Kamis, 08 November 2012

Kamilla Satoe


Semburat merah keemasan menyemarak di langit, awan-awan tampak gemerlap bak permaisuri yang mempersiapkan kedatangan junjungannya. Angin sepoi membisikkan hawa dingin mencumbu pucuk-pucuk pinus yang mengangguk seolah enggan menanggapi.
Kamilla merapatkan kedua tangannya menutupi dada, mencoba mengusir hawa dingin yang mencoba menusuknya pelahan.  Sepasang matanya yang berwarna coklat bening berkaca-kaca.  Bening telaga kaca itu akhirnya luruh menjadi sebutir permata yang menggantung di pelupuk matanya.  Kasar Kamilla mengusapnya.
“Ya sudah kalo itu mau Mas, aku gag bisa maksa?”  Sergahnya dengan suara sengau.  Sekuat tenaga ditahannya air mata yang sudah mendesak ingin keluar.  Sembari menengadah dia tertawa kecil.  “Aku tahu akhirnya akan begini juga….”

“Milla sayang…”  Joko melingkarkan tangannya pada pinggang Kamilla, tetapi wanita itu menepisnya kasar.  Lalu bergerak menjauh, seolah Joko menebarkan hawa panas yang melukainya.  “Milla sayanggg…” keluh Joko tertahan.  Tetapi wanita itu tak peduli lagi.  Dia melangkah menjauh dan duduk di tembok pembatas beranda dengan halaman depan.  Kaki jenjangnya disilangkan dan sambil bersidekap Kamilla mulai berbicara dengan nada datar.
“Tidak ada yang perlu dijelaskan.  Sejak awal aku sudah tahu bahwa beginilah akhirnya cinta yang kupuja dan kusanjung.”  Kamilla menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.  “Semua suami pernah selingkuh, tetapi akhirnya dia akan kembali pada istrinya.”
“Tidak sayang…aku tidak kembali pada Diah, aku hanya menjaga agar dia tidak melukai dirinya dan anak-anak.  Itu saja, meski kita harus menjaga jarak beberapa lama, tetapi percayalah, cinta dan hati Mas tetap milikmu.”
Kamilla mendengar suaranya sendiri tertawa sumbang.  Betapa basi kalimat yang baru saja diucapkan lelaki itu.  Lelaki yang hampir enam belas bulan ini mengisi hari-harinya dengan kebahagiaan, dan sekarang mengakhirinya dengan luka yang sangat dalam.  “Basi tahu!” 
Joko duduk di salah satu kursi beranda.  Kegelapan mulai menyelimuti villa putih yang dihadiahkannya pada Kamilla delapan bulan yang lalu, sebagai bukti cintanya pada wanita berkulit kuning langsat dan bermata bagai telaga dalam itu.
“Ini bukan pertama kali kamu hadapi hal seperti ini kan?  Kamu pasti bisa kan?”
Kamilla merasa sesuatu mencengkeram lehernya, memaksanya untuk tidak bernapas.  Matanya yang selalu teduh itu kini membara ketika menatap Joko tajam. “Maksud Mas?”
“Aku toh bukan lelaki beristri pertama yang menjadikanmu kekasih.”  Joko menyalakan rokoknya dan mengisap batang tembakau itu kuat-kuat.  Sembari tersenyum pahit dia menatap sosok jelita Kamilla yang tampak semakin mempesona dalam balutan sackdress violet yang berbaur dengan malam yang mulai tiba.  Betapa dia mencintai wanita ini, wanita yang memberinya kebahagiaan luar dalam tetapi tak bisa dimilikinya.
“Oh, jadi begitu?”  Sekarang Kamilla benar-benar menangis.  Dibiarkannya Joko merengkuhnya dan menenggelamkan tubuh semampainya dalam pelukannya, memeluk sosok itu kuat-kuat seolah tak ingin melepasnya lagi.
“Aku tidak meninggalkanmu, Milla sayang…tidak akan  pernah.  Aku hanya minta sedikit waktu, menghilanglah dari kehidupanku untuk beberapa saat, hingga Diah yakin bahwa dia bisa mempercayaiku.  Itu saja, sayang….please….”  Joko mengecup puncak kepala Kamilla dengan sayang.  “Kamu tahu posisiku kan… semua kekayaan itu milik keluarga Diah, dan jika terjadi sesuatu dengan pernikahan kami, maka Diah dan keluarganya akan melempar aku ke jalan seperti melempar seekor anjing kurap.”
“Mas tidak usah bekerja…aku bisa bekerja untuk kita, kita mulai semua dari awal.”
Joko menggeleng pelahan, seiring dengan berontaknya Kamilla dari pelukannya.  Ketika Kamilla menatap mata kekasihnya, seketika itu juga dia tahu, semua sudah berakhir.
###
Wanita yang masih tampak jelita di awal tiga puluh lima itu memandang keluar jendela kereta senja yang melaju cepat menuju stasiun Pasar Turi.  Telaga bening di sepasang bola matanya masih berlumur air mata.  Puncak hidungnya yang bangir memerah, wajahnya pucat pasi tanpa polesan make up apapun.  Rambut panjangnya yang biasanya tergerai indah, kini hanya diikat seadanya dengan karet gelang, tampak awut-awutan.  Tetapi kesemuanya itu tidak mengurangi kecantikannya yang alami.
Dicobanya untuk menutup mata rapat, tetapi bayangan seluruh kejadian beberapa hari terakhir ini malah membuatnya kembali menangis.  Kasar dia mengeluarkan saputangan dari saku jaketnya, dan mengusap air matanya kuat-kuat.  Tetapi semakin dihapus, air matanya semakin kuat mendesak keluar.  Akhirnya dia memejamkan mata, membiarkan air matanya mengalir pelahan.
Malam sesudah Joko mengungkapkan permohonan agar Kamilla menghilang dari kehidupannya sementara waktu, Kamilla memaksa untuk pulang ke Jakarta.  Ketika lelaki yang hampir enam belas bulan lamanya lebih suka menghabiskan malamnya di apartemen Kamilla itu mohon diri untuk pulang, Kamilla sekaligus menutup pintu hatinya rapat-rapat.  Sekuat apa pun Joko berusaha, dia tidak mempunyai jalan masuk lagi ke hati Kamilla.
Malam itu Kamilla menangis tanpa henti, seluruh kisah cintanya dengan Joko seperti sebuah film berdurasi enam jam yang diputar dalam benaknya, semua tak terlewatkan, satu pun.  Hingga akhirnya tatkala jam berdentang empat kali, barulah dia jatuh tertidur.  Itu pun hanya sejenak.  Ketika terbangun karena sentuhan hangat cahaya mentari yang mengusap pipinya dari sela-sela tirai, ingatan akan Joko membuatnya kembali menangis.  Sembari duduk di pembaringan memeluk lututnya, Kamilla kembali menyesali semua jalan yang telah ditempuhnya bersama Joko.
Benar yang dikatakan Joko, lelaki itu bukanlah lelaki beristri pertama yang menjadi kekasih Kamilla.  Sebelum dekat dengan Joko, Kamilla pernah menjalin kedekatan dengan Anang dan Lukman.  Tetapi mereka berdua seratus persen berbeda dengan Joko.  Joko begitu menghargai Kamilla sebagai seorang wanita terhormat.  Kamilla ingat, perlu waktu hampir empat bulan sebelum Joko mengajaknya menghabiskan malam bersama di apartemennya, berbeda dengan lelaki-lelaki yang sebelumnya hadir dalam hidupnya.  Joko juga begitu memujanya, menganggapnya wanita yang paling cantik dan paling berharga di dalam kehidupannya.  Semua itu membuat Kamilla tersanjung.
Belum lagi janji yang diucapkan lelaki itu, jika terjadi sesuatu dan istrinya sampai mengetahui hubungan mereka,  dengan tanpa ragu Joko berkata akan menceraikan istrinya dan menikahi Kamilla.  Janji yang begitu indah dan manis dan melenakan Kamilla, janji yang tidak pernah diucapkan Anang dan Lukman.  Semua itu membuai Kamilla dan melambungkannya ke tempat tertinggi di atas awan-awan angannya.
Lalu badai mengguncang dunia kecil mereka.  Satu saat ketika mereka tengah menghabiskan malam bersama, tengah malam ponsel Joko berdering beberapa kali.  Mungkin karena terlalu capek atau masih setengah terlelap, Kamilla menerima panggilan itu dan menjawab dengan sepatah kata ‘’ya…’ tetapi tentu saja dia tak bisa menyembunyikan suaranya yang renyah manja khas seorang wanita.  Seketika itu juga Kamilla dipaksa terjaga sepenuhnya ketika suara di seberang membentaknya dan memakinya sebagai perempuan jalang.
Malam itu juga Joko bergegas pulang, dan selama seminggu penuh dia sama sekali tak bisa dihubungi, membiarkan Kamilla tenggelam dalam telaga air mata.  Pada hari kedelapan, Joko muncul di apartemen Kamilla. Membuat Kamilla terkejut ketika pulang kerja dan membuka pintu apartemen, sepasang lengan kokoh memeluknya dari belakang dan menenggelamkannya dalam pelukan yang nyaman dan aman.
“Mas…kupikir Mas pergi dari hidupku…” Isaknya tertahan di dada bidang itu.  Ketika Kamilla menengadah dan memandang raut wajah kekasihnya, menatap bola matanya yang hitam kelam, Kamila kehilangan segala kesedihan dan dukacitanya selama seminggu terakhir, menguap entah kemana. Seribu janji yang diucapkan Joko membuatnya melambung kembali.  Hingga senja ketika lelaki itu mengucapkan sebuah permohonan, tepat dua puluh hari setelah dia kembali dalam hari-hari Kamilla.
“Buktikan cintamu padaku Kamilla, dewi kekasih pujaan hatiku, jantung hatiku selamanya…”
“Dengan apa harus kubuktikan cintaku, Mas?”  Bagi Kamilla, dirinya sudah dipersembahkannya total untuk lelaki itu. Setiap jengkal dirinya, hatinya dan hidupnya, adalah milik lelaki itu.
“Menghilanglah dari hidupku, sementara saja. Sekitar enam bulan…berikan aku waktu untuk membuktikan pada Diah dan keluarganya bahwa aku lelaki yang setia.”
Bibir Kamilla bergetar…lalu air matanya mulai luruh.  Joko menenggelamkannya dalam pelukan dan Kamila merasakan jantung lelaki itu berdebar keras.  “Cintaku..sayangku…jangan menangis…kamu melukai Mas jika kamu juga terluka.  Jangan biarkan aku terjebak dalam dua pilihan sulit seperti ini, kekasihku.”
Kamilla mencintai Joko, apa adanya pria itu.  Dia tidak pernah menuntut apa-apa. Meski Joko tak pernah berkeberatan melimpahinya dengan materi, tetapi Kamilla tidak pernah meminta apapun.  Dia hanya ingin dicinta, diperhatikan dan diterima apa adanya dirinya. 
Ketika ulang tahunnya yang ketiga puluh  lima Joko memberinya kunci plus sertifikat kepemilikan sebuah villa di Puncak, dia sudah berusaha menolak, tetapi dengan segala bujukan, akhirnya Kamilla menerima pemberian itu.
Kamilla membesut hidungnya dengan kasar.  Menatap pepohonan dan tiang-tiang listrik yang seolah bergerak cepat di luar sana.  Sejenak pikirannya membeku, air matanya berhenti.  Satu saat di dalam episode kehidupannya tiba-tiba muncul.
“Mas…bolehkah aku meminta sesuatu yang mustahil?”
“Mintalah apa saja dewiku, aku akan berusaha melakukannya untukmu”
“Nikahilah aku…jadilah ayah dari anak-anakku”
Waktu itu mereka tengah duduk di sebuah bangku batu di tepi telaga Sarangan.  Menatap keteduhan telaga menjelang senja yang mulai temaram. Ketika mendengar kekasihnya menghela napas, Kamilla berpaling.  Saat itulah didapatinya sepasang mata kekasihnya berkilat sejenak, untuk kemudian meredup lagi ketika mengecup ubun-ubun Kamila.
“Gak mau ya?”
Joko hanya menggenggam jemari Kamila erat, mempermainkannya dalam genggaman tangannya.  “Kenapa selalu itu yang kautanyakan?  Tak cukupkah cintaku untukmu? Waktuku, hatiku, dan setiap detikku yang memikirkanmu?”
“Bahagianya Diah bisa menyandang namamu di belakang namanya, menjadi ibu anak-anakmu, menemanimu kemana saja sebagai istrimu yang sah.”
“Seharusnya kau lebih bahagia, hanya sedikit waktuku yang ada untuk Diah.  Diah harus sms dulu jika dia ingin menelponku.  Dan dia tidak memiliki rinduku yang membara yang hanya menjadi milikmu.”  Keluh Joko sembari menghela napas panjang.
Waktu itu Kamila mengiyakan dan merasa betapa egoisnya dirinya karena meminta sesuatu yang begitu mustahil dan membuatnya merasa sangat jahat.  Sekarang, baru sekarang dia menyadari.  Dari dulu Joko tidak pernah menginginkannya menjadi istri dan ibu anak-anaknya.  Baginya Kamila hanya seorang perempuan untuk diselingkuhi dan dibujuk dengan sejuta kata cinta.
Tiba-tiba saja Kamila melihat bayangan dirinya sendiri.  Seorang wanita rapuh yang diperbudak oleh perasaan.  Teringat Galih, lelaki pertama yang menghancurkan hatinya, lalu beberapa lelaki yang datang hanya untuk pergi. Terakhir, bayangan Joko menyeruak masuk.  Darahnya menggelegak ketika sebuah pikiran menggedor sanubarinya.
“Aku perempuan jalang…tak seorang pun mau menikahiku dan menjadikanku ibu anak-anaknya.  Mereka hanya mau tubuhku…tidak lebih…Kamilla Larasati…kamu tak lebih dari seorang pelacur! Bahkan lebih hina daripada pelacur, pelacur memberikan tubuh dan cintanya untuk menyambung hidup, tetapi kamu….hanya untuk mendapat rayuan kosong dan basi!”  Suara itu seperti kaleng yang dipukul keras-keras di telinga Kamilla, membuat kepalanya serasa mau meledak, semburat ke segala arah.
“Mbak…mbak baik-baik saja kan?”  Suara lembut itu menyadarkan Kamilla bahwa dia telah tenggelam dalam sedu-sedannya.  Dari balik bulu matanya yang laksana tirai tergantung, dia menatap seraut wajah yang tengah menatapnya dengan sorot kuatir.  “Mbak baik aja kan?”
Kamilla menghapus air matanya dengan kasar. “Aku baik saja Dek. Maaf…mengagetkanmu ya?”
“Enggak…” Lelaki muda berusia awal dua puluh itu menggeleng kuat.  Senyum manisnya mengembang sempurna ketika menatap Kamilla.  “Cuman kuatir aja, dari tadi mbak suntuk banget….nangis mulu…”
Kamilla tersenyum pahit.  Sedikit tergelitik dengan bahasa gaul yang dilontarkan anak muda itu.  Tetapi sedikit marah juga karena menyadari kebodohannya, menangis di dalam kereta yang melaju kencang, sungguh tindakan tolol, bodoh, rapuh….dan aneh!
“Bilang saja aku aneh Dek.”
“Enggak kok…serius enggak.”  Temaram cahaya dalam kereta membiaskan seraut wajah tirus dengan sorot mata lembut.  Memandang sorot mata itu, tiba-tiba saja Kamilla merasa sangat bodoh dan tolol.  Pipinya memanas ketika dia memalingkan wajah ke jendela kereta.
“Aku gak apa-apa kok Dek.”
“Iya…syukurlah kalo Mbak baek-baek aja.  Kenalin, aku Revan.”  Kamilla tersenyum ketika membalas jabat tangan pemuda itu. 
“Aku Milla.”
“Mau ke Surabaya, Mbak?”
“Enggak, aku ke Malang, dari Surabaya naik bus ke Malang, kehabisan tiket. Pulang kampung.  Emang kamu mau ke Surabaya?”
“Enggak, Kediri. cuman turun di Surabaya sih. Mau pulang kampung juga, kampung ayah, mau jenguk kakek yang lagi sakit.”
“Owh.”  Kamilla melipat tangannya ke depan dada.  Mulai merasa nyaman dengan percakapannya dengan pemuda belia yang duduk di hadapannya.  Sekilas dia teringat Bagas, adik bungsunya.  Mungkin usianya tak jauh berbeda dengan Revan.  Kerinduan menyesak dalam dadanya lagi, pada saat-saat belianya dulu.  Dalam hitungan detik dia seolah melihat bayangan keluarganya, di detik lain bayangan itu luruh tanpa sisa.  Setetes air mata kembali menggantung di pelupuk matanya.  Hidupnya sudah hancur sejak dia menyerahkan kehormatannya pada Galih.
“Mbak…mbakkkkk…”  Revan menepuk lutut Kamilla.  “Mbak yakin mbak gak papa?”
“Aku baik aja, Dek.”  Kamilla tertawa sumbang.  “See…I’m fine!”
“Gag ngerti bahasa inggeris!”  Revan nyengir lebar.  “Say it in indonesian, please…we have to love our language” Revan tertawa keras ketika melihat Kamilla ikut tersenyum lebar.  “Gitu dong mbak…senyumnya lepas…tawanya manis…seneng liatnya!”
“Ah dasar anak muda…bisanya meledek doang!”
“Anak muda? Emang mbak gag muda?  Masih tujuh belas kaleeee….”
“Huzz….enak aja…”
“Lha emang iya…masih muda gitu kok bilang aku anak muda?  Protes nihh…protessss…”
“Emang berapa umurmu?”
“Kalo mbak berapa?”
“Tiga lima”  Kamilla menahan senyumnya melihat reaksi Revan.
Revan nyaris melotot mendengar itu.  “Tiga lima?  Enggak salah?”
“Salah?”  Kamilla tersenyum pahit.  “Kamu pikir sudah lima puluh ya?”
“Serius?  Enggaklah…..aku pikir mbak paling banyak baru 25.”
Sekarang Kamila benar-benar tertawa geli.  “Dua lima? Ya ampun….dilihat dari Hongkong apa?”
Revan tersenyum manis.  “Trus mbak ketawanya…seneng banget liat mbak ketawa begitu lepas…”
Kamilla tercengang melihat sorot mata Revan yang tampak begitu bersemangat.  “Eh…kamu kenapa Dek?”
“Aku?”  Revan mengedikkan bahunya.  “Emang aku kenapa? Ga pa pa kok….seneng aja liat mbak bisa ketawa gitu, tapi sekaligus sedih juga….”
“Seneng sekaligus sedih?”  Kamilla tersenyum tipis.  “Apaan tuh maksudnya? Gag Jelas ah!”
“Seneng banget liat mbak bisa tertawa seperti ini, setelah berjam-jam melihat mbak begitu sedih dan nangis mulu, sejak kereta mulai keluar dari Jakarta tuh mbak…”  Revan menghela napas panjang.
“Trus sedihnya napa?”
“Ya sedih banget…karena ternyata beda usia kita jauh banget! Aku berondong banget ya dibandingkan mbak, aku masih 20 mbak…”
“Owh…”  Kamilla tersenyum, lagi.  “Harusnya kamu panggil aku Ibu, atw Tante.  Tapi pliz jangan panggil aku Tante…aku ga suka dipanggil begitu!”  Kamilla membuka sebungkus silverqueen yang sedari tadi ada di pangkuannya.  Mengulurkannya pada Revan  “Mau?  Penawar rasa sedih yang manjur”
“Enggak, makasih.”  Revan menggeleng pelan.  Keceriaan yang tadi bersinar di raut wajahnya mendadak hilang.  “Kenapa sih aku muda banget dibandingkan Mbak?”
“Loh emang jadi masalah?”
“Enggak juga sih…”  Revan menatap Kamilla dengan sorot asing, sorot yang pernah dilihat Kamilla berpendar di mata beberapa lelaki yang menatapnya.  “Tapiii…..jadi susah dong buat meraih hati Mbak.”
“Huzzz…”  Kamila hampir tersedak potongan kacang mede dalam silverqueen yang tengah dinikmatinya.  “Ngomong apaan sih?  Baru aja kenal..udah ngomong soal hati…aneh!”
“Apanya yang aneh Mbak?  Aku tuh selalu percaya pada ‘first sight love’ dan bahwa cinta pada pandangan pertama itu sebenernya adalah cinta yang paling murni.”
“Udah ah….aneh-aneh aja!”
“Mbak…aku udah perhatikan mbak sejak kita pertama kali berangkat dari Senen.  Aku udah perhatikan Mbak sekian lama.  Kesedihan Mbak, air mata Mbak…aku gag tau alasannya kenapa, tetapi satu hal yang aku tahu, aku pengen menghapuskan kesedihan dan air mata itu dari hidup Mbak, aku pengen buat Mbak bahagia selamanya!”
Kamilla tergelak.  “Dek…emang cinta segampang itu? Semudah itu bilang cinta?”
“Mbak….terserah dah mbak mau bilang bagaimana, yang jelas itulah perasaanku saat ini pada Mbak.”
Kamilla menghela napas panjang.  Banyak lelaki datang dalam hidupnya membawa sejuta kata cinta.  Namun demi Hades, tidak ada yang mengucapkannya pada saat kondisinya seperti ini.  Sebut saja Galih, lelaki pertama yang memporakporandakan hidupnya, mengucapkan ‘aku sayang kamu’ setelah mereka saling mengenal hampir enam bulan, di suatu pagi yang dingin di bawah rimbunnya akasia di halaman sekolah mereka yang teduh.  Kamilla ingat saat itu Galih memainkan ujung rambutnya dan menatap matanya sambil berkata betapa cantiknya Kamilla jika tersipu malu.
Lukman, satu episode kelabu dalam hidupnya, membutuhkan waktu seminggu sebelum meraih tangannya dan mengucapkan kata cinta, di tengah temaram cahaya lilin di sebuah garden restorant. Kamilla ingat dia berdandan hampir tiga jam hanya untuk tampil sempurna dalam gala dinner bersama lelaki yang akan membeli polis darinya itu.
Revan?  Kamilla menggigit bibir bawahnya, menahan senyum yang dikulum.  “Emang kamu masih berondong banget dan rasanya…logikanya lagi jalan di tempat ya Dek?”
“Maksudnya?” 
“Maksudku….ya ampun Dek…lihatlah kondisiku sekarang ini.  Mata sembab, hidung merah, wajah mengkilap, rambut berantakan…gag ada cantiknya sama sekali.  Satu lagi, kita baru saja kenal, kamu menyapaku belum ada sepuluh menit.  Cinta?  Astaga…anak muda memang suka aneh-aneh!”
Revan terdiam.  Disandarkannya tubuhnya ke kursi kereta.  Kesedihan dan kekecewaan tampak membayang di sepasang matanya yang coklat bening.  Tetapi tak sepatah kata pun diucapkannya.  Dia hanya memandang Kamilla, diam.
Kamilla melempar pandangannya ke luar jendela.  Pada tiang listrik dan pepohonan yang seolah melaju cepat meninggalkan dirinya.  Kembali dia tenggelam dalam lamunannya yang  tanpa batas.  Sepasang matanya menutup rapat.  Seolah dengan begitu dia bisa memasuki kembali masa lalunya dan mengubah semua kesalahannya menjadi sesuatu yang baik dan benar.  Kereta tetap melaju kencang, tanpa mempedulikan perasaan yang tengah berkecamuk dalam dada masing-masing penumpangnya.
***
“Mbak…”
“Ya Dek…selamat berpisah ya…”
Revan memasukkan kedua tangannya dalam saku jaket.  Dari balik kacamatanya dia menatap Kamilla.  Kamilla tak bisa memahami arti tatapan itu, tetapi sekilas dia merasakan kesedihan yang dalam.  “Kita pasti bertemu lagi.  Hidup tidak akan membuatku jatuh cinta jika dia tidak mempertemukan kita kembali.”
“Ehm….”  Kamila tersenyum tipis.  “Cinta sesaat, sejenak lagi saat kau kembali pada kehidupanmu, cintamu akan menguap seperti air laut terhembus angin.  Kamu dengan hidupmu….dan hidupmu tidak akan mengizinkan aku hadir di dalamnya.  Percayalah.”
“Trust me, Mbak…. Tidak akan pernah berakhir seperti ini.  Aku percaya rasa ini akan menemukan muaranya.”
“Kamu bahkan tak tahu siapa aku, tinggal dimana, pekerjaanku apa, statusku apa…”  Desis Kamilla setengah marah.  “Kamu bicara soal cinta seolah cinta itu makanan ringan yang dijajakan pedagang asongan di stasiun kereta.  Lelaki emang jahat, apalagi lelaki muda sepertimu.  Selamat tinggal!”
Kamilla menghilang ditengah kerumunan orang di stasiun Pasar Turi.  Bergerak begitu cepat tanpa pernah menyadari bahwa tatapan Revan terus mengikutinya dengan seluruh rasa dan hati yang dimiliki lelaki muda itu.  “Kita pasti bertemu lagi, Mbak.  Dan Mbak pasti jadi milikku.  Akan kuhapus setiap tetes air mata luka dan kesedihan dari hidupmu dan akan kugantikan dengan kebahagiaan semata.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar