Senin, 07 Mei 2012

Tak Selamanya Mendung Itu Kelabu Bagian Lima


“Dari hasil otopsi, tidak ditemukan adanya alkohol maupun obat-obatan dalam darah Pak Agung, Bu.”  Sersan Hamid memandang Astri dengan iba.  “Juga tidak ada tanda-tanda bekas penganiayaan di tubuhnya.”
            “Jadi...”  Astri menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.
            “Mungkin Pak Agung memang menjalankan kendaraannya dengan sangat kencang.  Entah apa yang membuatnya membanting kemudi ke kiri, mungkin sebuah kendaraan besar yang tiba-tiba saja muncul dari tikungan.  Anda tahu, tikungan di tempat Pak Agung mengalami kecelakaan itu memang sangat tajam.  Banyak kecelakaan terjadi di sana.”
            Astri tahu, bukan tajamnya tikungan itu yang membuat Agung mengalami kecelakaan.  Lelaki itu telah melakukan satu kebodohan yang tidak akan pernah bisa diperbaikinya.  Astri tahu, Agung pasti sengaja menabrakkan mobilnya ke pembatas jalan dari beton itu.  Dia sengaja.  Dia memang ingin mengakhiri hidupnya dengan cara tidak terhormat.  Tetapi dia masih ingat Jojo, masih ingat pesan Astri.   Karena itu dia tidak melakukannya secara terbuka.  Dia melakukannya secara tersamar, sebuah kecelakaan.  Bagaimanapun caranya, tetap saja itu bunuh diri.  Astri merasa matanya panas.  Dia tidak tahu, apa yang menyebabkan Agung memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.  Pasti bukan karena gugatan cerai yang akan diajukannya.  Sudah enam bulan sejak dia menemui Agung, dan tidak terjadi apa-apa.  Kalau memang Agung ingin bunuh diri karena Astri minta diceraikan, pasti dia melakukannya sesaat setelah Astri memberitahukan hal itu padanya.  Untuk apa dia menunggu sampai enam bulan?
            Setelah jenazah Agung dibawa pulang, dan Astri tidak menemui Sal dan anaknya, barulah Astri menyadari apa yang terjadi.  Kali ini Agung mencoba bunuh diri bukan karena Astri, tapi karena Sal.  Usahanya itu berhasil, dan tak seorangpun yang kembali padanya.  Tidak Astri, tidak juga Sal.
            Sepucuk surat yang ditulis di atas kertas buram, ditemukan Astri diantara barang-barang Agung.  Lelaki itu menulis tentang kehancuran hatinya.  Tentang kisah hidup yang tidak berjalan seperti yang diinginkannya.
... aku memutuskan untuk mengakhiri hidupku.  Untuk apa aku terus bertahan hidup?  Untuk siapa?  Astri sudah memutuskan untuk bercerai, sudah membuangku dari kehidupannya. Sal pergi begitu saja, tanpa pamit padaku.  Untuk siapa aku harus hidup?  Jojo sudah terjamin hidupnya bersama Astri.  Riris?  Anak buta itu tidak akan bertahan lama.  Kudengar dia sering diare, berat badannya sangat rendah, umurnya pasti tidak panjang.  Kalaupun dia berumur panjang, dia mewarisi uang yang tidak sedikit jika aku mati.  Ya, mati adalah solusi yang terbaik untukku.  Kalau aku mati, Sal dan Jojo akan mendapat sejumlah uang yang tidak sedikit dari asuransi jiwa.  Demikian juga ibu dan Astri.  Masalah ekonomi kedua istriku, tidak akan kekurangan.  Sekarang, bagaimana cara yang terbaik untuk mengakhiri hidupku, tanpa kesan bahwa itu kulakukan dengan sengaja...
                                                            ***
            Pemakaman Agung berlangsung sederhana.  Memang banyak pelayat yang datang dan turut menyatakan rasa duka citanya.  Mereka memasang muka sedih, seolah saudara merekalah yang meninggal.  Tetapi Astri tahu, banyak yang datang hanya karena mereka memiliki kepentingan bisnis dengan Agung dan perusahaannya.  Mungkin juga banyak yang membicarakan almarhum yang memiliki dua istri.  Mereka mungkin bertanya-tanya yang mana istri muda Agung.  Astri tidak tahu, dan tidak ingin tahu.
            Ketika Agung dinyatakan meninggal, dia berusaha keras menghubungi orang tua Sal.  Dia ingin tahu di mana dia bisa menghubungi Sal dan menyampaikan berita duka itu.  Tetapi bahkan orang tuanya tidak tahu dimana Sal berada.  Mereka hanya tahu kalau Sal bekerja di HongKong. 
            Astri mencoba menghubungi nomor telepon yang ditinggalkan Murni, teman yang mengajak Sal pergi.  Ternyata Murni juga kehilangan jejak Sal.
            “Kami para tenaga kerja Indonesia, suka melepas rindu pada tanah air di Victoria Park.  Tetapi sudah dua bulan ini saya tidak melihat Sal.  Dia memang punya masalah dengan majikannya.  Dia memutuskan untuk pindah kerja.  Setelah itu dia tidak pernah muncul lagi.”  Kata Murni ketika dihubungi Astri. 
            Astri mencoba menghubungi Kedubes RI di HongKong.  Jawaban yang diterimanya sama sekali tidak memuaskan.  Sal tidak terdaftar sebagai tenaga kerja Indonesia di HongKong.  Apakah itu berarti Sal masuk ke HongKong bukan sebagai TKW resmi, Astri tidak tahu.  Akhirnya dia menghentikan usaha pencarian itu.  Sampai Agung dimakamkan, Sal belum juga muncul.
            Usai pemakaman, Astri mengajak seluruh keluarga Sal berkumpul di rumah yang ditinggalkan Agung.  Astri merasa harus melakukannya, untuk menghindari kesalahpahaman yang muncul pada keluarga Agung.
            Astri sama sekali salah tentang keluarga Sal.  Mereka bukanlah sekelompok orang yang tamak akan uang.  Sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang berhati tulus, meskipun miskin.  Mereka tidak menuntut apa-apa dari harta yang ditinggalkan Agung.  Astri sendiri yang membuat keputusan. 
            Rumah yang menjadi tempat tinggal Sal dan Agung dijual.  Astri merasa tidak akan sanggup tinggal di rumah itu.  Seluruh kenangan bersama Agung dan Sal ada di sana.  Jika dia pindah ke rumah itu, maka seluruh usahanya untuk menyembuhkan luka karena pengkhianatan suaminya, akan kembali ke titik nol.  Uang hasil penjualan rumah itu dibaginya menjadi beberapa bagian.  Keluarga Sal mendapat dua puluh persen.  Astri membuka deposito atas nama Riris dan Jojo.  Masing-masing mendapat bagian dua puluh lima persen.  Sisanya diberikan kepada ibu Agung.
            Keluarga Sal menerima keputusan itu tanpa protes sama sekali.  Saat pengosongan rumah itu, Astri memberi kesempatan kepada sembilan orang saudara Sal untuk mengambil apa saja yang mereka mau.  Pikir Astri, tidak akan ada yang tersisa setelah anak beranak itu masuk ke rumah Agung.  Ternyata, mereka hanya mengambil sedikit sekali barang.  Rumah itu masih tampak utuh seperti saat Agung meninggalkannya.  Tidak ada yang begitu tamak dan mengalbil berbagai benda peninggalan Agung.  Astri menelan saja rasa herannya.  Sejak saat itu dia tahu, bahwa dugaan Agung tentang keluarga Sal, salah sama sekali.  Mereka memang miskin, tetapi mereka tidak tamak.
                                                            ***
            “Ini Marissa, Bu Astri.”  Mbok Jah menunjukkan bayi perempuan di gendongannya pada Astri.  “Dia buta.”
            Hati Astri terasa pedih.  Ditatapnya bayi mungil yang sangat cantik itu dengan rasa sayang.  Riris punya mata yang sangat indah, lebar dan dinaungi bulu mata lentik.  Alisnya melekuk dengan indah dan sudah tampak hitam bagus.  Hidungnya juga bangir untuk ukuran bayi seusianya.  Tetapi bola matanya tampak buram.  Tidak bersinar sama sekali.  Ketika Astri menggerakkan tangannya di depan mata Riris, tidak ada reaksi sama sekali.         Astri tergugu.  Diambilnya Riris dari gendongan Mbok Jah.  Selama masa pemakaman Agung dan penyelesaian segala masalah harta peninggalan almarhum, dia memang sempat melihat Riris.  Tapi tidak pernah diperhatikannya dengan serius.  Lagi pula, tak satu pun keluarga Sal yang berusaha memperkenalkan bayi itu pada Astri.  Dia sama sekali tidak tahu kalau Riris buta.  Dia hanya tahu kalau bayi ini sering sakit.  Tampak sekali dari tubuhnya yang terlalu kecil untuk bayi seusianya.
            “Riris sayang...”  Bisiknya lembut.  Bayi itu sama sekali tidak protes.  Jari tangannya yang mungil menyentuh wajah Astri.  Membuat hati Astri berdesir kuat.  Sejak dulu dia mendambakan kehadiran seorang anak perempuan.  Kalau saja Agung tidak mengkhianati cintanya, mungkin Jojo benar-benar memiliki seorang adik perempuan.  Tetapi anak dalam gendongannya ini memang adik Jojo, anak ayahnya.
            “Sejak lahir Mbok?”
            “Iya...Bu.  Kata Nak Agung, itu akibat dosa ibunya.”  Suara Mbok Jah terdengar pahit.  Dengan mata berkaca-kaca dia menatap mantan majikan anaknya itu.  “Sal memang berdosa besar pada Ibu.”
            “Sudahlah Mbok.  Semua sudah lewat, sekarang tinggal bagaimana kita menghadapi masa depan.  Terutama masa depan Riris.”
            “Riris...”  Mbok Jah tersentak.  Ketika melihat Astri di ambang pintu rumahnya,  seluruh tubuhnya terasa lemas tak bertenaga.  Sangkanya, pasti wanita cantik itu akan mengobrak-abrik rumahnya.  Apalagi karena rumah itu memang bukan rumahnya.  Agung memberikannya untuk keluarga mereka, satu bulan setelah menikahi Sal.  Setahu Mbok Jah, sertifikat rumah ini masih dipegang Agung.  Mungkin wanita itu ingin mengusir mereka dari rumah ini. 
            Dugaan jelek itu sama sekali tak beralasan.  Karena begitu masuk ke rumah, Mbok Jah bisa melihat ketulusan yang ada dalam sinar mata wanita cantik jelita itu.  Ketulusan yang amat dalam, seperti sebuah telaga yang bening dan sejuk.  Sekarang, wanita ini malah menyinggung soal masa depan Riris.  Sebenarnya apa maksud wanita ini?
            “Mbok nggak usah takut.  Saya datang ke sini memang untuk melihat Riris.  Bagaimanapun, dia adalah anak tiri saya.  Saya tidak habis pikir, kemana perginya Sal?”
            Mbok Jah menggelengkan kepala kuat-kuat.  “Saya tidak tahu, Bu.  Dia pergi begitu saja.  Sudah saya bilang, jangan begitu.  Tapi dia tetap saja pergi.  Dia sama sekali tidak peduli pada anaknya, dia membuang anak itu.  Dia kecewa karena anaknya buta.  Padahal anak itu buta kan karena dosanya...”
            “Ssttt....sudahlah Mbok.   Kita ini kan wanita, tahu bagaimana perasaan Sal.  Mustahil dia membuang anaknya.  Dia pasti punya alasan yang kuat untuk meninggalkan anaknya.  Saya mohon, jangan mengatakan Sal membuang Riris.  Satu saat, itu akan melukai anak ini.”  Astri merasa matanya panas, teringat nasibnya sendiri.  Dia tidak akan membiarkan Riris mengalami nasib seperti dirinya.  Dia akan merawat anak ini.  “Sementara ini, selagi Sal pergi, bolehkan saya merawat Riris?”
            “Ibu...”  Sekelebat bayangan jelek menyergap Mbok Jah.  Wajah tuanya pucat pasi.  Mungkinkah wanita ini akan membalas kesalahan ibu kepada anaknya?  Apakah semua ketulusan yang ditunjukkannya itu cuma sekedar topeng?  Sebenarnya dia ingin menyakiti Riris?
            “Mbok, jangan memandang saya seperti itu.  Saya akan merawat Riris seperti merawat Jojo.  Riris kan adik Jojo?  Mana mungkin saya menyakitinya.”  Astri tersenyum arif.  “Nanti kalau Sal sudah kembali, saya akan mengembalikan Riris padanya.  Tidak kurang suatu apa.”
            “Tapi...”
            “Saya mohon, Mbok.  Riris memerlukan perhatian khusus.” 
            “Tapi...”  Mbok Jah masih tetap tak percaya.  Sorot matanya berbicara banyak.  Sejak Sal dekat dengan Agung, di rumahnya ada sebuah televisi berwarna yang setiap hari penuh dengan acara sinetron.  Meskipun pendidikannya tidak tinggi, Mbok Jah bisa mencerna beberapa sinetron yang ditayangkan televisi swasta.  Banyak kisah yang disajikan sinetron itu menceritakan orang jahat yang bersembunyi di balik topeng kebajikan.  Pikirnya, wanita di depannya ini sedang berlagak seperti salah satu orang jahat dalam sinetron itu.  “Tidak....tidak boleh seperti itu.  Riris ini cucu saya...”
            “Iya, saya tahu.  Tidak ada yang akan merebut Riris dari pelukan neneknya.”  Astri mengayun-ayunkan bayi dalam gendongannya.  “Mbok boleh menjenguknya kapan saja.  Riris memerlukan perhatian khusus, Mbok.  Saya akan merawatnya sebaik mungkin.”
            “Eh...saya...eh, saya harus tanya Bapak dulu.”
            “Tentu saja.  Pak Saturi harus tahu, dan saya tidak mau membawa Riris tanpa persetujuan kakek dan nenek yang merawatnya selama ini.”  Astri tersenyum sembari mengembalikan Riris kepada Mbok Jah.  “Besok saya akan ke sini lagi.  Percayalah, saya sama sekali tidak punya niat jahat.  Saya tidak mau ada permusuhan di antara keluarga yang ditinggalkan Agung.  Lagi pula, Jojo sangat mendambakan adik.  Saya tidak mungkin memberinya seorang adik.”
            “Kenapa tidak?  Ibu kan bisa...”
            “Mbok, kenapa tidak memanggil saya Astri saja?”
            “Eh...saya...”
            “Mbok, cobalah menghilangkan semua kepahitan ini.  Saya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.  Kesombongan saya, penolakan saya atas kehadiran Sal, telah membuat semuanya kacau balau.  Saya tidak mau berdosa dua kali.  Saya...”  Astri menatap Mbok Jah dengan sorot memohon.  “Saya ingin memperbaiki kesalahan saya, Mbok.” 
            “Bu...eh, Nak Astri tidak salah apa-apa...”  Mbok Jah betul-betul menangis kini.  Air matanya seperti bendungan bobol.  “Semua ini karena Sal tidak bisa menjaga dirinya baik-baik.  Kami orang tua, tidak pernah mendorong dia agar merebut suami orang.  Semua kakak perempuannya dipinang baik-baik.  Waktu dia bilang dia hamil dengan majikannya, kami sangat terpukul.  Bapak sering bilang, kami ini memang miskin, cuma punya dua hal.  Harga diri dan harga diri.  Sal sudah merusak itu.  Apalagi yang harus kami lakukan?  Abang-abang Sal tidak terima adiknya dibuat rusak, maka menuntut agar dinikahi secara resmi.  Demikian juga bapaknya.  Kalau Sal hamil tanpa suami, mau ditaruh di mana muka keluarga kami, sudah miskin, tidak bermoral lagi.”  Semua kalimat yang sejak dulu ingin dikatakan Mbok Jah pada mantan majikan anaknya itu, keluar bagaikan air bah.  Tak terkendali sama sekali.
            Astri merengkuh bahu perempuan tua itu.  Astri sendiri tidak tahu mengapa dia melakukan ini.  Jika mengingat luka yang ditorehkan Sal dan Agung, rasanya tidak mungkin dia ada di sini, menawarkan diri untuk merawat anak hasil pengkhianatan itu.  Malah menyebut dirinya yang bersalah atas semua kejadian ini.  Astri cuma tahu satu hal, dendam tidak akan menyelesaikan masalah.  Agung sudah pergi.  Lelaki yang menjadi sumber pertikaian ini telah memilih jalannya sendiri.  Lalu untuk apa dia mempertahankan pertikaian ini?  Jojo dan Riris adalah kakak beradik.  Memisahkan mereka karena alasan dendam, tidak akan membuat segala sesuatu berubah baik.  Mungkin Astri masih sakit, belum bisa memaafkan Agung dan Sal.  Tetapi yang membuat luka itu bukanlah Riris.  Bukan keluarga Sal.  Mereka tidak berhak menerima akibat dari sesuatu yang tidak mereka lakukan.
                                                                        ***
            “Kamu sudah gila?  Terbuat dari apa hatimu itu, As?”  Amanda berteriak, dilemparnya koran yang tengah dibacanya ketika Astri menceritakan tentang kehadiran Riris.  “Anak itu anak haram. Dia lahir dari dosa.”
            “Amy...berhentilah berteriak seperti itu. Tidak seorangpun yang tidak berdosa di dunia ini.”
            “Anak itu buta, buta, Astri.  Apa kamu mau jadi malaikat?”
            “Berhentilah bicara kasar, Am.  Riris itu anak tiriku.  Dia tidak pernah memilih dilahirkan dari sebuah perselingkuhan.  Seperti aku tidak pernah memilih untuk lahir dari sebuah cinta yang rapuh.”
            “Iya...”  Amanda menganggukkan kepalanya berkali-kali.  “Itulah yang membuat kamu mengambilnya.  Kamu tidak ingin dia mengalami nasib seperti kamu, kan?  Tetapi kenapa, As?  Kenapa?  Kamu menyakiti dirimu sendiri.  Kamu...”
            “Aku ingin memperbaiki kesalahan Agung.”
            “Agung sudah menyakitimu.  Itu dilakukannya sampai dia pergi, sampai dia...” Amanda membuat gerakan memotong lehernya sendiri.  “Karena dia sudah lari, maka anaknya yang harus menanggung dosa itu.”
            “Apakah dengan melakukan pembalasan itu, aku akan merasa lebih baik?”  Tanya Astri ketus.  “Apakah semua kenangan burukku tentang Agung dan Sal akan berubah menjadi pelangi?  Tidak kan?  Riris cuma seorang bayi mungil.  Dia sakit-sakitan.  Dia memerlukan seorang ibu yang mengerti bagaimana merawat seorang bayi lemah seperti dia.  Kamu tahu, Mbok Jah selalu menjejalinya dengan berbagai ramuan aneh, semua itu membuat Riris menderita diare.  Entahlah, aku rasa, sistem penyerapan tubuhnya kurang bagus.  Bisa saja dia alergi makanan tertentu, Sal tidak pernah menyusuinya.  Kamu tahu, bayi-bayi yang lahir dari ibu yang tidak mau memberikan ASI pada anaknya sendiri, memiliki kekebalan tubuh yang sangat jelek.  Aku rasa...”
            “Astri...”  Amanda menatap sahabatnya dengan mata tidak percaya.  “Kamu bicara seolah-olah kamu sama sekali tidak punya hubungan batin yang jelek dengan kedua orang tua bayi itu.”
            “Memang tidak.”  Astri tertawa melihat muka Amanda yang tampak bingung.  “Maksudku sudah jelas, Am.  Riris tidak wajib diperlakukan buruk karena kesalahan orang tuanya.  Kalau saja orang tuaku dulu tidak menganggap aku sebagai sebab ketidakbahagiaan mereka, maka aku tidak akan begitu menderita dengan segala perlakuan buruk yang kuterima.  Kamu tidak pernah membayangkan, dianggap sebagai beban yang terpaksa harus ditanggung oleh orang lain, dianggap sebagai dosa yang menjijikkan.  Itu sangat...sangat menyakitkan.”
            “Oh, sayang... kamu terlalu berlebihan.  Tidak semua orang berlaku jahat padamu.”
            “Kamu tidak tahu, Am.  Kamu lahir dalam keluarga yang bahagia.  Dibesarkan dalam pernikahan yang sehat.  Aku harus menghadapi pertengkaran sejak aku mulai bisa bicara.  Papa dan Mama tidak pernah berhenti saling menyalahkan, dan akhirnya kesalahan itu dilemparkan padaku.  Aku, yang menyebabkan mereka terpaksa menikah.  Padahal, apa aku salah?  Mereka yang melakukan perbuatan terkutuk itu hingga aku ada.  Kenapa harus aku yang menanggung dosa mereka?”
            “As...”  Amanda memeluk sahabatnya.  Puluhan kali dia mendengar cerita tentang penyesalan Astri dilahirkan sebagai anak yang tidak dikehendaki orang tuanya.  Puluhan kali dia melihat emosi yang sangat kuat yang meledak setiap cerita itu didengarnya.  Dia sudah terbiasa dengan ini semua.  Tetapi keputusan Astri untuk merawat Riris?
            “Riris tidak boleh mengalami nasib seperti aku...Am.  Itu sangat menyakitkan.  Ditolak oleh orang yang seharusnya paling mencintai dirimu.”  Astri melepas tangisnya di pelukan Amanda.  “Sakit sekali rasanya, sangat sakit.”
            Amanda memeluk sahabatnya.  Hanya itu yang bisa dilakukannya.  Astri tidak akan mengubah keputusannya, dia bukan orang yang mudah terpengaruh.
                                                ***
            Semua berjalan lebih lancar dari dugaan Astri.  Mbok Jah dan Pak Saturi setuju memberikan Riris untuk dibesarkan Astri.  Mereka malah sangat berterima kasih.      
            Banyak hal yang membuat mereka merelakan cucu mereka diambil Astri.  Selain karena tahu bahwa Riris akan mendapat pendidikan yang lebih baik jika bersama Astri, mereka juga merasa tak ada gunanya menolak perdamaian yang ditawarkan Astri.  Anak mereka jelas sudah menjadi perempuan kedua dalam pernikahan Astri dan Agung.  Sal bersalah, apalagi dia sekarang pergi tanpa memberi berita dimana dia berada. Sal sengaja menghilangkan jejaknya.
            Satu pertimbangan lagi adalah masalah ekonomi.  Ketujuh kakak Sal memang sudah berumah tangga.  Tetapi itu tidak berarti mereka hidup mapan.  Sewaktu Sal masih ada, sejenak mereka bisa hidup agak enak.  Setidaknya, mereka tidak perlu memikirkan pakaian dan makanan anak-anak mereka.  Sal selalu siap menjadi dermawan yang memanjakan kemenakan-kemenakannya.  Kini Sal sudah pergi.  Keluarga mereka mendapat bagian dua puluh persen dari hasil penjualan rumah Agung dan Sal.  Mereka membagi rata uang itu.  Banyak sekali kebutuhan yang harus mereka selesaikan.  Ada yang menggunakan bagiannya untuk melunasi hutang-hutang.  Ada yang membeli rumah.  Ada yang membeli mobil yang bisa digunakan untuk bekerja.  Setelah itu semua, tidak ada lagi yang tersisa.  Mereka bukan orang pintar yang punya pikiran untuk menabung dan menggunakan bunga tabungan itu untuk membantu kebutuhan sehari-hari.  Uang yang menjadi bagian mereka telah habis.
            Setelah hampir dua tahun menikmati kehidupan agak enak, sekarang mereka semua harus kembali kerja keras.  Pak Saturi yang sejak Sal bekerja dan menjalin hubungan dengan Agung, telah berhenti menarik becak, kini terpaksa mulai menjalankan pekerjaannya lagi. Mbok Jah kembali menggelar meja kayu di depan rumahnya, berjualan sayur dan bumbu-bumbu dapur.  Satu per satu barang-barang mahal yang diberikan Agung mereka jual untuk menutup biaya hidup.  Kini, di rumah yang cukup besar itu, tinggal seperangkat kursi plastik yang tidak begitu laku bila dibawa ke pasar loak.  Tempat tidur besar yang dibeli Agung dengan harga dua juta rupiah, telah dijual pada seorang tetangga dengan harga tujuh ratus ribu.  Demikian juga lemari-lemari besar, termasuk pakaian-pakaian Sal yang masih ada.  Rumah besar itu terasa kosong.  Setiap kali Mbok Jah bicara agak keras, seolah ada gema yang mengembalikan suaranya.  Kalau saja sertifikat rumah ini dipegang Mbok Jah dan Pak Saturi, maka sudah pasti mereka menjual rumah ini, lalu kembali pindah ke rumah mereka di perkampungan kumuh.
            Satu hal yang membuat Pak Saturi heran, adalah perasaannya yang jadi lebih enak.         Satu hari, sambil duduk di lantai dan menikmati segelas kopi tubruk yang masih panas, dia berbincang-bincang dengan istrinya.  Mbok Jah tengah mencari kutu di kepala salah satu cucunya.
            “Mak, lihat rumah ini, sekarang kan jadi seperti lapangan.  Kosong melompong.” 
            “Iya, habis sudah semua barang yang diberikan Nak Agung pada Sal dulu.  Kemarin si Aisah membawa dua potong kemeja Agung yang terakhir.  Katanya mau dijual pada Bu Rusdi.  Bapak tahu, tunggakan uang sekolah si Nuri dan Pita sudah tiga bulan.  Uang yang diberikan Nak Astri dulu, habis dipakainya untuk melunasi hutang pada abang kredit.”
            “Tapi...”  Pak Saturi menghirup kopi di gelasnya.  Lalu berdecak nikmat.  “Rasanya perasaan ini kok jadi lega ya...lebih nyaman begitu, Mak.”
            “Bapak ini ngomong apa?  Anak kita tak tahu ada di mana, Bapak kok bisa merasa lebih nyaman?”
            “Bukan itu maksudku.  Aku merasa jadi lega sekarang ini.  Dulu waktu Sal masih jadi istri Nak Agung, memang kita serba kecukupan.  Mau beli apa saja bisa.  Tapi rasanya hatiku seperti ada yang tidak enak.  Rasanya gelisah, bersalah begitu, Mak.”
            “Oh, kalau itu memang betul Pak.  Sejak Sal hamil dan menikah dengan Nak Agung, Mak selalu merasa bersalah.  Rasanya gagal jadi orang tua, tidak bisa mendidik anak.  Sal itu cantik.  Mestinya dia bisa dapat lelaki yang baik, yang belum punya istri dan anak.”
            “Ah sudahlah, Mak.  Semua sudah terjadi.”  Pak Saturi kembali menghirup kopinya.  “Bagaimana kabar Riris ya?”
***
            Riris baik-baik saja di rumah Astri.  Jojo begitu senang dengan kehadiran seorang bayi di rumah mereka.  Usianya sudah tiga tahun lebih sedikit.  Bulan lalu Adi, teman bermainnya di rumah, mendapat seorang adik.  Sejak itu dia selalu bertanya kapan dia punya adik.
            Ketika Astri pulang dan membawa seorang bayi dalam gendongannya, Jojo melonjak-lonjak ingin melihat adik kecil mungil itu.  Begitu melihat wajah Riris yang mungil dan cantik, Jojo segera menyayanginya.
            “Jojo, ini adik Jojo.  Namanya Marissa.  Panggilannya Riris.”
            “Hole...hole...Jojo punya adik...hole...becok Jojo celita cama teman-teman Jojo.  Becok Jojo celita cama mama Amy!”  Setelah reda dari kegembiraannya, barulah Jojo mulai bertanya banyak hal tentang adik kecilnya.
            “Mama, mamanya Adi waktu mau punya adik, itu pelutnya jadi gede.  Abis itu dibawa ke pak dotel.  Telus adiknya kelual.  Tapi adiknya masih kecil.  Lambutnya nggak ada.  Ini...kok pelut mama tidak becal kok Jojo punya adik.  Adik ini dali mana?”
            Astri tergelak mendengar pertanyaan Jojo.  Dikacaukannya rambut Jojo dengan penuh sayang.  Dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semua yang terjadi pada Jojo.  Dihelanya nafas panjang.  Sembari memeluk Jojo, dia mulai bercerita.
            “Adik Riris ini betul-betul adik Jojo.  Tapi bukan perut mama yang besar.  Perut Mbak Sal, yang jadi besar.  Adik Jojo ini keluar dari perutnya Mbak Sal.”
            “Lho....kalau begitu kan ini bukan adik Jojo.  Adik Jojo halus kelual dali pelut Mama.”
            “Mbak Sal itu juga mamanya Jojo.”
            “Kok mamanya dua?  Itu nggak bica.”
            “Jo...nenek Adi juga ada dua kan?”
            “Iya ya...Nenek Adi ada dua.  Nenek  Jojo malah ada empat.  Iya...”  Jojo manggut-manggut seperti lagak seorang dewasa.  Astri jadi tertawa geli melihatnya.  Nenek Jojo memang ada empat.  Satu dari Agung, tiga dari Astri.  Astri memperkenalkan ketiga tante yang merawatnya secara bergantian kepada Jojo, mengakuinya sebagai ibu kandungnya.  Astri malah tidak mau mengajak Jojo ke rumah ibu kandungnya di Solo.  Entahlah, Astri selalu merasa sakit setiap kali mengingat masa kecilnya.
            Riris menempati kamar yang sebenarnya disediakan untuk ruang belajar Jojo.  Astri menatanya dengan dominasi warna merah muda.  Boks yang dulu dipakai Jojo, dicat ulang dengan warna orange muda, lalu dipasang di kamar itu.  Beberapa boneka diletakkannya di sekitar tempat tidur Riris.  Setiap kali melihat boneka-boneka itu, hatinya terasa pedih.  Riris tidak akan pernah tahu betapa putihnya warna boneka kelinci yang diberi nama Buni oleh Jojo, dia hanya bisa merasakan kelembutan boneka-boneka itu.  Bagi Riris dunia adalah kegelapan.  Astri tidak tahu, apakah satu saat Riris bisa melihat warna-warna indah yang ada di dunia ini.  Apakah selamanya anak itu akan merasakan kegelapan tak bertepi? 
            Terkadang, setelah menidurkan Riris dan menatap bayi mungil itu terlelap di boksnya, Astri meneteskan air mata.  Kalau saja Riris lahir dari pernikahan yang bukan sebuah perselingkuhan, kalau saja ayah dan ibunya melakukan segala perbuatan yang mendatangkan Riris ke dunia ini, setelah mereka masuk dalam sebuah pernikahan yang sah menurut hukum dan agama, apakah Riris tetap akan lahir sebagai seorang buta?  Apakah betul yang dikatakan Agung, bahwa Riris buta karena dosa-dosa ibunya?  Kalau memang seperti itu kejadiannya, alangkah tidak adilnya kehidupan ini bagi Riris.  Astri menyayangi Jojo dan Riris.  Dia sendiri bahkan tidak bisa membedakan kenyataan bahwa Jojo adalah anak kandungnya, sedangkan Riris lahir dari rahim seorang wanita yang telah memporakporandakan kehidupannya.  Seringkali Astri berpikir, bahwa masa kecilnya yang sulit telah membuatnya jadi seorang ibu yang peka terhadap anak-anak.  Dia tidak ingin masa kecilnya yang pahit dialami oleh anak lain.  Terutama oleh Riris.
                                                            ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar