Rabu, 03 Juli 2013

KAMILLA EMPAT : PULANG!!!

Hampir seminggu Mila hidup di jalanan.  Di pagi buta dia menenggelamkan wajahnya di balik topi bercaping lebar dan mengikuti langkah-langkah Pakde Marno mengais tempat sampah di tiap rumah dan toko, mencari sesuatu yang masih bisa dikumpulkan dan dijual ke pengepul barang bekas langganan Pakde Marno.  Ketika fajar menyingsing, dia cepat-cepat antri di kamar mandi umum di terminal dekat tempat Pakde Marno biasa tidur di malam hari.  Sesudah itu menyantap nasi bungkus dengan lauk seadanya.  Yang penting kenyang, seperti kata Pakde Marno dan Bude Tarmi.  Di siang hari dia duduk di alun-alun kota di bawah keteduhan pohon beringin sembari memandang lalu lalang orang lewat. 
Wajahnya dibiarkan coreng moreng dan tampak lusuh, kata Pakde Marno biar tidak ada lelaki jalang yang mengganggunya.
Strategi itu tampaknya berhasil baik, namun pada hari keenam  Mila harus berpikir ulang untuk terus tinggal di jalanan.
Mila sedang duduk tenang sembari membaca koran bekas di salah satu bangku alun-alun kota ketika tiba-tiba dua orang pemuda yang tak dikenalnya mendekat.
"Mbak...sendiri aja ini..."
Mila diam saja tidak menjawab, berharap kedua orang itu berlalu.  Tetapi mereka malah duduk mengapitnya dan berusaha mencoleknya.  Mila ingin berdiri namun kakinya ditahan oleh kaki salah satu dari dua pemuda itu.
"Mau kemana...sudah hamil begitu kok masih jual mahal...gapapa...kami sabar kok nunggu sampai bayimu lahir dulu."
Mila merasa dadanya sesak.  Pada saat yang genting itu Pakde Marno muncul menenteng bungkusan berisi nasi  bungkus untuk makan siang mereka.
"Heh!  Pergi! Jangan ganggu anakku!"
"Anak? Hahahaha....jadi yang di dalam perutnya ini anakmu? Hahahaha...."
"Mbak... daripada sama lelaki tua bangkotan ini, lebih baik sama kita...kita lebih baik dan lebih kuat kok!"
Mila ingin menangis tetapi tenggorokannya terasa sangat kering dan tiba-tiba, spontan tangannya melayang menampar kedua pemuda itu bergantian.  Tidak cukup keras dan malah membuat amarah keduanya meledak.  Keduanya memegang tangan Mila dan memaksanya untuk diam.  Pakde Marno melempar bawaannya dan mendekat.
"Lepaskan dia...atau..."
"Atau apa? Kamu bisa apa bandot tua?"
"Tolong!"  Mila berteriak sekuat tenaganya.  Beberapa orang melihat ke arah mereka namun bukannya menolong mereka malah bergegas pergi dan bertindak seolah tidak melihat apa-apa.  Mereka merasa cukup bijak untuk tidak mencampuri urusan orang-orang jalanan yang  bertikai, begitu pikir mereka.  Orang jalanan punya dunia sendiri dan tidak seharusnya orang baik-baik berurusan dengan mereka.
"Tolong!"  Air mata mengalir di pipi Mila sementara Pakde Marno hanya bisa memegang dadanya yang terasa sakit menusuk melihat Mila seperti kelinci yang siap dimangsa.
"Heh!  Jangan berpikir macam-macam ya!  Biar kami buas tapi kami masih punya hati.  Kami akan sabar menunggu untuk memangsamu sampai bayi sialan di perutmu itu lahir!"
"Tapi ingat! Jangan coba melarikan diri!  Karena kemanapun kamu pergi, kami pasti bisa menemukanmu.  Seorang perempuan secantik kamu bisa laku keras jika dijual, dan kamilah yang berhak menjualmu!"  Setelah mencubit dagu Kamila dengan gemas, kedua lelaki muda itu meninggalkannya.
"Sudah Mila...Bude Tarmi benar...dia selalu benar...kamu harus pulang Mila...kamu harus pulang...tempatmu bukan di jalanan ini...bukan nDuk..bukan!"  Tangan kanan Pakde Marno masih memegang dadanya yang terasa sakit sembari tangan kirinya menarik tangan Kamila.  "Pulang nDuk...pulangggg...."

Semburat jingga matahari merona langit ketika Kamila memutuskan untuk pulang.  Pelukan hangat Pakde Marno seolah enggan melepas kepergiannya.  Ketika akhirnya lelaki tua itu mengecup puncak kepalanya, Kamila tak bisa menahan air matanya untuk luruh.
"Pakde..Mila janji nanti kalo Mila sudah melahirkan, dan anak ini cukup besar, Mila akan membawanya menemui Pakde. Mila akan perkenalkan dia pada Pakde dan Bude Tarmi."
"Iya nDuk...sudahlah...yang penting kamu segera pulang dan segera minta maaf pada keluargamu.  Pakde yakin, semua akan baik-baik saja."
Mila meraih tangan Pakde Marno dan menciumnya sepenuh perasaan, tanda hormat seorang anak kepada ayahandanya.  "Mila pamit, Pakde."


Ketika kakinya menapak jalan berbatu kerikil hitam itu, berbagai rasa berkecamuk dalam dada Mila. Dia tak yakin Papa akan mengampuninya.  Apalagi menerimanya kembali.  Dia tahu betapa kerasnya lelaki yang telah bersusah payah membesarkannya itu.  Tetapi dia tetap menapak jalan itu, pelahan namun pasti.
Pintu lebar dan kokoh berpelitur coklat gelap itu tampak seolah menunggunya, sekaligus menghalaunya.  Entahlah, Mila tak tahu rasa apa yang tengah bergelora di dalam dadanya,  Ketika akhirnya tangannya terangkat akan mengetuk daun pintu itu, Mila terperangah karena tiba-tiba saja pintu itu terbuka dan sosok Papa berdiri tegak di hadapannya, masih dengan tangan kanan terbalut perban.
"Akhirnya kamu pulang Mila."  Sejenak kemudian Mila sudah tenggelam dalam pelukan ayahnya.  Kerinduan yang menggelora itu seolah menemukan dermaganya.  Erat dipeluknya Papa, membiarkan air matanya membasahi kemeja lelaki terkasih itu.

"Maafkan Papa, Mila.  Papa sudah terbawa emosi.  Papa tidak bisa berpikir jernih."
"Mila salah pa...Mila udah kecewain papa dan mama dan adek-adek."
"Sudahlah, semua sudah terjadi."

Semua orang tua yang sudah membesarkan anaknya, yang melihat bagaimana anak itu bertumbuh dan menyita seluruh perhatiannya, tidak akan pernah kehabisan mata air maaf dan ampunan.  Hati seluas samudra selalu menenggelamkan anak-anak mereka dalam kasih sayang yang tulus.  Kesalahan apapun yang diperbuat sang anak, tidak akan pernah bisa mengeringkan samudra itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar