Semburat merah keemasan
menyemarak di langit, awan-awan tampak gemerlap bak permaisuri yang
mempersiapkan kedatangan junjungannya. Angin sepoi membisikkan hawa dingin
mencumbu pucuk-pucuk pinus yang mengangguk seolah enggan menanggapi.
Kamilla merapatkan kedua
tangannya menutupi dada, mencoba mengusir hawa dingin yang mencoba menusuknya
pelahan. Sepasang matanya yang berwarna
coklat bening berkaca-kaca. Bening
telaga kaca itu akhirnya luruh menjadi sebutir permata yang menggantung di
pelupuk matanya. Kasar Kamilla
mengusapnya.
“Ya sudah kalo itu mau Mas, aku
gag bisa maksa?” Sergahnya dengan suara
sengau. Sekuat tenaga ditahannya air
mata yang sudah mendesak ingin keluar.
Sembari menengadah dia tertawa kecil.
“Aku tahu akhirnya akan begini juga….”
“Milla sayang…” Joko melingkarkan tangannya pada pinggang Kamilla, tetapi wanita itu menepisnya kasar. Lalu bergerak menjauh, seolah Joko menebarkan hawa panas yang melukainya. “Milla sayanggg…” keluh Joko tertahan. Tetapi wanita itu tak peduli lagi. Dia melangkah menjauh dan duduk di tembok pembatas beranda dengan halaman depan. Kaki jenjangnya disilangkan dan sambil bersidekap Kamilla mulai berbicara dengan nada datar.
“Tidak ada yang perlu
dijelaskan. Sejak awal aku sudah tahu
bahwa beginilah akhirnya cinta yang kupuja dan kusanjung.” Kamilla menggigit bibir bawahnya
kuat-kuat. “Semua suami pernah
selingkuh, tetapi akhirnya dia akan kembali pada istrinya.”
“Tidak sayang…aku tidak kembali
pada Diah, aku hanya menjaga agar dia tidak melukai dirinya dan anak-anak. Itu saja, meski kita harus menjaga jarak
beberapa lama, tetapi percayalah, cinta dan hati Mas tetap milikmu.”
Kamilla mendengar suaranya
sendiri tertawa sumbang. Betapa basi
kalimat yang baru saja diucapkan lelaki itu.
Lelaki yang hampir enam belas bulan ini mengisi hari-harinya dengan
kebahagiaan, dan sekarang mengakhirinya dengan luka yang sangat dalam. “Basi tahu!”
Joko duduk di salah satu kursi
beranda. Kegelapan mulai menyelimuti
villa putih yang dihadiahkannya pada Kamilla delapan bulan yang lalu, sebagai
bukti cintanya pada wanita berkulit kuning langsat dan bermata bagai telaga
dalam itu.
“Ini bukan pertama kali kamu
hadapi hal seperti ini kan? Kamu pasti
bisa kan?”
Kamilla merasa sesuatu
mencengkeram lehernya, memaksanya untuk tidak bernapas. Matanya yang selalu teduh itu kini membara
ketika menatap Joko tajam. “Maksud Mas?”
“Aku toh bukan lelaki beristri
pertama yang menjadikanmu kekasih.” Joko
menyalakan rokoknya dan mengisap batang tembakau itu kuat-kuat. Sembari tersenyum pahit dia menatap sosok
jelita Kamilla yang tampak semakin mempesona dalam balutan sackdress violet
yang berbaur dengan malam yang mulai tiba.
Betapa dia mencintai wanita ini, wanita yang memberinya kebahagiaan luar
dalam tetapi tak bisa dimilikinya.
“Oh, jadi begitu?” Sekarang Kamilla benar-benar menangis. Dibiarkannya Joko merengkuhnya dan
menenggelamkan tubuh semampainya dalam pelukannya, memeluk sosok itu kuat-kuat
seolah tak ingin melepasnya lagi.
“Aku tidak meninggalkanmu, Milla
sayang…tidak akan pernah. Aku hanya minta sedikit waktu, menghilanglah
dari kehidupanku untuk beberapa saat, hingga Diah yakin bahwa dia bisa
mempercayaiku. Itu saja,
sayang….please….” Joko mengecup puncak
kepala Kamilla dengan sayang. “Kamu tahu
posisiku kan… semua kekayaan itu milik keluarga Diah, dan jika terjadi sesuatu
dengan pernikahan kami, maka Diah dan keluarganya akan melempar aku ke jalan
seperti melempar seekor anjing kurap.”
