri yakin, tidak sampai dua minggu anak itu pasti sudah kembali ke rumah ini.  Ternyata dugaannya sama sekali salah.
                                                            ***
            “Sal akan menikah.”  Agung melepas tali sepatunya sambil mengucapkan berita yang sangat tidak terduga itu.  Astri menatap suaminya dengan mata melotot.  Tidak percaya sama sekali.
            “Sal?  Menikah?  Dengan siapa?”  Setahunya, Sal tidak pernah keluar rumah kecuali ke pasar.  Itupun bersama Agung.  Kadang kala memang dia minta ijin ke supermarket.  Tapi kan tidak pernah lebih lama dari dua jam.  Astri yang menempuh enam tahun masa pacaran sebelum menikah dengan Agung, tentu saja tidak percaya kalau Sal menikah.  Dengan siapa memangnya?
            “Iya, tadi Pak Saturi ke kantor.  Aku sendiri kaget.  Kok mendadak sekali.  Katanya sih mereka sudah kenal sejak dua tahun yang lalu.  Namanya Kusman.”
            “Ya ampun, kan usia Sal itu baru delapan belas kurang.  Apa tidak terlalu muda?”
            “Astri...Astri.  Buat keluarga Pak Saturi, usia segitu sudah terlalu tua untuk dipinang.  Kakak perempuan Salimah semua menikah ketika usia mereka hampir tujuh belas.  Takut jadi perawan tua, barangkali.”  Agung tergelak.  Astri terdiam.  Dia bahkan tak bereaksi ketika Agung meraih bahunya.  “Hei...kenapa nih, takut ya ditinggal pembantu kesayangan?”  Tanya Agung.
            “Enggak, bukan itu masalahnya.”  Astri manggut-manggut.  “Jadi sebenarnya dia itu pintar sekali berbohong.”  Astri meletakkan tubuhnya ke sofa ruang tengah.  Tak menghiraukan Agung yang seperti tersentuh listrik tegangan tinggi.  Dia sibuk dengan pikirannya sendiri.  Hingga reaksi Agung yang aneh itu tidak diperhatikannya.  “Dia bilang ibunya sakit, minta ditemani.  Belum satu minggu, eh, beritanya sudah lain.  Mau menikah katanya?  Hampir dua tahun dia kerja di sini.  Mengenalkan calon suaminya saja tidak.  Padahal bagiku, dia lebih dari seorang pembantu.  Dia seperti adik perempuanku sendiri.  Kok bisa begitu ya?”
            “Sudahlah, As.  Mungkin pernikahan itu juga tidak secepat ini.  Kalau saja Sal tidak kedahuluan calon bayinya.” 
            “Bayi...?”  Astri terlonjak kaget.  “Maksudmu...”
            “Ya...sering terjadi sekarang kan?  Em-bi-ae kata anak-anak muda.  Married by Accident.  Kusman rupanya sudah lebih dulu memberi downpayment untuk menikahi Sal.  Mungkin dia pikir, kalau tidak begitu mana bisa dia mendapat gadis secantik Sal.  Iya kan?”
            Astri mengetukkan telunjuknya ke sandaran sofa.  Dia sudah kembali duduk di sofa itu, tampak berpikir keras.  “Ini lebih aneh lagi.  Kapan dia melakukannya?  Maksudku...”
            “Kok tanya aku sih?  Kenapa tidak tanya dia saja?”  Agung tertawa.  “Untuk melakukan hal-hal yang ajaib kadang kala manusia bisa lebih pintar dari yang diperkirakan orang lain.  Iya kan?”
            Astri menggeleng berkali-kali.  Tiba-tiba dia berdiri.  “Kalau saja aku tidak yakin Mas begitu mencintaiku, tentu aku berpikir bahwa Sal hamil karena Mas.”
            Agung terperanjat.  Mukanya memucat seketika.  “Apa maksudmu?”
            Astri tertawa melihat muka suaminya yang pucat pasi.  “Mas, Sal itu gadis yang menarik.  Dulu, waktu baru datang ke rumah ini, dia memang ndesani.  Tapi setelah sering kunasehati, dia tidak lagi seperti itu.  Boleh dikata, dia sungguh-sungguh cantik. Rasanya tak akan heran kalau Mas sampai tertarik padanya.”
            “As, kamu ngomong apa sih?  Kamu sadar nggak apa yang sedang kamu ucapkan itu?”  Suara Agung begitu tinggi,  keringat tiba-tiba menjadi butiran-butiran kecil di dahinya.  Astri tergelak melihat itu.
            “Ya ampun, tentu saja, Mas.  Itu kan kenyataan.  Sal sama menariknya dengan gadis-gadis berpendidikan tinggi di luar sana.  Tapi aku yakin Mas tidak akan sejauh itu mengkhianati istrimu yang manis ini.  Mas sayang banget sama Astri kan?”
            Astri bergayut manja pada lengan Agung.  Seperti tahun-tahun silam, ketika mereka masih pacaran.  Mungkin juga sebelum kehadiran Jojo.  Sesaat Astri menyadari, bahwa waktu-waktu terakhir ini dia kehilangan kemanjaannya pada Agung.  Mungkin, karena dia merasa sudah jadi seorang ibu.  Agung sendiri terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
            Agung menyentuh ujung hidung istrinya dengan hidungnya sendiri.  “Aku sangat sayang pada Astrina Dewanti.  Itu untuk selamanya.”
            “Oya!  Mana buktinya?”
            Astri tertawa geli ketika Agung berlutut di hadapannya, bak seorang ksatria abad pertengahan.  “Jiwa ragaku kupersembahkan untukmu, putri pujaanku.”  Astri dan Agung tertawa bersama.  Bagi Astri, itu adalah kegembiraan sejati, kebahagiaan seorang istri yang memiliki seorang suami yang begitu mencintai dirinya.  Tetapi, bagi Agung, tawa itu adalah tawa sumbang.  Tawa seorang pembohong yang telah mengkhianati cinta istrinya.
                                                            ***
            Pernikahan Salimah dirayakan secara meriah.  Selain mengundang kelompok pelawak lokal, ada juga penyanyi dan grup musik dangdut.  Alhasil, pernikahan itu menjadi pernikahan yang paling meriah di kampung tempat tinggal Salimah.  Kedua orang tuanya tampak begitu gembira.  Sangat berlawanan dengan Salimah yang tampak murung.  Senyum yang menghias wajahnya, terasa dipaksakan.
            Astri tahu, semua itu tak lepas dari bantuan Agung.  Dia bahagia, seolah pernikahan itu adalah pernikahan adik kandungnya.  Dia sendiri yang memilih grup musik dangdut yang mengisi acara pernikahan Salimah.  Dia begitu menyayangi Salimah.  Agak kecewa juga dia melihat Salimah tidak segembira orang tua dan suaminya.
            Ketika tamu yang datang berkurang, dia duduk di sisi sang pengantin perempuan.  Diraihnya tangan Sal.  Dingin.
            “Sal, kenapa sih kok murung?  Mestinya kamu kan senang.  Dulu, waktu menikah dengan Mas Agung, aku begitu bahagia hingga semua orang bisa melihat bintang-bintang di mataku.  Ayo dong, gembiralah.”
            Mendengar suara Astri yang bernada membujuk, Salimah malah meneteskan air mata.  “Ibu... ibu terlalu baik pada saya.”
            “Sudah, eh, pengantin kok menangis.  Malu dilihat para tamu.  Lagi pula, kebahagiaanmu ini kan ganda.  Kamu menikah, sebentar lagi bisa menimang bayi.  Aku dulu, menikah dua tahun baru positif hamil.  Buat apa kamu bersedih?”
            Salimah menggeleng pelan.  Pertanyaan Astri tidak mungkin dijawabnya.  Bagaimana mungkin dia bisa menceritakan sebuah pengkhianatan, di mana peran utama dipegang oleh dirinya sendiri?
                                                            ***
            Usai pernikahan itu, Sal dan suaminya berkunjung ke rumah Astri.  Saat itulah Astri bisa melihat betapa Sal jauh berbeda dengan Sal yang pernah dikenalnya dengan baik.  Sal telah berubah menjadi seorang wanita kalangan menengah.  Penampilannya tidak jauh berbeda dengan Astri sendiri.  Gaya bicaranya memang masih seperti dulu.  Agak merendah, tetapi ada sedikit keangkuhan juga.  Terutama saat membicarakan kehamilannya. 
            “Ibu dulu periksa di dokter mana?”
            “Oh, aku tidak periksa di dokter, tapi di bidan.  Waktu hamil Jojo dulu, Mas Agung kan belum seperti sekarang.  Kamu masih ingat kan, waktu itu kamu cuma dibayar seratus lima puluh ribu sebulan.  Ah, untung saja kamt begitu rajin dan baik.  Eh, kamu periksa di bidan mana?”
            “Saya?  Oh, saya kontrol di Dokter Bambang.  Itu, yang praktek di Rumah Sakit Husada Bunda.”
            Astri terlongong.  Tentu saja dia terkejut.  Menurut Sal, suaminya bekerja sebagai tenaga serabutan di sebuah toko bahan bangunan.  Perkiraan Astri, penghasilan Kusman, suami Sal, tidak akan lebih banyak dari lima ratus ribu rupiah per bulan.  Tapi melihat penampilan Sal,  rasanya tidak seimbang.  Sekarang, Sal malah cerita kalau dia periksa kehamilan di Dokter Bambang.  Dokter spesialis kandungan itu sangat terkenal di kota Astri.  Bahkan, Dokter Wisnu yang dulu menangani Astri di saat-saat akhir kehamilannya tidak setenar dokter itu.  Tentu saja, tarif yang dipasangnya untuk sekali konsultasi, tidak murah.  Astri mengerutkan kening.  Berpikir keras.  Mungkinkah Agung masih membantu keuangan keluarga muda itu?  Rasanya tidak.  Bukankah Sal sudah tidak bekerja lagi pada mereka?  Lalu, bagaimana Sal mengatur penghasilan suaminya yang tidak terlalu besar itu?
            “Kusman sudah pindah kerja, Sal?”
            Sal tertegun.  Tiba-tiba saja dia tampak risih.  “Kenapa?  Apa Ibu  pikir Kusman tidak sanggup membayar ongkos periksa di dokter terkenal?”  Suaranya terdengar sengit.  Astri terkejut lagi.  Tidak pernah menduga Sal akan menjawabnya sekasar itu.
            “Eh, tidak.  Bukan itu.  Hanya saja...”
            “Ibu tidak salah.  Saya memang tidak sanggup membiayai Sal.”  Kusman yang semula duduk agak jauh, mendekat dan memotong kalimat Astri.  “Pak Agung yang memberinya uang.  Berapa saja yang diminta Sal, pasti diberi oleh Pak Agung.” 
            Kepala Astri terasa dipukul benda yang sangat berat.  Dengan tatapan nanar dia memandang Sal dan suaminya.  “Apa maksud Dik Kusman?”
            Kusman tertawa sumbang.  “Ah, tanya saja pada Sal.”
            Salimah menatap Astri dengan sorot takut.  “Bu, jangan dengarkan Kusman.  Dia hanya bercanda.  Memangnya siapa saya, sampai Pak Agung mau memberi uang banyak pada saya?”
            Astri sudah kehilangan akal sehatnya.  Dia mendekati Sal, setengah didorongnya perempuan muda itu untuk duduk di sofa.  “Aku menuntut jawaban darimu, Sal.  Apa maksud Kusman dengan kata-katanya itu?”
            Kusman tertawa.  “Sudahlah Sal.  Katakan saja apa adanya.  Aku sudah bosan jadi suami bohongan.  Punya istri tapi tidak bisa merasakan kehangatannya.”
            “Mas Kus!”  Salimah hampir memekik.  Tetapi Astri sudah mendorong tubuhnya merapat ke punggung sofa.  Sorot mata Astri berubah tajam bagaikan pedang bermata dua.  Kemarahannya laksana gunung berapi yang siap memuntahkan lahar.
            “Sal, apakah kamu punya hubungan khusus dengan Mas Agung?  Apakah anak yang kamu kandung itu anak Mas Agung?”
            Salimah menunduk.  Tidak berani menatap wajah Astri.  Sesaat dia kembali menjadi Salimah yang mula-mula datang ke rumah Astri.  Lugu, penuh rasa takut.  Sesaat kemudian dia kembali mengangkat wajahnya.  Kali ini sorot matanya tidak dipenuhi rasa takut.  Bahkan sedikit menantang.
            “Kalau memang benar, kenapa?  Bukankah sekarang kedudukan kita sama?  Saya istri Mas Agung, demikian juga Ibu.  Ibu tidak punya hak untuk melarang saya mengandung anak Mas Agung.”
            “Istri?  Bukannya kamu menikahi Kusman?”  Astri hampir berteriak.
            “Di resepsi memang iya.  Tetapi secara hukum agama, suami sah Sal adalah Pak Agung, Bu.  Saya dibayar mahal untuk duduk di pelaminan bersama Sal, dalam resepsi itu.  Toh, semua orang di kampung tahu kalau Sal istri kedua Pak Agung.”  Kusman yang menjawab.  Tampaknya, dia tidak tega melihat Astri pucat pasi, seolah tak ada lagi darah mengalir dalam tubuhnya.
            Astri berbalik pada Kusman.  “Tolong, Dik Kusman.  Apa sebenarnya yang terjadi?”
   &nbrp;        Kusman menghela nafas panjang.  “Kita senasib, Bu.  Sejak dulu saya mencintai Sal.  Saya ingin menikahinya dan membentuk keluarga yang sakinah dengannya.  Tentu saja saya sangat senang ketika ayahnya datang ke rumah dan membicarakan pernikahan kami.”  Lelaki muda itu menggelengkan kepala berkali-kali.  Ternyata saya cuma dijadikan kain penutup kebohongan Sal dan kekasih aslinya.  Pak Agung memberikan sejumlah uang yang cukup besar kepada saya, untuk melakukan tugas ini.  Tapi saya ini laki-laki, Bu.  Saya punya rasa harga diri.  Tidak mungkin saya terus membohongi diri sendiri.  Meski pendidikan saya tidak tinggi, saya tahu perbuatan Pak Agung dan Sal itu salah.  Hati saya sakit, lelaki mana yang tidak sakit jika melihat wanita yang dicintainya, tidur dengan lelaki lain?”
            Astri tergugu.  Dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.  Menahan air mata yang mulai menetes keluar.  Tidak, ini pasti mimpi buruk.  Mimpi buruk ketika dia tertidur di siang bolong.  Ini harus berakhir, mimpi ini terlalu mengerikan.  Tetapi tangisan Jojo dari kamar atas membuatnya tersadar.  Ini sama sekali bukan mimpi.  Sal dan Agung...
            Kekuatan Astri sebagai seorang istri tercabik-cabik.  Tidak pernah terlintas di benaknya, Agung bakal mengkhianatinya seperti ini.  Enam tahun mereka membina jalinan kasih, sebelum akhirnya Astri mengambil keputusan bahwa Agung adalah lelaki yang akan menjadi ayah anak-anaknya.  Keputusan itu begitu penting bagi Astri.  Pernikahan kedua orang tuanya kandar ketika dia berusia enam tahun, dia tidak ingin mengalami hal yang sama.  Karenanya dia begitu berhati-hati memilih pasangan hidupnya.  Sekarang...
            “Bu...maafkan saya.  Semua ini salah saya.  Saya memang perempuan yang tidak tahu diuntung.  Saya tidak tahu balas budi.  Saya...”  Salimah tampak gugup.  Dia tidak menduga kunjungannya ke mantan majikan yang kini menjadi madunya itu, akan berakibat demikian fatal.  Berkali-kali Agung memperingatkannya agar bisa menyimpan rahasia pernikahan bawah tangan mereka. 
            Sal tidak tahu apa yang membuatnya jatuh dalam perbuatan yang dia tahu sangat tidak senonoh bersama majikannya, suami dari wanita yang sangat menyayanginya.  Mereka memang sering jalan bersama.  Terutama saat ke pasar dan saat berbelanja ke supermarket.  Setelah acara belanja itu, biasanya mereka singgah ke sebuah rumah makan dan menikmati sepiring hidangan.  Kadang-kadang Pak Agung membawa bungkusan untuk Astri, tapi lebih sering tidak. 
            Pelanggaran itu diawali pada satu malam saat Astri menginap di rumah sakit karena melahirkan Jojo. Ketika itu Astri harus menginap di rumah sakit selama satu minggu.  Tinggal serumah, hanya berdua, saat Agung telah cukup lama kehilangan kehangatan tubuh seorang wanita, saat itulah setan mengambil kesempatan di antara mereka.  Semuanya terjadi begitu saja, dan itulah yang disebut orang gigitan pertama yang menggoda.  Sejak awal yang merupakan ketidaksengajaan, mereka jadi terikat untuk melakukannya. Hubungan yang seharusnya hanya dilakukan Agung dengan istrinya, lebih sering dilakukan dengan Sal.  Perbuatan itu akhirnya membuahkan hasil, Sal hamil.  Semula Agung tidak mau menikahi Sal.  Tetapi keluarga Sal mengancam untuk memberitahukan semuanya pada Astri.  Demi melindungi Astri, yang sampai saat itu sesungguhnya masih sangat disayangi Agung, akhirnya Agung bersedia menikahi Sal secara agama.  Pernikahan itu memang membuat Sal tidak punya hak apa-apa atas Agung.  Tetapi itu sudah cukup bagi Sal dan keluarganya.  Karena tanpa diminta sekalipun, Agung sudah memberi banyak kepada keluarga mereka.  Banyak menurut ukuran mereka.  Mereka sudah cukup puas.  Mereka tidak mengenal segala macam perjanjian hitam diat`s putih di hadapan notaris.    Setelah menyusun berbagai rencana, dibuatkan skenario itu.  Kusman yang sejak Sal masih bau kencur sudah menaruh hati pada gadis itu, dijadikan tameng untuk melindungi hubungan Sal dengan Agung.  Lelaki yang baik, kata Sal selalu.  Kusman bermimpi di siang bolong, pikirnya, setelah menikah dengannya, walaupun hanya di resepsi saja, Sal akan melupakan Agung dan bersedia menjadi istri yang baik untuknya. Kenyataan yang  terjadi, Agung setiap hari datang ke rumah mereka.  Selalu dilakukannya saat Kusman ada di rumah, agar tidak ada pergunjingan di kalangan tetangga.  Meskipun hubungan mereka sebenarnya telah terbuka lebar di hadapan para tetangga. Tanpa mempedulikan perasaan Kusman, Agung meminta Sal menemaninya.  Kusman hanya bisa diam, bahkan tidak bisa memprotes jika Sal menolak memberikan haknya sebagai seorang suami.  Bagi Sal, suaminya adalah Agung, bukan Kusman. 
            Siang itu, melihat lagak Sal yang sok dan sikap Astri yang lemah lembut, Kusman tidak dapat menahan hatinya lagi.  Secara spontan dia membuka rahasia yang seharusnya ditutupnya rapat-rapat, serapat lembaran uang dalam amplop tebal yang diberikan Agung sebagai penutup mulutnya.  Rasa marah, kecewa, iba pada nasib malang dirinya sendiri,  juga pada Astri, perempuan yang dinikahi Agung secara sah itu, membuatnya tak bisa lagi mengendalikan diri.  Setelah bom yang dilemparnya meletus, Kusman hanya duduk termangu di sofa, memandang Astri dan Sal yang larut dalam perasaan masing-masing.
            “Sudah...sudah.”  Astri menghela nafas panjang.   Dihapusnya sisa air mata yang masih membekas di pipinya.  “Semua sudah terjadi.  Apapun masalahnya, siapapun yang salah, sekarang semua sudah terjadi.  Saya tidak bisa dimadu.  Itu sudah jelas.  Mas Agung harus memilih salah satu diantara kita.”  Astri tertawa pahit.  Dia merasa kepalanya kosong.  Tangisan Jojo, suaranya sendiri, terasa jauh sekali.  Kalimat yang diucapkannya, seolah dialog dalam sinetron yang sering dinikmatinya di malam hari.  Semua seperti mimpi.
            “Jojo menangis...Bu.  Biar saya angkat ya...”  Suara Sal terdengar takut-takut.  Sesaat Astri merasa bahwa Sal masih tetap yang dulu.  Pembantunya yang rajin dan baik.  Pembantu yang menyelamatkannya dari rutinitas rumah tangga. Pembantu yang dianggapnya adik kandung sendiri.
