Sabtu, 04 Mei 2013

KAMILLA TIGA : PULANG???

Ketika tersadar dari pingsannya, Milla mencium aroma tak sedap menyelubungi tubuhnya. Dia berusaha duduk, menyibakkan kain tipis yang menyelimuti tubuhnya dan menjadi sumber bau tak sedap itu.
"Sudah sadar, Nak?"  Seorang lelaki tua yang duduk tak jauh darinya menatap Milla dengan pandangan mata bersyukur.  Hari telah beranjak pagi dan semburat merah fajar pagi mulai mewarnai langit.  Milla mengangguk lemah dan mandah saja ketika lelaki tua itu menyodorkan sebotol air minum ke bibirnya.  Diteguknya air dingin itu, ada berbagai aroma tak sedap, tapi semua itu tak membuat Milla mual, dia terus minum dari botol plastik itu.
"Terimakasih, Pak."  Sahutnya lirih sembari mengembalikan botol plastik yang hampir kosong itu kepada sang lelaki tua.
"Sama-sama Nak.  Kalo sudah kuat, nanti Bapak antarkan ke rumah bu Hardi."
Milla ingin bertanya siapa itu bu Hardi, tetapi kepalanya terasa sangat berat dan pening.  Hingga akhirnya dia memutuskan kembali berbaring, dan baru menyadari bahwa tubuhnya sudah dipindahkan ke tepian kaki lima sebuah jalan yang tidak dikenalinya, beralaskan kardus bekas dan setumpuk kain usang sebagai alas kepalanya.  Dia ingin mengucapkan terima kasih, tetapi bibirnya hanya membentuk senyuman dan sorot matanya yang bicara banyak, memandang sang lelaki tua.  Lelaki tua itu menyunggingkan senyum tulus dan berkata pelan, "Masih pagi, tidur lagi sebentar Nak.  Nanti terang tanah kita berjalan ke rumah bu Hardi."
Mila menaikkan kain usang yang menutupi tubuhnya hingga menutupi dagu. Matanya memandang langit yang keemasan, gendang telinganya bagai dimanjakan kicauan burung yang bersahutan.  Milla tidak tahu dia ada dimana, dan siapa lelaki tua itu.  Yang dia tahu, dia sekarang sendiri.  Sendiri, tidak berdua seperti yang selalu dikatakan Galih padanya.  "Oh, tidak...aku tidak sendiri.." Milla tersenyum tipis sembari merasakan geliat kecil di dalam rahimnya. Anaknya, Galih kecil-nya yang akan memberinya kekuatan untuk terus bertahan.

Mila terjaga ketika sinar matahari yang hangat membelai wajahnya.  Dia membuka sedikit matanya, menahan silau karena cahaya mentari yang gemilang. Jalan raya di depan trotoar di mana dia terbaring, sudah ramai kendaraan lalu lalang.  Dia mengucek matanya dan sedikit merentangkan badannya, terasa lebih segar.  Pelahan dia duduk dan menggulung rambut panjangnya ke atas tengkuk.  Dia berpaling ke arah kiri, dilihatnya bapak tua yang tadi memberinya minum, sedang sibuk memilah beberapa kantong plastik bekas.
"Selamat pagi, Pak."  Sapanya pelahan.  Bapak tua itu menoleh dan tersenyum manis.  Mata tuanya bersinar ramah ketika dia menjawab sapaan Mila "Selamat pagi Nak.  Sebentar ya, Bapak pilih kantong plastik dulu, nanti bapak belikan sarapan di warung seberang jalan sana."
Mila tersenyum penuh ucapan terima kasih.  Dia ingin berdiri, tetapi kedua kakinya terasa lemas.  Dan dia baru ingat, terakhir kali dia makan adalah kemarin pagi sebelum berangkat ke sekolah.  Dielusnya perutnya yang membuncit dengan kasih.  "Adek lapar ya?  Mama jahat ya tidak kasih makan adek..." bisiknya lirih.
"Sudah sadar tho nDuk...ini makan dulu!"  Seorang ibu setengah baya berpakaian lusuh tiba-tiba sudah ada di sisi Mila, menyodorkan sebungkus nasi beraroma pecel kepadanya.  "Ini makan dulu, ayo...kasihan bayinya nanti."
"Tarmi...matursuwun kamu sudah belikan nasi buat dia."  Bapak tua tadi mengucapkan terima kasih.
"Alah sudahlah Pakde...tidak apa-apa.  Saya kan juga pernah mengalami nasib seperti dia ini.  Wes pokoknya kalau sudah hidup di jalanan seperti ini, kita harus bisa saling menolong dan saling menjaga.  Gak usah bicara soal terimakasih dan balas budi."  Suara ibu itu bak kicau burung di pagi hari, riuh rendah dan berlogat khas jawa timur.  Mau tak mau Mila jadi tersenyum juga.  Pelahan dia buka bungkusan nasi itu dan segera dia sibuk menyendokkan isi bungkusan ke mulutnya, sedikit susah karena harus menggunakan sendok bebek dari plastik.  Nasi hangat dan pecel itu segera membuat perutnya terasa nyaman.  Ditenggaknya segelas teh panas yang juga disediakan Bu Tarmi.
"Saya nggak bisa balas apa-apa, Pak, Bu."  Bisik Mila lirih.
"Memang siapa yang minta dibalas?  Orang kita hidup di jalan seperti ini, kalau kita tidak saling menolong, bagaimana kita bisa tetap bertahan?"  Bu Tarmi menatap gadis remaja ayu berperut buncit itu dengan iba.  "Jadi pakde nanti akan bawa mbak ini ke tempat Bu Hardi?"
"Iya, biar dia bisa istirahat di sana sampai melahirkan.  Sesudah itu, baru dipikirkan selanjutnya bagaimana."
"Memang kamu  lari dari rumah karena orang tuamu tidak bisa menerima kehamilanmu ya?"
Mila tertegun.  Teringat kemarahan Papa dan tangisan Mama.  Hatinya terasa diremas  hancur dan ditaburi air jeruk nipis.
"Papa sudah berjuang mati-matian untuk membesarkanmu, menyekolahkanmu...lalu ini balasanmu?  Ini?????"  Rasa perih ketika mengingat ucapan itu terasa mencengkeram ulu hati Mila.  Menggulirkan sebutir mutiara bening di pelupuk matanya.
"Saya sudah buat papa mama kecewa Bu, tidak ada gunanya saya bertahan di rumah itu."
"Nduk...tidak ada orang tua yang tidak sayang pada anaknya, dan rasa sayang itu sering diwujudkan dengan kemarahan.  Tetapi percayalah, kalau kamu mau datang kembali dan minta maaf, pasti mereka memaafkanmu."
"Saya tidak mau bikin malu keluarga, Bu."
"Mereka lebih malu jika orang sampai tahu anaknya menggelandang begini."
"Menggelandang?"  Pahit sekali suara  Mila.
"Iya, apa namanya hidup di jalanan seperti aku dan dan Pakde Marno, kalo bukan menggelandang?  Memang kamu sanggup jadi gelandangan?  Kamu cantik nDuk, masih muda, banyak kejahatan mengintaimu.  Lebih baik kamu pulang, karena rumah bu Hardi sekalipun tidak akan bisa melindungimu seaman rumah keluargamu tempatmu dilahirkan dan dibesarkan."
"Tarmi...biarkan saja dulu dia bersama kita, nanti kita antar ke bu Hardi."
"Bu Hardi memang baik, Pakde. Tapi keponakannya yang namanya Tito itu?"
"Tito cuma mata keranjang, tapi dia tidak jahat. Bu Hardi tahu itu kok.  Anak-anak gadis yang dulu dirawat Bu Hardi juga tidak diganggu sama Tito."  Sahut Pakde Marno.
"Iya karena mereka tidak secantik mbak ini."
"Aku Mila, Bu."
"Ya, tidak secantik Mila!"  Bu Tarmi memegang tangan Mila. Menatap matanya dalam-dalam.  Mata yang mulai memburam itu berusaha membujuk Mila.  "Pulang ya, Bude anterin.  Nanti Bude yang bilang ke Bapak dan Ibu mu."
Mila tergugu.  Apakah masih ada tempat di rumahnya, untuk seorang wanita jalang seperti dia? Seorang gadis yang tidak bisa menjaga kesuciannya dan kehormatannya?  Mila mengelus perutnya, sekali lagi, sembari berbisik lirih.  "Pulangkah kita, Dek?"