“Mas tidak usah bekerja…aku bisa
bekerja untuk kita, kita mulai semua dari awal.”
Joko menggeleng pelahan, seiring
dengan berontaknya Kamilla dari pelukannya.
Ketika Kamilla menatap mata kekasihnya, seketika itu juga dia tahu,
semua sudah berakhir.
###
Wanita yang masih tampak jelita
di awal tiga puluh lima itu memandang keluar jendela kereta senja yang melaju
cepat menuju stasiun Pasar Turi. Telaga
bening di sepasang bola matanya masih berlumur air mata. Puncak hidungnya yang bangir memerah,
wajahnya pucat pasi tanpa polesan make up apapun. Rambut panjangnya yang biasanya tergerai indah,
kini hanya diikat seadanya dengan karet gelang, tampak awut-awutan. Tetapi kesemuanya itu tidak mengurangi
kecantikannya yang alami.
Dicobanya untuk menutup mata
rapat, tetapi bayangan seluruh kejadian beberapa hari terakhir ini malah
membuatnya kembali menangis. Kasar dia
mengeluarkan saputangan dari saku jaketnya, dan mengusap air matanya
kuat-kuat. Tetapi semakin dihapus, air
matanya semakin kuat mendesak keluar.
Akhirnya dia memejamkan mata, membiarkan air matanya mengalir pelahan.
Malam sesudah Joko mengungkapkan
permohonan agar Kamilla menghilang dari kehidupannya sementara waktu, Kamilla
memaksa untuk pulang ke Jakarta. Ketika
lelaki yang hampir enam belas bulan lamanya lebih suka menghabiskan malamnya di
apartemen Kamilla itu mohon diri untuk pulang, Kamilla sekaligus menutup pintu
hatinya rapat-rapat. Sekuat apa pun Joko
berusaha, dia tidak mempunyai jalan masuk lagi ke hati Kamilla.
Malam itu Kamilla menangis tanpa
henti, seluruh kisah cintanya dengan Joko seperti sebuah film berdurasi enam
jam yang diputar dalam benaknya, semua tak terlewatkan, satu pun. Hingga akhirnya tatkala jam berdentang empat
kali, barulah dia jatuh tertidur. Itu
pun hanya sejenak. Ketika terbangun
karena sentuhan hangat cahaya mentari yang mengusap pipinya dari sela-sela
tirai, ingatan akan Joko membuatnya kembali menangis. Sembari duduk di pembaringan memeluk
lututnya, Kamilla kembali menyesali semua jalan yang telah ditempuhnya bersama
Joko.
Benar yang dikatakan Joko, lelaki
itu bukanlah lelaki beristri pertama yang menjadi kekasih Kamilla. Sebelum dekat dengan Joko, Kamilla pernah
menjalin kedekatan dengan Anang dan Lukman.
Tetapi mereka berdua seratus persen berbeda dengan Joko. Joko begitu menghargai Kamilla sebagai
seorang wanita terhormat. Kamilla ingat,
perlu waktu hampir empat bulan sebelum Joko mengajaknya menghabiskan malam
bersama di apartemennya, berbeda dengan lelaki-lelaki yang sebelumnya hadir
dalam hidupnya. Joko juga begitu
memujanya, menganggapnya wanita yang paling cantik dan paling berharga di dalam
kehidupannya. Semua itu membuat Kamilla
tersanjung.
Belum lagi janji yang diucapkan
lelaki itu, jika terjadi sesuatu dan istrinya sampai mengetahui hubungan
mereka, dengan tanpa ragu Joko berkata
akan menceraikan istrinya dan menikahi Kamilla. Janji yang begitu indah dan manis dan
melenakan Kamilla, janji yang tidak pernah diucapkan Anang dan Lukman. Semua itu membuai Kamilla dan melambungkannya
ke tempat tertinggi di atas awan-awan angannya.
Lalu badai mengguncang dunia
kecil mereka. Satu saat ketika mereka
tengah menghabiskan malam bersama, tengah malam ponsel Joko berdering beberapa
kali. Mungkin karena terlalu capek atau
masih setengah terlelap, Kamilla menerima panggilan itu dan menjawab dengan
sepatah kata ‘’ya…’ tetapi tentu saja dia tak bisa menyembunyikan suaranya yang
renyah manja khas seorang wanita.
Seketika itu juga Kamilla dipaksa terjaga sepenuhnya ketika suara di
seberang membentaknya dan memakinya sebagai perempuan jalang.
Malam itu juga Joko bergegas
pulang, dan selama seminggu penuh dia sama sekali tak bisa dihubungi,
membiarkan Kamilla tenggelam dalam telaga air mata. Pada hari kedelapan, Joko muncul di apartemen
Kamilla. Membuat Kamilla terkejut ketika pulang kerja dan membuka pintu
apartemen, sepasang lengan kokoh memeluknya dari belakang dan menenggelamkannya
dalam pelukan yang nyaman dan aman.
“Mas…kupikir Mas pergi dari
hidupku…” Isaknya tertahan di dada bidang itu.
Ketika Kamilla menengadah dan memandang raut wajah kekasihnya, menatap
bola matanya yang hitam kelam, Kamila kehilangan segala kesedihan dan
dukacitanya selama seminggu terakhir, menguap entah kemana. Seribu janji yang
diucapkan Joko membuatnya melambung kembali.
Hingga senja ketika lelaki itu mengucapkan sebuah permohonan, tepat dua
puluh hari setelah dia kembali dalam hari-hari Kamilla.
“Buktikan cintamu padaku Kamilla,
dewi kekasih pujaan hatiku, jantung hatiku selamanya…”
“Dengan apa harus kubuktikan
cintaku, Mas?” Bagi Kamilla, dirinya
sudah dipersembahkannya total untuk lelaki itu. Setiap jengkal dirinya, hatinya
dan hidupnya, adalah milik lelaki itu.
“Menghilanglah dari hidupku,
sementara saja. Sekitar enam bulan…berikan aku waktu untuk membuktikan pada
Diah dan keluarganya bahwa aku lelaki yang setia.”
Bibir Kamilla bergetar…lalu air
matanya mulai luruh. Joko
menenggelamkannya dalam pelukan dan Kamila merasakan jantung lelaki itu
berdebar keras.
“Cintaku..sayangku…jangan menangis…kamu melukai Mas jika kamu juga
terluka. Jangan biarkan aku terjebak
dalam dua pilihan sulit seperti ini, kekasihku.”
Kamilla mencintai Joko, apa
adanya pria itu. Dia tidak pernah
menuntut apa-apa. Meski Joko tak pernah berkeberatan melimpahinya dengan
materi, tetapi Kamilla tidak pernah meminta apapun. Dia hanya ingin dicinta, diperhatikan dan
diterima apa adanya dirinya.
Ketika ulang tahunnya yang ketiga
puluh lima Joko memberinya kunci plus
sertifikat kepemilikan sebuah villa di Puncak, dia sudah berusaha menolak,
tetapi dengan segala bujukan, akhirnya Kamilla menerima pemberian itu.
Kamilla membesut hidungnya dengan
kasar. Menatap pepohonan dan tiang-tiang
listrik yang seolah bergerak cepat di luar sana. Sejenak pikirannya membeku, air matanya
berhenti. Satu saat di dalam episode
kehidupannya tiba-tiba muncul.
“Mas…bolehkah aku meminta sesuatu
yang mustahil?”
“Mintalah apa saja dewiku, aku
akan berusaha melakukannya untukmu”
“Nikahilah aku…jadilah ayah dari
anak-anakku”
Waktu itu mereka tengah duduk di
sebuah bangku batu di tepi telaga Sarangan.
Menatap keteduhan telaga menjelang senja yang mulai temaram. Ketika
mendengar kekasihnya menghela napas, Kamilla berpaling. Saat itulah didapatinya sepasang mata
kekasihnya berkilat sejenak, untuk kemudian meredup lagi ketika mengecup
ubun-ubun Kamila.
“Gak mau ya?”
Joko hanya menggenggam jemari
Kamila erat, mempermainkannya dalam genggaman tangannya. “Kenapa selalu itu yang kautanyakan? Tak cukupkah cintaku untukmu? Waktuku,
hatiku, dan setiap detikku yang memikirkanmu?”
“Bahagianya Diah bisa menyandang
namamu di belakang namanya, menjadi ibu anak-anakmu, menemanimu kemana saja
sebagai istrimu yang sah.”
“Seharusnya kau lebih bahagia,
hanya sedikit waktuku yang ada untuk Diah.
Diah harus sms dulu jika dia ingin menelponku. Dan dia tidak memiliki rinduku yang membara
yang hanya menjadi milikmu.” Keluh Joko
sembari menghela napas panjang.
Waktu itu Kamila mengiyakan dan
merasa betapa egoisnya dirinya karena meminta sesuatu yang begitu mustahil dan
membuatnya merasa sangat jahat.
Sekarang, baru sekarang dia menyadari.
Dari dulu Joko tidak pernah menginginkannya menjadi istri dan ibu
anak-anaknya. Baginya Kamila hanya
seorang perempuan untuk diselingkuhi dan dibujuk dengan sejuta kata cinta.
Tiba-tiba saja Kamila melihat
bayangan dirinya sendiri. Seorang wanita
rapuh yang diperbudak oleh perasaan.
Teringat Galih, lelaki pertama yang menghancurkan hatinya, lalu beberapa
lelaki yang datang hanya untuk pergi. Terakhir, bayangan Joko menyeruak masuk. Darahnya menggelegak ketika sebuah pikiran
menggedor sanubarinya.
“Aku perempuan jalang…tak seorang
pun mau menikahiku dan menjadikanku ibu anak-anaknya. Mereka hanya mau tubuhku…tidak lebih…Kamilla
Larasati…kamu tak lebih dari seorang pelacur! Bahkan lebih hina daripada
pelacur, pelacur memberikan tubuh dan cintanya untuk menyambung hidup, tetapi
kamu….hanya untuk mendapat rayuan kosong dan basi!” Suara itu seperti kaleng yang dipukul
keras-keras di telinga Kamilla, membuat kepalanya serasa mau meledak, semburat
ke segala arah.
“Mbak…mbak baik-baik saja
kan?” Suara lembut itu menyadarkan
Kamilla bahwa dia telah tenggelam dalam sedu-sedannya. Dari balik bulu matanya yang laksana tirai
tergantung, dia menatap seraut wajah yang tengah menatapnya dengan sorot
kuatir. “Mbak baik aja kan?”
Kamilla menghapus air matanya
dengan kasar. “Aku baik saja Dek. Maaf…mengagetkanmu ya?”
“Enggak…” Lelaki muda berusia
awal dua puluh itu menggeleng kuat.
Senyum manisnya mengembang sempurna ketika menatap Kamilla. “Cuman kuatir aja, dari tadi mbak suntuk
banget….nangis mulu…”
Kamilla tersenyum pahit. Sedikit tergelitik dengan bahasa gaul yang
dilontarkan anak muda itu. Tetapi
sedikit marah juga karena menyadari kebodohannya, menangis di dalam kereta yang
melaju kencang, sungguh tindakan tolol, bodoh, rapuh….dan aneh!
“Bilang saja aku aneh Dek.”
“Enggak kok…serius enggak.” Temaram cahaya dalam kereta membiaskan seraut
wajah tirus dengan sorot mata lembut.
Memandang sorot mata itu, tiba-tiba saja Kamilla merasa sangat bodoh dan
tolol. Pipinya memanas ketika dia
memalingkan wajah ke jendela kereta.
“Aku gak apa-apa kok Dek.”
“Iya…syukurlah kalo Mbak
baek-baek aja. Kenalin, aku Revan.” Kamilla tersenyum ketika membalas jabat
tangan pemuda itu.
“Aku Milla.”
“Mau ke Surabaya, Mbak?”
“Enggak, aku ke Malang, dari
Surabaya naik bus ke Malang, kehabisan tiket. Pulang kampung. Emang kamu mau ke Surabaya?”
“Enggak, Kediri. cuman turun di
Surabaya sih. Mau pulang kampung juga, kampung ayah, mau jenguk kakek yang lagi
sakit.”
“Owh.” Kamilla melipat tangannya ke depan dada. Mulai merasa nyaman dengan percakapannya
dengan pemuda belia yang duduk di hadapannya.
Sekilas dia teringat Bagas, adik bungsunya. Mungkin usianya tak jauh berbeda dengan Revan. Kerinduan menyesak dalam dadanya lagi, pada
saat-saat belianya dulu. Dalam hitungan
detik dia seolah melihat bayangan keluarganya, di detik lain bayangan itu luruh
tanpa sisa. Setetes air mata kembali
menggantung di pelupuk matanya. Hidupnya
sudah hancur sejak dia menyerahkan kehormatannya pada Galih.
“Mbak…mbakkkkk…” Revan menepuk lutut Kamilla. “Mbak yakin mbak gak papa?”
“Aku baik aja, Dek.” Kamilla tertawa sumbang. “See…I’m fine!”
“Gag ngerti bahasa
inggeris!” Revan nyengir lebar. “Say it in indonesian, please…we have to love
our language” Revan tertawa keras ketika melihat Kamilla ikut tersenyum
lebar. “Gitu dong mbak…senyumnya
lepas…tawanya manis…seneng liatnya!”
“Ah dasar anak muda…bisanya
meledek doang!”
“Anak muda? Emang mbak gag
muda? Masih tujuh belas kaleeee….”
“Huzz….enak aja…”
“Lha emang iya…masih muda gitu
kok bilang aku anak muda? Protes
nihh…protessss…”
“Emang berapa umurmu?”
“Kalo mbak berapa?”
“Tiga lima” Kamilla menahan senyumnya melihat reaksi Revan.
Revan nyaris melotot mendengar
itu. “Tiga lima? Enggak salah?”
“Salah?” Kamilla tersenyum pahit. “Kamu pikir sudah lima puluh ya?”
“Serius? Enggaklah…..aku pikir mbak paling banyak baru
25.”
Sekarang Kamila benar-benar
tertawa geli. “Dua lima? Ya
ampun….dilihat dari Hongkong apa?”
Revan tersenyum manis. “Trus mbak ketawanya…seneng banget liat mbak
ketawa begitu lepas…”
Kamilla tercengang melihat sorot
mata Revan yang tampak begitu bersemangat.
“Eh…kamu kenapa Dek?”
“Aku?” Revan mengedikkan bahunya. “Emang aku kenapa? Ga pa pa kok….seneng aja
liat mbak bisa ketawa gitu, tapi sekaligus sedih juga….”
“Seneng sekaligus sedih?” Kamilla tersenyum tipis. “Apaan tuh maksudnya? Gag Jelas ah!”
“Seneng banget liat mbak bisa
tertawa seperti ini, setelah berjam-jam melihat mbak begitu sedih dan nangis
mulu, sejak kereta mulai keluar dari Jakarta tuh mbak…” Revan menghela napas panjang.
“Trus sedihnya napa?”
“Ya sedih banget…karena ternyata
beda usia kita jauh banget! Aku berondong banget ya dibandingkan mbak, aku
masih 20 mbak…”
“Owh…” Kamilla tersenyum, lagi. “Harusnya kamu panggil aku Ibu, atw
Tante. Tapi pliz jangan panggil aku
Tante…aku ga suka dipanggil begitu!”
Kamilla membuka sebungkus silverqueen yang sedari tadi ada di
pangkuannya. Mengulurkannya pada Revan “Mau?
Penawar rasa sedih yang manjur”
“Enggak, makasih.” Revan menggeleng pelan. Keceriaan yang tadi bersinar di raut wajahnya
mendadak hilang. “Kenapa sih aku muda
banget dibandingkan Mbak?”
“Loh emang jadi masalah?”
“Enggak juga sih…” Revan menatap Kamilla dengan sorot asing,
sorot yang pernah dilihat Kamilla berpendar di mata beberapa lelaki yang
menatapnya. “Tapiii…..jadi susah dong
buat meraih hati Mbak.”
“Huzzz…” Kamila hampir tersedak potongan kacang mede
dalam silverqueen yang tengah dinikmatinya.
“Ngomong apaan sih? Baru aja
kenal..udah ngomong soal hati…aneh!”
“Apanya yang aneh Mbak? Aku tuh selalu percaya pada ‘first sight
love’ dan bahwa cinta pada pandangan pertama itu sebenernya adalah cinta yang
paling murni.”
“Udah ah….aneh-aneh aja!”
“Mbak…aku udah perhatikan mbak
sejak kita pertama kali berangkat dari Senen.
Aku udah perhatikan Mbak sekian lama.
Kesedihan Mbak, air mata Mbak…aku gag tau alasannya kenapa, tetapi satu
hal yang aku tahu, aku pengen menghapuskan kesedihan dan air mata itu dari
hidup Mbak, aku pengen buat Mbak bahagia selamanya!”
Kamilla tergelak. “Dek…emang cinta segampang itu? Semudah itu
bilang cinta?”
“Mbak….terserah dah mbak mau
bilang bagaimana, yang jelas itulah perasaanku saat ini pada Mbak.”
Kamilla menghela napas
panjang. Banyak lelaki datang dalam
hidupnya membawa sejuta kata cinta.
Namun demi Hades, tidak ada yang mengucapkannya pada saat kondisinya
seperti ini. Sebut saja Galih, lelaki
pertama yang memporakporandakan hidupnya, mengucapkan ‘aku sayang kamu’ setelah
mereka saling mengenal hampir enam bulan, di suatu pagi yang dingin di bawah
rimbunnya akasia di halaman sekolah mereka yang teduh. Kamilla ingat saat itu Galih memainkan ujung
rambutnya dan menatap matanya sambil berkata betapa cantiknya Kamilla jika
tersipu malu.
Lukman, satu episode kelabu dalam
hidupnya, membutuhkan waktu seminggu sebelum meraih tangannya dan mengucapkan
kata cinta, di tengah temaram cahaya lilin di sebuah garden restorant. Kamilla ingat dia berdandan hampir tiga jam hanya
untuk tampil sempurna dalam gala dinner bersama lelaki yang akan membeli polis
darinya itu.
Revan? Kamilla menggigit bibir bawahnya, menahan
senyum yang dikulum. “Emang kamu masih
berondong banget dan rasanya…logikanya lagi jalan di tempat ya Dek?”
“Maksudnya?”
“Maksudku….ya ampun Dek…lihatlah
kondisiku sekarang ini. Mata sembab,
hidung merah, wajah mengkilap, rambut berantakan…gag ada cantiknya sama
sekali. Satu lagi, kita baru saja kenal,
kamu menyapaku belum ada sepuluh menit.
Cinta? Astaga…anak muda memang
suka aneh-aneh!”
Revan terdiam. Disandarkannya tubuhnya ke kursi kereta. Kesedihan dan kekecewaan tampak membayang di
sepasang matanya yang coklat bening.
Tetapi tak sepatah kata pun diucapkannya. Dia hanya memandang Kamilla, diam.
Kamilla melempar pandangannya ke
luar jendela. Pada tiang listrik dan
pepohonan yang seolah melaju cepat meninggalkan dirinya. Kembali dia tenggelam dalam lamunannya yang tanpa batas.
Sepasang matanya menutup rapat.
Seolah dengan begitu dia bisa memasuki kembali masa lalunya dan mengubah
semua kesalahannya menjadi sesuatu yang baik dan benar. Kereta tetap melaju kencang, tanpa
mempedulikan perasaan yang tengah berkecamuk dalam dada masing-masing
penumpangnya.
***
“Mbak…”
“Ya Dek…selamat berpisah ya…”
Revan memasukkan kedua tangannya
dalam saku jaket. Dari balik kacamatanya
dia menatap Kamilla. Kamilla tak bisa
memahami arti tatapan itu, tetapi sekilas dia merasakan kesedihan yang
dalam. “Kita pasti bertemu lagi. Hidup tidak akan membuatku jatuh cinta jika
dia tidak mempertemukan kita kembali.”
“Ehm….” Kamila tersenyum tipis. “Cinta sesaat, sejenak lagi saat kau kembali
pada kehidupanmu, cintamu akan menguap seperti air laut terhembus angin. Kamu dengan hidupmu….dan hidupmu tidak akan
mengizinkan aku hadir di dalamnya.
Percayalah.”
“Trust me, Mbak…. Tidak akan
pernah berakhir seperti ini. Aku percaya
rasa ini akan menemukan muaranya.”
“Kamu bahkan tak tahu siapa aku,
tinggal dimana, pekerjaanku apa, statusku apa…”
Desis Kamilla setengah marah. “Kamu
bicara soal cinta seolah cinta itu makanan ringan yang dijajakan pedagang
asongan di stasiun kereta. Lelaki emang
jahat, apalagi lelaki muda sepertimu.
Selamat tinggal!”
Kamilla menghilang ditengah
kerumunan orang di stasiun Pasar Turi.
Bergerak begitu cepat tanpa pernah menyadari bahwa tatapan Revan terus
mengikutinya dengan seluruh rasa dan hati yang dimiliki lelaki muda itu. “Kita pasti bertemu lagi, Mbak. Dan Mbak pasti jadi milikku. Akan kuhapus setiap tetes air mata luka dan
kesedihan dari hidupmu dan akan kugantikan dengan kebahagiaan semata.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar