Semburat merah keemasan
menyemarak di langit, awan-awan tampak gemerlap bak permaisuri yang
mempersiapkan kedatangan junjungannya. Angin sepoi membisikkan hawa dingin
mencumbu pucuk-pucuk pinus yang mengangguk seolah enggan menanggapi.
Kamilla merapatkan kedua
tangannya menutupi dada, mencoba mengusir hawa dingin yang mencoba menusuknya
pelahan. Sepasang matanya yang berwarna
coklat bening berkaca-kaca. Bening
telaga kaca itu akhirnya luruh menjadi sebutir permata yang menggantung di
pelupuk matanya. Kasar Kamilla
mengusapnya.
“Ya sudah kalo itu mau Mas, aku
gag bisa maksa?” Sergahnya dengan suara
sengau. Sekuat tenaga ditahannya air
mata yang sudah mendesak ingin keluar.
Sembari menengadah dia tertawa kecil.
“Aku tahu akhirnya akan begini juga….”