Rabu, 03 Juli 2013

KAMILLA EMPAT : PULANG!!!

Hampir seminggu Mila hidup di jalanan.  Di pagi buta dia menenggelamkan wajahnya di balik topi bercaping lebar dan mengikuti langkah-langkah Pakde Marno mengais tempat sampah di tiap rumah dan toko, mencari sesuatu yang masih bisa dikumpulkan dan dijual ke pengepul barang bekas langganan Pakde Marno.  Ketika fajar menyingsing, dia cepat-cepat antri di kamar mandi umum di terminal dekat tempat Pakde Marno biasa tidur di malam hari.  Sesudah itu menyantap nasi bungkus dengan lauk seadanya.  Yang penting kenyang, seperti kata Pakde Marno dan Bude Tarmi.  Di siang hari dia duduk di alun-alun kota di bawah keteduhan pohon beringin sembari memandang lalu lalang orang lewat. 

Sabtu, 04 Mei 2013

KAMILLA TIGA : PULANG???

Ketika tersadar dari pingsannya, Milla mencium aroma tak sedap menyelubungi tubuhnya. Dia berusaha duduk, menyibakkan kain tipis yang menyelimuti tubuhnya dan menjadi sumber bau tak sedap itu.
"Sudah sadar, Nak?"  Seorang lelaki tua yang duduk tak jauh darinya menatap Milla dengan pandangan mata bersyukur.  Hari telah beranjak pagi dan semburat merah fajar pagi mulai mewarnai langit.  Milla mengangguk lemah dan mandah saja ketika lelaki tua itu menyodorkan sebotol air minum ke bibirnya.  Diteguknya air dingin itu, ada berbagai aroma tak sedap, tapi semua itu tak membuat Milla mual, dia terus minum dari botol plastik itu.
"Terimakasih, Pak."  Sahutnya lirih sembari mengembalikan botol plastik yang hampir kosong itu kepada sang lelaki tua.
"Sama-sama Nak.  Kalo sudah kuat, nanti Bapak antarkan ke rumah bu Hardi."
Milla ingin bertanya siapa itu bu Hardi, tetapi kepalanya terasa sangat berat dan pening.  Hingga akhirnya dia memutuskan kembali berbaring, dan baru menyadari bahwa tubuhnya sudah dipindahkan ke tepian kaki lima sebuah jalan yang tidak dikenalinya, beralaskan kardus bekas dan setumpuk kain usang sebagai alas kepalanya.  Dia ingin mengucapkan terima kasih, tetapi bibirnya hanya membentuk senyuman dan sorot matanya yang bicara banyak, memandang sang lelaki tua.  Lelaki tua itu menyunggingkan senyum tulus dan berkata pelan, "Masih pagi, tidur lagi sebentar Nak.  Nanti terang tanah kita berjalan ke rumah bu Hardi."
Mila menaikkan kain usang yang menutupi tubuhnya hingga menutupi dagu. Matanya memandang langit yang keemasan, gendang telinganya bagai dimanjakan kicauan burung yang bersahutan.  Milla tidak tahu dia ada dimana, dan siapa lelaki tua itu.  Yang dia tahu, dia sekarang sendiri.  Sendiri, tidak berdua seperti yang selalu dikatakan Galih padanya.  "Oh, tidak...aku tidak sendiri.." Milla tersenyum tipis sembari merasakan geliat kecil di dalam rahimnya. Anaknya, Galih kecil-nya yang akan memberinya kekuatan untuk terus bertahan.

Mila terjaga ketika sinar matahari yang hangat membelai wajahnya.  Dia membuka sedikit matanya, menahan silau karena cahaya mentari yang gemilang. Jalan raya di depan trotoar di mana dia terbaring, sudah ramai kendaraan lalu lalang.  Dia mengucek matanya dan sedikit merentangkan badannya, terasa lebih segar.  Pelahan dia duduk dan menggulung rambut panjangnya ke atas tengkuk.  Dia berpaling ke arah kiri, dilihatnya bapak tua yang tadi memberinya minum, sedang sibuk memilah beberapa kantong plastik bekas.
"Selamat pagi, Pak."  Sapanya pelahan.  Bapak tua itu menoleh dan tersenyum manis.  Mata tuanya bersinar ramah ketika dia menjawab sapaan Mila "Selamat pagi Nak.  Sebentar ya, Bapak pilih kantong plastik dulu, nanti bapak belikan sarapan di warung seberang jalan sana."
Mila tersenyum penuh ucapan terima kasih.  Dia ingin berdiri, tetapi kedua kakinya terasa lemas.  Dan dia baru ingat, terakhir kali dia makan adalah kemarin pagi sebelum berangkat ke sekolah.  Dielusnya perutnya yang membuncit dengan kasih.  "Adek lapar ya?  Mama jahat ya tidak kasih makan adek..." bisiknya lirih.
"Sudah sadar tho nDuk...ini makan dulu!"  Seorang ibu setengah baya berpakaian lusuh tiba-tiba sudah ada di sisi Mila, menyodorkan sebungkus nasi beraroma pecel kepadanya.  "Ini makan dulu, ayo...kasihan bayinya nanti."
"Tarmi...matursuwun kamu sudah belikan nasi buat dia."  Bapak tua tadi mengucapkan terima kasih.
"Alah sudahlah Pakde...tidak apa-apa.  Saya kan juga pernah mengalami nasib seperti dia ini.  Wes pokoknya kalau sudah hidup di jalanan seperti ini, kita harus bisa saling menolong dan saling menjaga.  Gak usah bicara soal terimakasih dan balas budi."  Suara ibu itu bak kicau burung di pagi hari, riuh rendah dan berlogat khas jawa timur.  Mau tak mau Mila jadi tersenyum juga.  Pelahan dia buka bungkusan nasi itu dan segera dia sibuk menyendokkan isi bungkusan ke mulutnya, sedikit susah karena harus menggunakan sendok bebek dari plastik.  Nasi hangat dan pecel itu segera membuat perutnya terasa nyaman.  Ditenggaknya segelas teh panas yang juga disediakan Bu Tarmi.
"Saya nggak bisa balas apa-apa, Pak, Bu."  Bisik Mila lirih.
"Memang siapa yang minta dibalas?  Orang kita hidup di jalan seperti ini, kalau kita tidak saling menolong, bagaimana kita bisa tetap bertahan?"  Bu Tarmi menatap gadis remaja ayu berperut buncit itu dengan iba.  "Jadi pakde nanti akan bawa mbak ini ke tempat Bu Hardi?"
"Iya, biar dia bisa istirahat di sana sampai melahirkan.  Sesudah itu, baru dipikirkan selanjutnya bagaimana."
"Memang kamu  lari dari rumah karena orang tuamu tidak bisa menerima kehamilanmu ya?"
Mila tertegun.  Teringat kemarahan Papa dan tangisan Mama.  Hatinya terasa diremas  hancur dan ditaburi air jeruk nipis.
"Papa sudah berjuang mati-matian untuk membesarkanmu, menyekolahkanmu...lalu ini balasanmu?  Ini?????"  Rasa perih ketika mengingat ucapan itu terasa mencengkeram ulu hati Mila.  Menggulirkan sebutir mutiara bening di pelupuk matanya.
"Saya sudah buat papa mama kecewa Bu, tidak ada gunanya saya bertahan di rumah itu."
"Nduk...tidak ada orang tua yang tidak sayang pada anaknya, dan rasa sayang itu sering diwujudkan dengan kemarahan.  Tetapi percayalah, kalau kamu mau datang kembali dan minta maaf, pasti mereka memaafkanmu."
"Saya tidak mau bikin malu keluarga, Bu."
"Mereka lebih malu jika orang sampai tahu anaknya menggelandang begini."
"Menggelandang?"  Pahit sekali suara  Mila.
"Iya, apa namanya hidup di jalanan seperti aku dan dan Pakde Marno, kalo bukan menggelandang?  Memang kamu sanggup jadi gelandangan?  Kamu cantik nDuk, masih muda, banyak kejahatan mengintaimu.  Lebih baik kamu pulang, karena rumah bu Hardi sekalipun tidak akan bisa melindungimu seaman rumah keluargamu tempatmu dilahirkan dan dibesarkan."
"Tarmi...biarkan saja dulu dia bersama kita, nanti kita antar ke bu Hardi."
"Bu Hardi memang baik, Pakde. Tapi keponakannya yang namanya Tito itu?"
"Tito cuma mata keranjang, tapi dia tidak jahat. Bu Hardi tahu itu kok.  Anak-anak gadis yang dulu dirawat Bu Hardi juga tidak diganggu sama Tito."  Sahut Pakde Marno.
"Iya karena mereka tidak secantik mbak ini."
"Aku Mila, Bu."
"Ya, tidak secantik Mila!"  Bu Tarmi memegang tangan Mila. Menatap matanya dalam-dalam.  Mata yang mulai memburam itu berusaha membujuk Mila.  "Pulang ya, Bude anterin.  Nanti Bude yang bilang ke Bapak dan Ibu mu."
Mila tergugu.  Apakah masih ada tempat di rumahnya, untuk seorang wanita jalang seperti dia? Seorang gadis yang tidak bisa menjaga kesuciannya dan kehormatannya?  Mila mengelus perutnya, sekali lagi, sembari berbisik lirih.  "Pulangkah kita, Dek?"


Minggu, 24 Maret 2013

KAMILLA DOEA : SERENADE KISAH LAMA


Halaman-halaman dengan tulisan rapat berjajar bagai semut berbaris itu memusingkan kepalanya.  Kamilla menutup buku tebal yang tengah dibacanya.  Melepas kacamatanya dan meletakkan alat bantu baca itu ke atas meja.  Direntangkannya tubuhnya kuat-kuat sembari menguap lebar.  Sudah cukup untuk hari ini.  Semua tugasnya untuk hari ini sudah selesai.
Dia beranjak ke arah jendela kamar, menurunkan tirainya hingga kegelapan malam tidak membuatnya resah lagi.  Jam dinding berdentang sebelas kali.  Oh, baru terasa lelahnya seharian bekerja.  Baru saja Kamilla meletakkan tubuhnya ke pembaringan, ponselnya bernyanyi riang.
'not recognized number is calling you' tulisan di layar ponselnya berbunyi.  Kamilla menimbang-nimbang antara menerima panggilan itu atau mengabaikannya.  Dia masih belum mengambil keputusan ketika dering ponselnya berhenti.  Matanya nanar menatap layar ponsel yang menyala sejenak kemudian kembali gelap.
Lelaki dari belahan dunia mana lagi yang berusaha mengusiknya?
Lelaki mana lagi yang ingin menjadikannya sekedar pengisi waktu luang dan tempat membuang rasa bosannya?
Belum menjawab pertanyaannya sendiri, Kamilla dikejutkan oleh ponselnya yang kembali bernyanyi riang.  Tanpa pikir panjang Kamilla menekan tombol hijau dan suara beningnya menyapa "Ya....selamat malam"
"Bener ini mbak Milla?"
"Ini siapa?"
"Ini Revan Mbak...Revan yang dulu bareng mbak dari Jakarta ke Surabaya. Dah lupa ya?"
Seraut wajah tirus dan bola mata coklat bening yang tulus, menyeruak benak Kamilla.  "Ya...Revan yang mana ya?"
"Oh..ya sudah...maaf sudah mengganggu malam begini.  Selamat istirahat, Mbak."
Tut...tut....tut....tutttttttttttttttt...
Kamilla meletakkan ponselnya ke atas meja di tepi pembaringan.  Revan, pemuda berwajah tirus yang menganggapnya masih berusia dua puluh lima itu?  Pemuda aneh yang menyatakan cintanya di akhir sebuah perjalanan kereta api sepanjang dua belas jam? Hahahaha...mana bisa Kamilla lupa?
Diraihnya lagi ponselnya, menekan tombol 'log panggilan' lalu tombol hijau.
"Hai Revan...apa kabar?"
"Oh Mbak...bener udah lupa sama aku ya?"
"Inget kok, kamu yang gag suka coklat itu kan?"
"Hahahaha...sebenernya aku penggemar coklat mbak, cman waktu itu aku nolak karena aku tahu pasti mbak lebih membutuhkan coklat daripada aku.  Hehehehe..."  Suara menghela napas panjang.  "Aku baik saja Mbak, Mbak sendiri gimana?"
"Aku baik, Dek.  Btw....gmana cara kamu nemuin nomorku?"
"Dari mbak sendiri kan?"
"Dari...aku?"
"Iya Mbak...Mbak yang ngasih aku nomor mbak waktu kita chatting di facebook, tadi malam.  Mbak nawarin aku polis."
"Owh!"
Kamilla sedikit terpesona.  "Jadi kamu pemilik akun 'Putra Fajar'?"
"Ya Mbak, heran ya..."
Kamilla menghela napas panjang.  Dia merasa begitu kenal dengan gaya bicara teman chattingnya semalam.  Hingga ditahannya kantuknya hingga jarum jam mendekati pukul dua pagi untuk melayani pembicaraan via web itu.  Dia pikir...
"Iya...aku pikir kamu orang lain"
Suara napas panjang di seberang.  "Oke deh mbak..selamat malam...besok aja kita sambung lagi.  Mbak harus istirahat, besok kerja lagi kan..."
"Iya Rev...makasih ya pengertiannya...kamu juga cepat istirahat, biar besok gag capek kalau kuliah. Met malam met istirahat"
"Thanks ya Mbak..."
Kamilla mematikan ponselnya, meletakkan benda pipih itu ke atas meja, lalu duduk dengan kaki menjuntai di tepi pembaringan.  "Putra Fajar itu Revan...dari mana dia tahu akun facebook-ku? Dan kenapa dia seolah tahu banyak tentang diriku?  Aku pikir dia Galih...."


Galih adalah cinta pertama Kamilla.  Galih dengan rambut ikalnya dan sorot matanya yang setajam sorot mata elang.  Galih yang tak pernah lalai membawakannya edelweis tiap kali dia naik gunung.
"Kamilla...pacarmu naik gunung lagi...ingat ya...sekali ini edelweisnya buat aku!"  Kinanthi melambai-lambaikan buku kimianya di depan hidung Kamilla yang seolah tenggelam dalam lamunannya tentang sosok Galih.
"Iya....ya elahhh...udah dong bikin orang sebel dengan buku jelek itu!"
 "Kimia sayaaanggg...kimiaaaa....bukan buku jelek, nilaimu yang jelek tuhhh...kebanyakan pacaran!"
Kamilla tersenyum pahit.  Tidak juga.  Kimianya tidak pernah dapat nilai jelek sebelumnya.  Dia selalu berhasil duduk di peringkat satu, dua atau paling rendah tiga, dalam setiap ulangan matematika, kimia dan fisika.  Tetapi akhir-akhir ini....
Kamilla mengelus perutnya dengan sedih.  "Aku tahu sesuatu sedang terjadi di dalam sini...dan itulah yang membuat nilai-nilaiku hancur."



Galih menyepak kerikil kecil di ujung sepatunya kuat-kuat.  “Aku benci mengatakannya…tapi kamu tahu…aku rindu saat-saat itu. Saat kamu ada di sisiku, dan kita bercerita tentang mimpi indah kita.  Kenapa sih kamu biarkan sesuatu yang tidak baik itu tumbuh dalam rahimmu dan mengacaukan hubungan kita?”
“Sesuatu yang tidak baik itu anak kita!  Buah cinta kita!” sergah Kamilla kasar.
Galih menghentakkan kakinya lagi.  “Halah…omong kosong apa itu!  Kita bisa punya selusin anak, nanti…setelah aku dan kamu sama-sama siap.  Tidak sekarang.  Sekarang itu suatu kesalahan…plizzzz….Milla…hentikan itu!”

Kamilla menghentikan langkahnya.  Merapatkan jaketnya menutup perutnya yang kian membuncit.  Lalu menatap Galih dengan sorot mata asing.  “Kalau kamu masih saja memaksaku menggugurkan kandunganku, pergilah Galih…pergilah dari hidupku!  Biarkan aku di sini….menanggung semua resiko yang aku pilih sendiri.  Pergilah…jangan pernah kembali!”
 

"Terus kamu anggap apa aku?  Harus berhenti meraih mimpiku hanya demi isi perutmu yang kamu sebut buah cinta kita itu?"  Galih menghentakkan kakinya dengan marah.  Edelweis yang tadi ada dalam genggaman tangannya, dilemparnya begitu saja hingga berhamburan di atas tanah.  Kamilla memandang semua itu dengan mata berlinang dan bibir bergetar.  "Itu bukan buah cinta kita...itu kutukan, Milla!  Kutukan!  Berapa usiamu? Enam belas!  Berapa usiaku? Delapan belas!  Ya ampun....sebatang rokok saja aku masih minta bapakku belikan, bagaimana aku bisa menghidupi anak itu?  Kenapa susah sekali....aku punya kenalan dukun bayi yang biasa aborsi.  Aku jamin aman..banyak..."
Kamilla menatap Galih dengan mata berlinang, tetapi sorot matanya menyala penuh kemarahan.  "Lanjutkan!  Tapi jangan pernah berharap aku akan menurut maumu!  Aku akan melahirkan anak ini!"
Galih mendekat pada Kamilla, meraih kedua bahu gadis belia itu dan menatap matanya tajam-tajam.  "Dengar aku...dukun bayi itu pintar, dia sudah sangat berpengalaman!"
"Tidak!"

Dan kata 'tidak' itu pula yang dibawa Kamilla pada papa dan mama ketika akhirnya dia tak bisa menutupi kehamilannya lagi.

"Milla hamil, Ma. Anak Galih."  Milla duduk tertunduk di sofa ruang keluarga.  Tak sanggup menatap mata papa yang menyala marah dan lebih tak sanggup lagi menatap mata mama yang sangat terluka meski mata lembut itu tidak berlinang air mata.  "Maafkan Mila."

"Maaf?  Hanya itu yang kamu ucapkan setelah sebuah pengkhianatan sebesar ini terhadap orang tua yang sudah membesarkanmu dengan air mata dan keringat darah?  Maaf?"  Suara Papa menggelegar.  Milla sudah siap menerima tamparan di pipinya.  Tetapi Papa tidak melakukan itu, tangannya yang bergetar kuat berhenti di udara.  Lalu disertai teriakan keras papa menghantamkan kepalannya pada meja kaca hingga hancur berantakan.  Selanjutnya   Kamila tidak tahu apa yang terjadi.  Mama sibuk merawat tangan papa yang mengucurkan darah.  Kamilla berdiri dengan tubuh lunglai.  Hatinya terasa sangat sakit.  Dengan sisa kekuatannya, dia melangkah menuju kamar, mengambil tas ranselnya yang telah disiapkannya sejak semalam.  Ketika seisi rumah sibuk dengan papa yang terluka, Milla menyelinap keluar.  Berjalan di gelapnya malam dengan langkah gontai. "Tidak ada seorang pun boleh memaksaku berpisah dengan anak dalam rahim ini, tidak seorang pun!"

"Kamu pintar Milla, kamu pasti dapat beasiswa, kamu bisa jadi dokter spesialis bedah jantung yang hebat.  Kelak kamu akan menyelamatkan banyak nyawa dan membuat hidup banyak orang lebih berarti.  Tuhan menyayangimu, Sayang."

"Kami bangga punya kakak Mbak Milla, semua guru membicarakan kakak. Kakak hebat!"

"Aku cinta kamu Milla, kita akan bersama mengarungi bahtera hidup ini.  Kamu adalah puncak tertinggi yang bisa kutaklukkan, dan berdua kita akan menaklukkan puncak-puncak kehidupan ini.  Berdua, Milla!"

Dan semua itu berputar bagai arus air yang kuat, menarik seluruh sisa-sisa kekuatannya.  Kamilla hanya tahu dia berjalan dan terus berjalan tanpa pernah tahu arah tujuannya.  Langkah kakinya silih berganti.  Air matanya terus mengalir tanpa henti sampai akhirnya kelenjar air matanya kering.  Dia menangis tanpa suara tanpa air mata.  Kekuatannya hilang, dia masih terus berjalan hingga akhirnya tubuhnya tak mampu menahan lagi, luruh begitu saja ke permukaan bumi, diterpa hujan dan dihembus angin malam yang dingin.