            “Tidak...tak perlu.  Kamu pulang saja.  Lihat, Kusman sudah tidak tahan berada di rumah ini.”  Astri membelakangi Sal.  “Saya akan membicarakan semua ini dengan Agung.  Kesepakatan kami untuk tidak mengambil keputusan sendiri, masih berlaku.  Mungkin untuk terakhir kali.”  Lalu dia mengambil langkah lebar menaiki tangga.  Tangisan Jojo sudah sedemikian memilukan. 
                                        &nbrp;       ***
            Setelah menenangkan Jojo, Astri terduduk di sofa di sisi boks Jojo.  Membiarkan air matanya terus mengalir.  Meskipun demikian, dadanya masih tetap terasa sesak, seolah dunia telah runtuh dan menekannya kuat-kuat.  Astri membiarkan saja ketika kamar itu mulai gelap.  Dalam pikirannya, semua masa-masa indah bersama Agung terasa diulang di hadapannya.  Mulai perkenalan mereka di kantin sekolah, hingga saat kehamilannya yang sangat membahagiakan Agung.  Lalu Agung yang berkeras untuk memakai jasa Sal.  Astri tidak tahu, sama sekali tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi.  Rasanya tidak ada yang salah dengan pernikahan mereka.
            Astri tahu, sejak kelahiran Jojo, Agung memang jarang sekali meminta Astri melayaninya.  Pikir Astri, itu semua karena Agung begitu penuh pengertian.  Agung tahu kesibukannya.  Meskipun ada Sal, toh Sal tidak akan bangun malam-malam untuk menidurkan Jojo yang terbangun karena mengompol.  Astri juga tahu bahwa setelah kelahiran Jojo, dia jadi lebih dewasa.  Sok keibuan, ledek Agung sesekali.  Tetapi apakah itu yang membuat Agung berpaling pada Sal?  Apa kurangnya sebagai istri, dia selalu siap memberikan hak Agung, jika saja lelaki itu mau memintanya.  Agung sendiri yang tidak lau meminta haknya.  “Tentu saja,  dia sudah mendapatkannya dari Sal.”  Tangis kembali menyesakkan dada Astri.  “Sal, kenapa kamu tega menikam aku dari belakang?  Aku begitu menyayangi kamu.  Kamu ....” 
            Astri menaikkan lututnya ke atas sofa, memeluknya kuat-kuat.  Perceraian kedua orang tuanya membekas begitu dalam di batinnya yang masih belia.  Karena penolakan mereka terhadap dirinya, dia terpaksa hidup dari satu keluarga ke keluarga lainnya.  Hanya tiga keluarga, adik ayahnya, yang bersedia merawatnya agak lama.  Betapapun baiknya mereka memperlakukan dia, saat pertemuan keluarga besar, dimana ayahnya hadir tetapi tidak peduli padanya, selalu membuka luka batinnya.  Luka itu begitu dalam dan terus mengucurkan darah.  Saat itu dia pernah berjanji, dia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.  Dia harus menikah dengan seorang lelaki yang bisa mencintainya hingga dia kembali pada Sang Pencipta.  Anak yang lahir dari rahimnya kelak, harus puas merasakan limpahan kasih sayang dan perhatian kedua orang tuanya.
            Semasa di SMA, bahkan setelah kuliah, begitu banyak kumbang-kumbang yang beterbangan di sekitarnya.  Mereka semua punya keinginan yang sama, menyunting bunga nan jelita yang tengah mekar dengan indah dan semerbak itu.  Tetapi hanya satu yang dianggapnya benar-benar memenuhi segala kriteria yang dia tetapkan.  Agung.
            Dia mengenal Agung sejak kelas satu SMA. Agung kakak kelasnya.  Cara Agung memikat Astri begitu lembut, tidak tergesa-gesa seperti yang lainnya.  Dia memberi Astri waktu dua tahun untuk bersahabat dekat dengannya.  Setelah Astri merasa benar-benar nyaman ada di sisi Agung, barulah lelaki itu menyatakan segala rasa cintanya yang bagai taman bunga.  Begitu indah.  Begitu harum.  Begitu memikat.  (Sekarang, Astri menambahkan, begitu beracun).  Agung menampakkan kesungguhan untuk menghabiskan hidupnya bersama Astri.  Dia memaksa untuk berkenalan dengan keluarga Astri.  Keluarga yang sejak Astri balita sudah berantakan itu, sempat mengenal Agung sebagai kekasih Astri.  Jauh-jauh Agung mengantar Astri menemui mama yang sudah membentuk keluarga baru di Solo.  Setelah itu dia mengajak Astri sowan ke rumah papa dan mama tirinya di Jember.  Akhirnya, Agung memperkenalkan Astri pada ibunya.  Seorang wanita setengah baya yang sangat baik dan sangat menerima Astri.  Ayah Agung meninggal setahun sebelum Agung bertemu dengan Astri. 
            Astri mendengar nasehat banyak orang.  Paman dan bibi yang merawat Astri  sejak perceraian kedua orang tuanya (jumlahnya ada tiga paman dan tiga bibi), menilai Agung sangat bertanggung jawab dan sangat menyayangi Astri.  Neneknya (dua orang nenek kandung dan satu orang nenek dari pamannya), yang banyak mempengaruhi kepribadian Astri, menilai Agung sebagai seorang lelaki yang memenuhi bibit, bebet dan bobot sebagai seorang calon suami.  Papa dan Mama hanya menilai bahwa Agung baik.  Astri memang tidak berharap banyak pada mereka.  Mereka sudah lama menganggap Astri bagian dari masa lalu yang tidak ingin mereka buka lagi.  Akhirnya Astri memutuskan untuk menerima Agung.
            Sejak mereka pacaran, Agung bersikap sangat baik, dia begitu menyayangi dan menghormati Astri.  Satu-satunya yang sering menjengkelkan Astri dan juga teman-teman dekatnya, adalah sikap posesif berlebihan yang dimiliki Agung.  Asalkan tidak sedang kuliah, dia pasti mengantar dan menunggu Astri selesai kuliah.  Bahkan saat Astri ada tugas kelompok yang harus diselesaikan bersama teman-temanya, lelaki itu tidak segan menunggu Astri.  Teman-teman Astri sampai menjuluki Agung  ‘deodorant setia setiap saat’.
            Mengingat itu semua, Astri makin tergugu.  Ditatapnya jam dinding yang kini merangkak ke angka sepuluh.  Sampai selarut ini Agung belum juga pulang untuk menghalau segala rasa gelisah di hati Astri.  Benarkah semua yang dikatakan Kusman tadi?  Apakah lelaki itu hanya seorang penghasut yang menginginkan sesuatu?  Uang misalnya.  Astri menggeleng kuat-kuat.  Tidak, tidak mungkin Agung mengkhianatinya.  Tapi apa maksud Kusman?   Mungkinkah dia ingin Astri dan Agung berpisah?  Tapi untuk apa?  Tidak ada keuntungan yang akan didapat Kusman jika Agung bercerai dengan Astri.
            Dengan berbagai pikiran dan kegalauan yang berkecamuk dalam benaknya, Astri tertidur di sofa.  Kedua matanya bengkak karena menangis.  Wajahnya yang cantik tampak pucat pasi.  Sementara itu, Jojo yang terlelap dalam boksnya, basah kuyub karena urine.  Meskipun demikian, anak itu tetap terlelap, tidak seperti biasanya. 
            Malam itu Agung pulang pukul dua belas lebih. Lelaki itu rupanya singgah dulu ke rumah Sal, baru pulang ke rumahnya sendiri.  Entah apa saja yang diceritakan Sal padanya, Agung begitu marah ketika tiba di rumah malam itu.
            “Astri...”  Teriakannya membahana.  Dihempaskannya pintu depan keras-keras.  Hingga rumah  terasa bergoncang keras.  Astri segera keluar dari kamar Jojo.  Sangat berharap agar si kecil tetap terlelap dan tidak terbangun oleh goncangan tersebut.
            “Astri...”  Tanpa menunggu Astri tiba di lantai bawah, Agung berlari menyongsong istrinya.  Dengan sangat kasar dia meraih tangan Astri.  Menariknya kuat-kuat hingga Astri kesakitan.  “Apa yang kamu lakukan pada Sal?  Kamu sendiri pernah hamil.  Kamu sendiri seorang wanita.  Bagaimana mungkin kamu tega melakukan hal sekejam itu pada Sal?”
            Astri tak kalah sengit.  Ditariknya tangannya dari cengkeraman Agung.  Matanya membara memandang lelaki yang pernah dikasihinya itu.  “Memang apa yang sudah kulakukan?”
            “Kamu mendorongnya.  Kamu membuatnya terjatuh.  Kamu tahu, dia mengalami pendarahan karena itu.  Kamu ....”  Nafas Agung memburu.
            “Diam!”  Astri membentak dengan suara tertahan, tanpa rasa takut dia memandang Agung tajam-tajam.  “Aku yang berhak marah.  Bukan kamu.  Apa yang sudah kulakukan pada Sal, itu memang hakku.  Aku boleh mendorongnya, mencakarnya.  Mencincangnya sekalian.  Itu hakku.  Tetapi aku tidak melakukan semuanya.  Bahkan mendorongnya hingga terjatuh?  Oh, pintar sekali dia berdusta.”  Sekuat tenaga Astri menahan air mata yang sudah mendesak ingin keluar.
            “Dia tidak berdusta.”  Suara Agung terdengar pahit.
            “Karena kamu sangat mempercayainya.  Ada Kusman di sini.  Tanya saja padanya apakah aku mendorong kekasihmu itu hingga terjatuh atau tidak.”
            “Astri...kata Sal...”
            “Agung...”  Suara Astri sedingin es.  “Tidak ada yang bisa kita bicarakan lagi.  Semula aku berharap ..”  Astri menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.  “Pengakuanmu.  Kamu bukan hanya mengakuinya, tetapi membuktikannya dengan sangat ekspresif.  Tidak ada lagi apapun yang bisa kukatakan.  Kita harus segera bercerai.”
            “Astri...” Dari kemarahan yang membara, tiba-tiba saja Agung menangis.  Dia terduduk di sofa dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Suaranya terdengar memohon belas kasih yang amat sangat.  “Aku tidak tahu mengapa semua ini bisa terjadi, As.  Aku mencintaimu.  Terlalu mencintaimu.”  Dia beringsut mendekat pada Astri, lalu berlutut sembari memegang ujung gaun Astri.  Astri tidak dapat lagi menahan air matanya.  Rasa sakit karena pengkhianatan itu seperti sayatan-sayatan tajam pada ulu hatinya.
            “Oh ya... cinta yang sangat luar biasa.  Hingga perlu diwujudkan dengan menikahi perempuan lain, yang bahkan sudah kuanggap lebih daripada adik kandungku sendiri.”  Dengan air mata yang menggenang, Astri masih berusaha untuk tegar.  Tidak boleh dibiarkannya emosi mengendalikan dirinya.  Tidak di hadapan Agung, pengkhianat ini.
            “Kumohon Astri, lihatlah Jojo.  Kasihanilah Jojo.  Dia masih membutuhkan seorang ayah.”
            “Bukan seorang ayah yang menyakiti hati ibunya, Agung.  Dia tidak membutuhkan ayah seperti itu.”
            “Astri...”  Agung kini meraih kaki Astri.  Memeluknya erat.  Astri merasa bulu kuduknya meremang.  Dia tidak pernah menduga Agung akan melakukan hal semacam ini.  Agung yang dikenalnya bukanlah pria lemah yang mudah merengek.  Tetapi lelaki yang tengah memohon belas kasihannya ini... 
            “Sudahlah.  Tidak ada yang bisa memadamkan kemarahan seorang wanita yang dikhianati cintanya.  Kalaupun ada, aku tidak termasuk mereka yang bisa memaafkan pengkhianatan seorang suami.  Tidak, selamanya tidak.”
             Astri menarik kakinya.  Dengan tegar dia melangkah menaiki anak tangga demi anak tangga.  Dia sama sekali tidak menduga Agung akan mengambil tindakan bodoh. 
Tangan Astri  baru menyentuh pintu kamar Jojo ketika mendengar suara benturan keras disertai suara kaca yang pecah.  Ketika dia melihat ke bawah,  sosok Agung telungkup di atas meja kaca yang telah hancur berantakan.  Astri menjerit histeris.  Sesudah itu kegelapan yang dirasakannya.  Semua gelap.
            Astri tersadar ketika tangisan Jojo membahana.  Dia bangkit pelan-pelan,  meraba kepalanya yang terasa sakit.  Agaknya ketika terjatuh tadi, kepalanya membentur lantai cukup keras.  Kepalanya terasa sakit, sangat sakit, segala sesuatu seperti berputar mengelilinginya.  Sesaat kemudian dia tersadar akan apa saja yang baru terjadi.  Dilihatnya Agung sudah pingsan di atas meja kaca yang hancur berantakan.  Darah segar tampak menggenang di lantai.  Astri memekik kuat-kuat.  Dia berlari masuk ke kamar Jojo, mengangkat anaknya yang basah kuyub dan berbau tidak sedap.  Dipeluknya anak yang tengah menangis itu erat-erat.  Lalu dia segera meraih telepon dan menghubungi ambulans.  Astri sama sekali tidak mau melihat Agung.  Bukan cuma karena darah segar yang membuatnya ngeri, tetapi ada rasa sakit yang amat sangat di dadanya.  Rasa sakit itu yang menghalangi langkahnya untuk mendekati Agung.
                                                ***
            “Keadaan Bapak sudah membaik, Bu.  Tidak ada yang perlu dikhawatirkan... kecuali...”  Dokter Abadi menaikkan kaca matanya.  Dipandangnya Astri yang tertunduk lesu.  “Segi psikisnya kurang baik.  Agaknya Bapak tidak sanggup menahan tekanan bertubi-tubi yang dialaminya.  Jika tekanan itu tidak dikurangi, saya takut  akan membawa akibat buruk bagi kesehatannya.”
            Astri hanya menganggukkan kepalanya berkali-kali.  Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.  Dia sudah terluka, Agung melukainya tepat di tempat yang sangat tidak terlindung.  Penghargaannya pada diri sendiri.. 
            Penolakan kedua orang tuanya, telah membuat Astri membangun tembok tinggi yang disebutnya harga diri. Sejak kecil dia sering mengatakan pada dirinya sendiri, bahwa papa dan mama meninggalkannya karena mereka tidak sanggup merawat seorang anak yang begitu luar biasa seperti dirinya.  Rasa rendah diri karena penolakan dari orang tua yang telah melahirkannya, disembunyikannya dalam-dalam.  Astri berusaha menampilkan dirinya sebagai seorang yang agak angkuh, memiliki harga diri yang amat tinggi.  Seperti banyak dikatakan buku-buku psikologi, seorang yang angkuh sebenarnya seorang yang amat rendah diri.  Pengkhianatan  Agung membuktikan bahwa Astri memang tidak berharga.  Bahkan lebih tidak berharga dibandingkan seorang Salimah.  Astri sangat terluka, tidak ada kata-kata yang bisa melukiskan betapa dalamnya luka itu.
            Tetapi Astri tidak memiliki pilihan.  Pertengkaran malam itu, yang diakhiri dengan ulah konyol Agung membenturkan kepalanya ke meja kaca, membuat Astri sadar, dia memang tidak punya pilihan.  Dia harus menerima Sal sebagai istri kedua Agung.  Apa kata teman-teman Jojo nanti, atau calon istrinya kelak, jika Agung benar-benar menghabisi nyawanya?  Bagaimana jika kecenderungan Agung untuk menjadi seorang pasien rumah sakit jiwa menjadi kenyataan?  Bagaimana masa depan anaknya?  Bagaimana dia harus menerima ejekan teman-temannya?
            Astri dan Agung berpisah rumah. Agung dan Sal tinggal di rumah mereka.  Rumah yang setiap ruangnya terisi kenangan tentang kebahagiaan yang pernah ada di antara Agung, Astri, Jojo, dan Sal.  Astri memutuskan untuk meninggalkan Agung.  Terutama karena dia tidak mau anaknya bertumbuh dengan mengenal dua orang wanita sebagai ibunya.  Anaknya seorang lelaki kecil.  Satu saat dia akan menjadi lelaki dewasa.  Jika sejak kecil dia melihat kenyataan bahwa ayahnya memiliki dua orang istri, Astri tidak bisa menjamin dia tidak akan melakukan hal yang sama kelak.
            Agung dan Astri memang tidak bercerai.  Status pernikahan Agung dan Sal tetap pernikahan bawah tangan.  Tetapi pada kenyataannya, Astri yang tampak seperti seorang istri kedua.  Keangkuhannya yang muncul lagi, membuat Astri memilih untuk memberikan tempatnya pada Sal.  Menurut Astri, itu membuktikan bahwa dirinya sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan Salimah.  Dia sama sekali tidak mau bersaing dengan seorang wanita seperti Sal.  Dia, terlalu tinggi untuk itu.
                                                            ***
            Ibu memandang anak menantunya yang tertunduk diam.  “Keputusanmu untuk mempertahankan pernikahan dengan Agung itu betul, As.  Meskipun untuk sementara ini kalian pisah rumah, usahakan agar hal itu tak berlangsung lama.  Agung harus lebih banyak bersamamu daripada dengan istri mudanya itu.  Ibu ini sendiri mengalami nasib yang tidak kalah jelek dibandingkan nasibmu.”  Ibu duduk di samping Astri.  Membelai rambutnya dengan penuh kasih.  “Ayahnya Agung pernah selingkuh dengan beberapa wanita.  Ada yang masih gadis, ada yang janda, ada yang istri orang.  Maklumlah, ayahnya Agung itu pintar memikat hati perempuan.  Ibu cuma diam, banyak berserah kepada Tuhan.  Dengan cara seperti itu Ibu bisa tahan mendampingi ayah Agung sampai akhir hidupnya.  Percayalah, betapa jauhnya langkah seorang laki-laki meninggalkan istrinya, pada akhirnya dia akan kembali juga ke pangkuan istrinya.”
            Astri menyibakkan rambutnya dengan tangan.  Dipandangnya ibu mertuanya dengan sorot tajam.  Setelah pengkhianatan Agung terbongkar, barulah Ibu Agung bercerita tentang ayah mertuanya yang suka main perempuan.  Dulu yang didengarnya tentang mendiang ayah mertuanya hanya yang baik-baik saja.  Kalau saja sebelum menikah Astri tahu bahwa ayah Agung suka menyakiti hati istrinya dengan menjalin hubungan dengan perempuan lain ... “Mungkin Ibu bisa seperti itu.  Tetapi saya tidak.  Saya memutuskan tidak bercerai hanya untuk sementara ini.  Sampai Agung merasa kuat untuk sepenuhnya berpisah dengan saya dan Jojo.  Saya tidak pernah bisa memaafkan pengkhianatannya.”
            “Astri...”  Ibu menghela nafas panjang.  Tangannya yang semula membelai rambut Astri, diletakkannya di pangkuan.  “Itu tidak benar, Astri.  Itu salah.  Sebagai perempuan, kita harus mengambil sikap menerima.  Nrimo, kata orang tua jaman dulu.  Dikhianati laki-laki, itu sudah takdirnya wanita.”
            “Sudahlah Ibu.  Meskipun Ibu menghabiskan ribuan kata-kata, Astri tidak akan berubah pendirian.  Astri tetap minta pisah rumah.  Astri tidak sanggup, Bu.”
            “Kamu keras kepala, As.  Kamu tidak sayang pada Jojo?  Kasihan Jojo, tidak bisa dibesarkan dengan kasih sayang seorang ayah!”
            “Jojo tidak membutuhkan seorang ayah yang mengkhianati istrinya, Bu.  Kalau dipaksakan dia tinggal dengan ayah semacam itu, kelak setelah dewasa dia akan menjadi pengkhianat istrinya.  Saya tidak mau anak saya jadi seperti itu, Bu.  Tolong, mengertilah perasaan saya, Bu.”
            Wajah Ibu terasa sangat suram.  “Tapi kamu tidak bekerja, As. Maksud Ibu, bagaimana kalau Agung lalai memberimu nafkah?  Bagaimana Jojo?  Apalagi perempuan itu sedang hamil, sebentar lagi dia akan punya anak.  Jojo bakal punya saingan.”  Ibu mengerutkan kening.  “Itulah yang membuat Ibu bertahan dengan semua kelakuan jelek ayah Agung dulu.”
            “Saya akan cari kerja mulai sekarang, Bu.”  Mata Astri merenung.  Itu memang sudah dipikirkannya saat dia meninggalkan rumah.  Saat ini Agung memang masih terus membiayai kehidupannya dan Jojo, tapi sampai kapan?  Harga dirinya yang tinggi tidak akan membuat Astri mengemis pada Agung, seandainya lelaki itu lalai memberi nafkah padanya.
***
            Dengan selembar ijazah Sarjana Ekonomi, Astri mencoba berbagai alternatif.  Baru sekarang dia merasa betapa benarnya nasehat teman-teman kuliahnya dulu.  Kalau saja setelah lulus sarjana dia bekerja dulu sebelum memutuskan untuk menikah, tentu dia sudah memiliki pengalaman kerja yang cukup.  Sekarang, di usia hampir tiga puluh tahun, status menikah dengan satu anak, tanpa pengalaman kerja, rasanya semua kantor menutup pintu baginya.
            Astri bekerja karena suatu kebetulan yang merupakan berkah baginya.  Siang itu, tiba-tiba saja Jojo merengek minta es cream cone.  Menunggu hampir dua jam, tak satu pun penjaja es krim keliling yang menawarkan dagangannya.  Padahal, biasanya setiap dua puluh menit pasti lewat seorang penjual es krim keliling.  Akhirnya Astri mengambil keputusan sendiri. 
            “Jojo mau makan es ya?  Tunggu di rumah sama Bik Min ya, Mama keluar sebentar beli es.  Nggak jauh kok, dekat ujung jalan sana.  Setuju?”
            “Tuju... api angan ama-ama ya...”  Jojo yang kini sudah mulai lancar berbicara dengan bahasa luar angkasanya, tertawa gembira.  Dengan spontan dia membuka tangannya meminta pelukan sang mama.  Astri tersenyum, memeluk anaknya erat, memberi dua kecupan di kedua belah pipi montoknya.
            Minimarket kecil yang ada di ujung jalan itu ternyata tutup.  Terpaksa Astri memanggil sebuah becak yang tengah melintas.  “Ke supermarket yang paling dekat ya, Pak!”  Katanya sembari naik ke atas becak.
            Sementara becak itu berjalan, Astri merutuk dalam hati.  “Lama sekali jalannya becak ini.  Mudah-mudahan saja Jojo tidak marah-marah pada Mbok Min.  Kasihan Mbok Min, karena terlalu sayang pada Jojo, seringkali dia menurut saja apa yang diminta anak itu.”
            Sebelum mencapai supermarket terdekat, becak itu melintasi sebuah toko kue yang juga menyediakan es krim terkenal.  Astri berhenti di sana.  Agak tergesa dia masuk dan memilih beberapa macam es krim dalam kotak.  Pramuniaga baru membungkus cone yang diambilnya ketika seseorang menepuk bahunya dengan sangat keras.  “Astri !”
            Astri berpaling dan mendapati senyum lebar yang sangat dikenalnya.  “Amanda... ya ampun...Amanda si mulut besar!”
            “Sssttt...”  Amanda melotot kesal pada Astri.  “Keras banget suaramu.  Malu tuh!”  Sejenak kemudian mereka berdua sudah duduk di salah satu kursi.  Berceloteh ramai dengan suara riuh-rendah bagai kicau burung di pagi hari.
            “Aduh, aku susah payah mencari kamu, As.  Sejak kamu pindah dari Polehan, aku betul-betul kehilangan jejakmu.  Kamu tahu, aku sampai menghubungi semua teman-teman kita, tanya alamat kamu.  Tapi nggak ada yang tahu.  Kamu sih, mentang-mentang sudah bahagia, nggak mau peduli sama teman -teman sendiri.”
            “Bahagia?  Oh ya...tentu saja.”   Astri tiba-tiba kehilangan keceriaannya.  Sudah hampir enam bulan dia berpisah dengan Agung.  Tapi luka itu masih tetap mengucurkan darah, sangat sakit.
            “Hei... kok tiba-tiba ada mendung tebal?  Kenapa?  Gimana kabar Agung dan , siapa namanya...oh ya...Jojo...”  Amanda menepuk dahinya dengan jenaka.  Melihat raut wajah sahabatnya yang semakin gelap, dia memperbaiki letak duduknya.  “Hei... ada apa sebenarnya?  Agung masih hidup kan?  Atau... dia menikah lagi?”  Suara Amanda bernada bercanda.  Dia tahu alternatif kedua itu sama sekali tidak masuk akal.  Dia  dan Astri bersahabat sejak masih di bangku SMA, jadi dia tahu pasti bagaimana setianya Agung pada Astri. 
            Astri mencoba untuk tersenyum.  Tetapi yang dilihat oleh Amanda malah setitik air bening  yang tergantung di pelupuk matanya.  Astri menunduk.  Menyembunyikan kesedihannya.  Tapi Amanda terlanjur melihat air mata itu.
            “Ada apa, As?  Apa sih?  Kamu nggak keberatan bercerita padaku kan?  Aku masih sahabat kamu, kan?”  Desaknya dengan suara ingin tahu.
            “Ehm...tentu saja.  Am.” Astri mengusap air matanya dengan ujung jari.  “Ke rumahku dulu yuk, nggak jauh dari sini kok!”
            “Baik...baik...  Tapi jangan sedih gitu dong!  Masak setelah lama nggak bertemu, sekali bertemu kamu sedih begitu?”   Amanda berdiri dari kursinya, mendekat pada kasir.  “Berapa Mbak?”
            “Sudah, jangan, Amy...”
            “Tenang saja.  Hitung-hitung, ini oleh-olehku buat Jojo.”  Amy mengeluarkan dompetnya dan membayar semua es krim yang dipilih Astri.  Jumlah yang tidak sedikit, karena toko kue dan es krim ini cukup terkenal dan mahal.
            Astri tertegun ketika melihat Amanda masuk ke sebuah mobil mewah keluaran terbaru.  Setahunya, Amanda bukan orang kaya, keluarganya biasa saja.  Mungkin, sekarang dia sudah bekerja dan punya penghasilan yang cukup tinggi.  Diam-diam, Astri menekan kekecewaannya.  Bagaimana mungkin dia dulu begitu bodoh.  Dia pikir, menjadi seorang istri dan seorang ibu rumah tangga jauh lebih bahagia dan lebih berharga daripada membina karier pribadi.  Oh, kalau saja dia tahu sepagi ini rumah tangganya porak-poranda...  
            “Kamu kerja di mana, Am?”  Astri bertanya setelah mobil itu melaju.  “Kamu sudah punya karir bagus seperti teman-teman kita yang lain kan?”
            Amy tertawa kecil.  “Kalau aku sudah punya karir bagus, Non, aku nggak akan keluyuran di toko es krim, siang-siang begini, pada jam kerja.  Lihat, aku masih pakai jeans kan, seperti dulu.  Mana ada wanita karir yang pakai jeans belel begini, pada jam kantor?” Amy bersiul kecil.  “Nggak sayang... aku belum punya karir yang bagus.”
            Astri menatap temannya dengan sorot tak percaya.  Dicubitnya pinggang Amy, membuat gadis itu memekik kecil.  “Jangan bohong.  Aku tahu kamu sudah punya pekerjaan bagus.  Mobil seperti ini tidak dimiliki seorang pengangguran, Am.  Ayolah, masak kamu harus bohong sama aku?”
            “Bohong?  Enggak, selamanya enggak pernah.  Aku cuma kerja kecil-kecilan.  Kerja sendiri.  Kamu tahu kan, dari dulu juga aku nggak pernah punya bakat diperintah orang.  Hei, ingat nggak si centil Titis, dia selalu bilang aku ini bakal bos.  Ternyata...”
            “Titis, gimana kabar dia?”
            “Makanya, kalau ada reuni tuh ikut.  Kita dulu kan sudah sepakat, tiga tahun setelah lulus,ngumpul bareng.  Siapa tahu ada yang belum kerja bagus, jadi bisa saling menolong.  Itu gunanya teman, Non.”
            Astri merasa mukanya panas.  “Agung nggak mau antar.”
            Amy menatapnya dari samping.  Dia tertawa keras.  “Astri... Astri...  memangnya kamu anak kecil yang nggak bisa pergi kalau nggak diantar?”
            “Iya sih, itu dulu...”
            Amy menatapnya, heran.  “Memangnya sekarang kamu sudah mandiri ya?”
            “Terpaksa.”  Astri menunduk.  Dia tak bisa menahan air mata yang tiba-tiba saja sudah membasahi wajahnya.  Dia sudah menangis berhari-hari sejak terbongkarnya pengkhianatan Agung.  Tetapi air matanya tak kering juga.  Setiap kali tering`t pada lelaki itu, dia selalu menangis.  “Sekarang aku terpaksa mandiri, Am.  Eh, itu tuh rumahku, yang pagarnya biru.”
            Amy menepikan mobilnya.  Menahan rasa ingin tahunya.  Sesuatu pasti terjadi pada sahabatnya.  Si cantik Astrina Dewanti, yang sejak SMA hingga masa kuliah, selalu menjadi perhatian banyak kaum pria.&nbrp; Si cantik Astri yang memilih untuk menikah dengan seorang Agung, lelaki posesif yang membuat teman-temannya gemas.  Hampir lima tahun dia tidak bertemu dengan Astri. Pikir Amy, masih pacaran saja Agung sudah begitu posesif, apalagi setelah menikah, pasti tidak diijinkannya Astri berteman dengan siapapun.  Maka, meski berkali-kali ingin menghubungi Astri, diurungkannya niatnya.  Sejak pindah dari rumah lama yang mereka tempati setelah menikah, jejak Astri seperti hilang ditelan bumi.  Bagi Amy, sungguh suatu berkah menemukan Astri kembali.  Yang tidak pernah diduganya, Astri ternyata telah banyak berubah.  Amy bertanya-tanya dalam hati, apa sebenarnya yang terjadi pada rumah tangga Astri?  Kalau ingat saat masih pacaran dulu, rasanya tidak mungkin Agung dan Astri mengalami kegagalan rumah tangga.
            “Masuk, Am.  Ya, begini inilah rumah seorang janda...”  Astri membuka pintu pagar, didengarnya suara Mbok Min yang tengah membujuk Jojo.  “Wah, majikan kecilku lagi marah-marah tuh!”  Astri tertawa melihat Amy yang terlongong heran mendengar kata-katanya.
            Dugaan Astri bahwa Jojo marah-marah, tidak salah lagi.  Anak itu bergelung di tempat tidurnya.  Memejamkan mata seolah-olah tidak tahu kalau Astri sudah datang.  Mbok Min yang gembira melihat kedatangan Astri menjebikan bibirnya ke arah kamar Jojo.  “Kata Den Jojo, Mama sekarang suka bohong,  katanya pergi cuma sebentar, sampai lama belum kembali.  Den Jojo marah-marah, Neng.”
            Astri tertawa kecil.  Dengan matanya dia memberi isyarat agar Amanda duduk di ruang tengah.  Mbok Min buru-buru masuk ke dapur untuk mengambil minuman.  Astri masuk ke kamar Jojo, mendekat ke sisi tempat tidur anak yang tengah marah itu.
            “Jojo, Mama minta maaf, karena Mama pergi lebih lama daripada yang Mama janjikan tadi.  Bukannya mau cari alasan, tapi Mama tadi bertemu dengan teman sekolah Mama dulu.  Teman yang dulu suka main sama Mama.  Seperti Jojo suka main sama Adi, anak tetangga sebelah.  Itu, teman Mama ada di ruang tamu.  Jojo mau kenalan kan?          Mama tadi cerita, kalau anak Mama tuh baik sekali, ramah, sopan.  Pokoknya baik deh!  Ayo, Jojo mau buktikan kata-kata Mama benar nggak sih?”  Pelahan guling yang menutupi muka kecil itu bergerak.  Jojo memandang sang Mama yang memegang kakinya lembut.  Bibir yang mula-mula manyun itu, perlahan merekah, membentuk seulas senyum manis.
            “Teman Mama itu aki-aki apa plempuan?”
            “Perempuan, cantik lagi.  Ayo, kenalan.  Mau kan?”
            “Mau....”  Jojo melompat dari tempat tidur, memeluk Astri dengan kehangatan yang mengharukan hati wanita itu.  “Kalo pegi lagi, Mama gak boleh lama-lama, nanti Jojo susah.”
            “Iya sayang...iya...”  Astri merasa matanya panas.  Tuhan masih mengasihinya.  Meskipun cinta Agung tinggal kenangan, dia kini memiliki Jojo, Jojo kecil yang manis.
            Begitu melihat Amanda yang tampil sangat cemerlang, Jojo kehilangan keberaniannya untuk mendekat.  Dia bersembunyi di balik tubuh Astri, menenggelamkan wajahnya dalam-dalam pada gaun yang dikenakan Astri. 
            “Eh, ayo, anak Mama kok jadi pemalu begini sih?  Itu teman Mama, teman waktu Mama masih sekolah dulu.  Ayo, masak anak Mama mau sembunyi?”
            “Abis, tante itu pelti yang ukak nyanyi di tipi sih... lambutnya melah, mukanya walna-walni!”
            “Oi oi... kan tidak berarti Jojo jadi malu.” 
            Pelahan Jojo mengeluarkan wajahnya.  Memandang Amanda yang tersenyum manis padanya.  Beringsut dia mendekat.  Diulurkannya tangannya ke arah Amanda.  Amanda segera meraih tangan mungil itu.  Langsung menariknya agar mendekat.
            “Ini tho jagoan Mama yang cakep dan pintar itu?  Siapa namanya, Sayang?”
            “Jojo... Jocua eng eng eng...”  Tawa Amy yang renyah berderai-derai mendengar jawaban cadel itu.   Dipeluknya Jojo erat-erat..  Pada usianya sekarang, seharusnya Amy sudah menjadi seorang ibu, sama seperti Astri.  Tetapi jalan kehidupan tidak selalu seindah yang dibayangkan.  Memeluk Jojo, seolah ada sesuatu yang bergejolak indah dalam dirinya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar