Senin, 07 Mei 2012

Tak Selamanya Mendung Itu Kelabu, Epilog


Astri melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangannya.  Sudah hampir satu jam Riris dan Sal berbicara.  Dia menjemput Sal dan mempersilakannya berbicara sendiri dengan Riris, berdua saja, dalam kamar gadis itu.  Dia sengaja menyibukkan diri dengan bunga-bunga kesayangannya.  Jangan sampai Sal mengira dia menguping pembicaraan mereka.
            Riris duduk di pembaringannya di kamar.  Sepasang matanya memang buta, tidak bisa melihat seperti apa wajah wanita yang katanya adalah ibu kandungnya itu.  Tetapi dia bisa merasakan betapa sangat tidak sehatnya wanita itu. 
            Sejak wanita itu masuk dalam kamarnya, memeluknya erat-erat, Riris hanya diam, sama sekali tidak membalas perhatian yang diberikan wanita itu.  Kalau bukan permintaan Astri, tidak akan dibiarkannya wanita yang telah membuangnya ini masuk dan memeluknya.  Kenapa tidak dilakukannya hal itu dua puluh tahun yang lalu, ketika dia betul-betul masih sangat lemah dan sangat membutuhkan pelukan seorang ibu?
            “Nak, saat itu memang ibumu ini bersalah.  Tetapi sekarang ibumu sudah sadar.  Kamu mau memaafkan dosa ibumu ini?”  Sal membesut hidungnya, untuk kesekian kali.  Semua sudah diceritakannya.  Secara sangat tidak seimbang.  Dia menggambarkan Astri sebagai seorang wanita tingkat atas yang sombong, angkuh dan sangat mementingkan dirinya sendiri.  Dia menempatkan dirinya sebagai korban.  Seorang wanita kalangan bawah yang berhasil meraih cinta seorang pria kaya, yang kemudian terpaksa menanggung penderitaan karena ulah istri pria kaya itu, Astri. 
            Dia sama sekali tidak sadar, semua penjelasannya itu malah membuat Riris semakin benci padanya.  Dua puluh tahun usianya di dunia itu, Riris hanya mengenal Astri sebagai ibunya.  Selama itu Astri telah menunjukkan cinta dan perhatian yang sangat besar padanya.  Sama sekali tidak mudah menghapuskan citra seorang ibu yang baik dan penuh kasih sayang menjadi seorang wanita sok, angkuh dan jahat.  Riris tahu, Mama Astri-nya tidak seperti penggambaran wanita ini, ibu kandungnya.
            “Sudahlah, Bu...”  Riris berusaha keras untuk mengucapkan kata itu.  “Riris sudah memaafkan Ibu.”
            “Jadi...”  Sal memekik kegirangan.  “Kamu mau tinggal bersama Ibu kan?”
            “Tinggal bersama Ibu?”  Riris mendengus kesal.  “Memaafkan tidak berarti Riris bisa menerima Ibu sepenuhnya.  Cobalah mengerti keadaan Riris.  Selama ini Riris tinggal bersama Mama Astri.  Bagi Riris, cuma Mama Astri yang menjadi ibuku.  Tidak ada yang lain.”
            “Riris...kamu tidak mau menerima ibu kandungmu sendiri?”
            “Riris sudah memaafkan kesalahan yang demikian fatal.  Apakah Riris harus melakukan sesuatu yang sangat bertentangan dengan keinginan Riris?  Apakah belum cukup bagi Ibu untuk menerima maaf dari Riris?  Masih kurang apa yang Riris berikan?”
            Sal menatap anaknya dengan pahit.  Dia tahu, tidak mudah, sama sekali tidak mudah mengubah semua yang telah ditunjukkan Astri selama ini.  Jika mau jujur pada diri sendiri, Sal menyadari bahwa Astri memang sangat baik.  Dulu dia memang angkuh, sombong, dan merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain.  Tapi kerelaannya membesarkan Riris, menolong keluarganya dari kesulitan ekonomi, semua itu bukan kesombongan dan keangkuhan.  Sal menggelengkan kepalanya kuat-kuat.  Rasa marahnya, putus asa karena penyakitnya, membuat dia membutakan mata batinnya.  Dia merasa, Astri yang membuatnya menderita, bahkan penyakit yang dideritanya saat ini, itu disebabkan Astri.
            Dia menggertakkan giginya.  “Baik, kalau memang itu yang menjadi pilihan Riris.  Terima kasih, karena Riris masih mau mengakui ibumu ini.” Sal berdiri.  Meraih tas tangannya.  Sekilas dia ingin mengecup kening anaknya, tapi wajah Riris yang tampak membeku membuatnya mengurungkan niat itu.  “Selamat tinggal, Riris.”
            Sal tidak berpamitan pada Astri.  Astri baru tahu kalau dia sudah pergi ketika melihat Riris turun dari lantai atas dan menuju ke pianonya.
            “Ibu sudah pulang, Ris?”
            “Sudah.  Untuk apa dia lama-lama di sini?  Berusaha menghasut Riris agar membenci Mama Astri?  Dia hanya menghabiskan waktunya.”  Riris memberi senyum manis pada Astri.  Setelah itu dia duduk dan mulai memainkan pianonya.  “Riris sudah memaafkannya.  Riris juga sudah mengakuinya sebagai ibu.  Itu sudah cukup.   Riris tidak bisa memberikan lebih.”  Riris menjelaskan hasil pertemuannya dengan Sal, sebelum Astri bertanya.  Jemarinya yang sudah menari di atas tuts piano, memberi isyarat pada Astri bahwa gadis itu tidak mau diganggu lagi.  Astri menghela nafas panjang.  Dia sudah mencoba memperdamaikan keduanya.  Kalau Riris tetap menjaga jarak dengan ibu kandungnya, apa yang bisa dilakukan Astri?  Riris sudah dewasa, bahkan hampir menikah.  Tidak mungkin dia dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya.
                                                            ***
            Ivonne menatap wajah Jojo dengan sorot memohon.  “Mas Jo mau kan mengantar Ivonne ke sana?  Mas Jo, semua membawa pasangannya.  Semua.  Masa Mas Jo tega membiarkan Ivonne datang sendiri?”
            “Kalau memang kamu masih sendiri...”
            “Ivonne sudah bilang Ivonne akan membawa teman pria Ivonne.”
            “Mas Jo ini kakakmu, bukan teman pria.”
            “Mas Jo...”  Ivonne mulai merajuk.  Bibirnya manyun dengan manis.  Di usianya yang hampir tujuh belas, Ivonne memang masih kolokan.  Papanya, Raam, dan ibunya, Anita, terlalu banyak memanjakan Ivonne.  Terlebih karena dia anak tunggal.  Meskipun Raam menginginkan selusin anak, Anita tetap bersikeras untuk memiliki satu anak saja.  Segala keinginan Ivonne dituruti.  Untungnya anak itu tidak pernah minta sesuatu yang mustahil.
            Jojo menarik tangan Ivonne.  “Kalau kehadiran Mas Jo di pesta itu akan membuat teman-teman kamu berpikir kita ini sepasang kekasih, lebih baik Mas Jo tidak datang.”
            “Kenapa?  Memangnya Mas Jo sudah punya kekasih?”
            “Mas Jo belum menemukan seseorang yang tepat.”
            “Seperti Tante Astri?  Mana mungkin ada orang seperti Tante?”
            “Satu saat akan kutemukan.”
            “Kalau Ivonne?”  Ivonne tersenyum malu-malu.  Jojo mengacaukan poni tebal gadis itu.  Ditatapnya sepasang mata lugu yang menatapnya penuh harap.  Rasanya sulit untuk mengatakan kebenaran.  Tapi mama sudah menasehatinya, lebih baik berterus terang.
            “Ivonne kan cuma punya tempat sebagai adik Mas Jo.”
            “Kata Papa, Ivonne mirip tante Astri?”
            “Wajahnya sih iya.  Tapi sifatnya, sama sekali nggak mirip.”
            “Ivonne bisa belajar...”
            “Dan menyiksa dirimu sendiri?  Membuat dirimu yang sebenarnya terkubur hidup-hidup?  Tidak Ivonne Sayang.  Itu tidak boleh terjadi.  Aku akan sangat berdosa.jika menghilangkan seorang Ivonne nan manja dan ceria ini.  Mama telah menempuh banyak kesukaran, itu yang membentuk sifatnya sekarang ini.  Tapi Mas Jo yakin, satu saat akan ada seseorang yang keluhuran budinya tampak dari sorot matanya.  Saat itu, mungkin Mas Jo akan jatuh cinta.”
            “Huuh...tunggu saja bidadari itu datang.  Pokoknya Ivonne minta antar.  Nanti Ivonne tulis pakai karton, tempel di punggung Mas Jo. Bunyi tulisannya, ‘sorry, saya bukan pacarnya Ivonne’.” 
            Jojo tergelak.  Dia selalu tak berdaya kalau Ivonne mengeluarkan jurus pamungkasnya itu.  Konyol.  “Okey.  Tapi kamu harus meralat pernyataanmu bahwa kamu akan datang dengan teman priamu.  Bilang saja sejujurnya.  Mas Jo ini kakakmu.”
            “Kalau teman-teman Ivonne naksir Mas?”
            “Mau diantar nggak?” 
            “Iyayaya...”  Ivonne cemberut.  Tapi tak urung dia tersenyum manis pada Jojo.
            Astri melihat adegan keduanya dari teras atas.  Keduanya sama sekali tidak sadar kalau Astri ada di sana sejak tadi.  Memperhatikan mereka dengan senyum bahagia, bercampur rasa geli.  Tubuh Astri memang terhalang tanaman-tanaman hias yang diletakkan di teras atas itu.  Saat itulah tangannya tak sengaja menyenggol ujung besi tempat dia meletakkan pot bunga.  Astri sudah berniat ingin membungkus ujung runcing itu dengan kain atau karet.  Tapi kesibukan selalu membuatnya lupa.  Sekarang, ujung besi itu melukai tangannya.  Membentuk parut memanjang yang berdarah di lengan kanannya.  Dia memekik kecil, membuat Jojo dan Ivonne serentak menengadah ke atas.  Melihat Astri ada di sana, mengeryit kesakitan, Ivonne merasa pipinya panas, dia merasa sangat malu.  Sebaliknya, Jojo malah lari meninggalkan Ivonne dan segera naik ke atas.
            “Kenapa Ma?”
            “Nggak apa-apa kok, Jo.  Cuma tergores sedikit, kena ujung besi pot itu.  Berkali-kali Mama ingin menutup ujung runcing itu dengan kain.  Tapi selalu lupa.”
            “Darahnya banyak lho, Ma.”  Jojo meraih tangan Astri.  Luka itu memang tidak terlalu dalam, tapi cukup panjang.  Darah mulai membentuk aliran kecil pada luka itu.  Melihat kekhawatiran anaknya, Astri tertawa. 
            “Ini biasa, Jo.  Sudahlah, biar Mama beri antiseptic.”
            “Iya, nanti bisa infeksi lho...”  Jojo betul-betul khawatir.  Dia tidak pernah melihat Astri berdarah.  Karena itu dia panik melihat luka yang memanjang itu.  Kalau saja dia tahu luka jahitan bekas operasi caesar di perut Astri baru sembuh setelah hampir tiga minggu...
***
            Gerimis bulan Desember turun malu-malu.  Sore yang bersaput mendung kelabu.  Cuaca seolah tanah liat yang berada di tangan pembuat periuk.  Begitu mudah berubah bentuk.  Pukul empat sore tadi, cuaca masih sangat cerah.  Pukul setengah enam, kegelapan tiba-tiba menyelubungi langit.  Sekarang, gerimis turun bagaikan jutaan jarum halus menerpa bumi.  Satu menit lagi, mungkin saja gerimis itu berubah menjadi hujan deras yang disertai kilat dan petir.
            Sal meletakkan tubuhnya ke sofa ruang tengah rumah Astri.  Dipandangnya ruang tengah yang asri itu dengan sorot sinis.  Dia tak bisa menghapus bayangan kemewahan yang sempat dinikmatinya setelah menikah dengan Agung.  Dia sama sekali tidak merasa berterima kasih atas semua yang dilakukan Astri untuknya.
            Sebagai istri yang dinikahi secara siri, tanpa sehelai surat nikah resmi, mestinya Sal sama sekali tidak memiliki hak apapun.  Astri telah berbaik hati membuka deposito atas namanya, dari sebagian harta peninggalan Agung.  Deposito itu telah meningkat dengan sangat besar.  Jumlahnya hampir sepuluh kali jumlah awal yang ditanamkan Astri.  Astri telah memberikan sertifikat itu pada Sal, sehari setelah dia tahu Sal pulang.  Perhiasan-perhiasan yang disimpan Agung di safe deposit box bank langganannya, diberikannya separuh untuk Sal.  Nilainya, bisa ditukar dengan sebuah Mercedez  Benz.  Jelas jumlah yang tidak kecil.  Tetapi toh, semua itu tidak ada artinya di mata Sal.  Kebencian telah menutup mata hatinya rapat-rapat.  Yang dilihatnya hanyalah kejelekan dan kejahatan Astri.
            Sal ada di ruangan ini satu bulan setelah penolakan Riris untuk ikut bersamanya.  Dia kembali dengan dendam yang puncaknya mencapai langit-langit hatinya.  Dendam yang menggelegak bagaikan kawah candradimuka.  Bagaimanapun, dia harus menyakiti Astri. 
            Berbeda dengan Sal yang menatap dengan sorot penuh kedengkian, Astri yang duduk di hadapan Sal, tersenyum lembut.  Usianya sudah tidak muda, tahun ini dia akan meniup lilin ulang tahunnya yang ke lima puluh dua.  Gurat-gurat usia tampak menghiasi wajahnya.  Meski masih tetap halus mulus, toh usia telah mengukir garis-garis halus itu untuk membuat wajahnya terlihat lebih matang daripada tahun-tahun sebelumnya.
            “Riris belum pulang.  Tadi dia dan Jojo pergi belanja.  Adolf akan pulang minggu depan, jadi Riris merasa perlu untuk mempercantik dirinya.”
            “Dia sudah cantik.  Tanpa polesan apapun anakku sudah cantik.”
            “Tentu saja.”  Astri menjawab lembut.  “Tunggulah sebentar.  Dia akan segera datang.”
            “Aku akan menunggu.  Aku kangen padanya.”  Suara Sal sama sekali tidak bisa menyembunyikan rasa marahnya.  Astri hanya tersenyum.  Dia tetap tersenyum ketika Sal mengeluarkan sebatang rokok, menyulutnya dan mulai menghisap batang tembakau itu.  “Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan.  Aku juga punya hak atas perusahaan yang sekarang kamu pimpin.  Aku istri Agung.  Aku melahirkan anaknya.  Aku tahu, aku memiliki dua puluh persen saham.  Aku ingin tahu, apakah aku bisa menjual perusahaan itu kalau aku mau.”
            Astri mulai kehilangan kesabarannya.  “Apa maksudmu dengan menjual?”
            “Aku memang lulusan SMP, tapi aku tidak bodoh.  Di HongKong aku banyak bergaul dengan orang-orang bisnis.  Aku memiliki dua puluh persen saham.  Riris dua puluh lima persen dan kamu serta Jojo memiliki persentase yang seimbang dengan kami.  Jika aku memberikan saham yang kumiliki pada Riris dan aku berhasil membujuk dia untuk menjual perusahaan ini, maka...”
            “Dengar Sal, meskipun kamu cukup pintar dalam hal saham, Riris tidak akan setuju menjual perusahaan ini.  Perusahaan ini jatuh bangun bersama kami.”
            “Maksudmu bersamamu.”  Koreksi Sal dengan nada sinis.  “Kalau Riris tidak mau, aku bisa menjualnya pada investor lain.  Investor yang piawai memainkan saham.  Investor itu satu saat akan mencaplok bagian kalian seperti seekor alligator mencaplok mangsanya.”
            Astri berdiri dengan marah.  “Kamu membicarakan sesuatu yang sebenarnya bukan hakmu sama sekali.”
            Sal juga berdiri.  Melempar rokoknya ke lantai dan menginjak dengan marah hingga puntung rokok yang masih panjang itu hancur berantakan.  Matanya membara menatap Astri.  “Dengar, aku tidak bisa memaafkan semua kesalahan yang kamu lakukan.  Kalau bukan karena ulahmu, maka Mas Agung masih tetap hidup hingga saat ini, aku tidak akan seperti ini.”
            “Mas Agung meninggal karena kamu meninggalkannya tanpa pamit, Sal.  Dia mulai menyadari cintanya untukmu ketika kamu malah meninggalkan dia.”
            “Tidak.  Dia adalah suamimu.  Dia merasa aman di bawah ketiakmu.  Dia selalu ingin melindungimu.  Apa saja dia lakukan agar kamu tidak merasa sakit.  Aku berdiri di depannya.  Melayani dan melakukan apa saja maunya, tapi dia tidak pernah merasa senang, dia selalu ingat kamu.  Padahal, apa hebatnya kamu, seorang wanita angkuh dan sombong.”
            “Cukup Sal.”  Suara Astri dingin.  Kemarahan telah membekukan kehangatan hatinya.  Dengan suara amat tenang dia meminta Sal meninggalkan rumah itu.  Bukannya menuruti kehendak Astri, Sal malah mendekat.  Saat itulah ada suara keras yang membelah langit, bersamaan dengan padamnya aliran listrik. 
            Dalam kegelapan yang tiba-tiba itu, Sal bertindak sangat cepat.  Dengan pisau kecil yang telah disiapkannya, dia menggores tangan Astri.  Ketika Astri memekik, dia telah menggigit ujung jarinya sendiri.  Setetes darah keluar, Sal mengoleskan darah itu pada luka yang terasa kasar di tangan Astri.  Dia menyeringai puas.
            Guntur menggelegar di luar sana.  Hujan deras turun dengan tiba-tiba.  Astri berseru marah, membentak Sal dan mengusirnya, dia menahan sakit karena luka yang terasa menggigit tangannya.  Ketika Pak Said, tukang kebun rumah itu datang dengan lampu darurat di tangannya, Astri tidak melihat Sal lagi.  Dia memekik ngeri melihat luka yang berdarah hebat pada lengan kirinya.  Luka itu sama sekali lain dengan luka parut bekas goresan ujung besi penyangga pot pada tangan kanannya.  Meskipun hampir sama panjang, tapi luka itu lebih dalam.  Astri meraba bekas luka goresan itu, basah.  Ada tanda tanya besar dalam kepalanya ketika diciumnya cairan yang menutup bekas luka yang sudah lama mengering itu.  Bau anyir darah.  Cepat-cepat dia mengoleskan ujung jarinya yang basah oleh darah pada rok yang dikenakannya.  Tentu darah dari luka yang dibuat Sal waktu gelap tadi, pikirnya.
            “Apa maunya orang itu.  Kenapa dia membawa pisau ke rumah ini.  Kenapa dia melukai tanganku?”  Ceracau Astri gugup.  Saat itu listrik kembali mengalir.  Ruangan yang tadi gelap, terang benderang.  Tapi Sal tidak ada dalam ruangan itu.  Dia sudah pergi, lagi-lagi, tanpa pamit.
                                                            ***
            Telepon di ruang kerja Astri berdering.  Dia mengangkat dengan mata masih terpaku pada layar monitor.  “Ya, ada apa Windy?”
            “Ibu,  ada telepon dari rumah sakit Bakti Husada Indonesia.  Ingin bicara langsung dengan Ibu.”
            “Sambungkan.”  Astri mengeryitkan dahinya.  Rumah sakit?  Seingatnya tidak ada teman atau kerabatnya yang sedang sakit.  “Hallo, ya saya sendiri. Apa?”
            Wajah Astri memucat.  Handel telepon merosot dari pegangannya.  Tulisan pada layor monitor tiba-tiba menjadi barisan semut yang memusingkan kepalanya.  Suara yang mengaku milik seorang dokter dari bagian penyakit menular rumah sakit itu terngiang-ngiang di kepalanya. 
            “Sal... ya ampun...”
                                                            ***
            Ruang isolasi itu merupakan sebuah ruang kaca yang betul-betul terlindung dari sekitarnya.  Ada satu tempat tidur yang terletak di dalam ruangan tiga kali empat meter itu.  Bau obat yang menyengat hidung, bercampur dengan aroma pembersih lantai suci hama.  Membuat aroma rumah sakit ini betul-betul steril.
            Astri merasa bulu kuduknya meremang ketika melihat sosok yang terbaring di tempat tidur ruang isolasi itu.  Begitu kurus, bagaikan tulang berbalut kulit.  Selang-selang infus menancap pada pergelangan tangan kiri kanannya.  Mulut yang setengah terbuka itu mengeluarkan suara yang mirip dengkuran.
            “Maaf Bu, kami harus memastikan Ibu tidak memiliki luka terbuka.  Untuk amannya, gunakan saja sarung tangan ini.  Jangan terlalu dekat dengan pasien.  Ibu mengerti apa akibatnya.”  Jelas seorang perawat yang berseragam putih bersih.  Bagaikan orang tolol,  Astri hanya mengangguk.
            Ketika tiba di tepi pembaringan, Astri tak kuasa menahan air matanya.  Sosok yang tinggal tulang berbalut kulit, dan menyebarkan bau busuk yang bercampur bau obat-obat sucihama, membuat perutnya terasa mual.  Seraut wajah amat kurus dengan mata yang menonjol keluar, menatapnya dengan sorot hampa. 
            “Kondisi Ibu Salimah sudah sangat parah, Bu.  Dia datang ke rumah sakit ini dalam kondisi yang sudah tidak memungkinkan tindakan pertolongan.  Anda tahu, AIDS merupakan penyakit yang masih belum terkalahkan oleh dunia kedokteran.  Beberapa obat memang bisa meringankan gejalanya.  Tapi tidak sepenuhnya menyembuhkan.  Sebenarnya, ketika gejala awal seperti pembengkakan kelenjar getah bening itu tampak, pasien harus segera menghubungi dokter.  Ibu Sal ini...”  Dokter Lusi, yang mendampingi Astri masuk ke ruang isolasi itu memberi sedikit penjelasan.
            “Apakah dia tidak bisa disembuhkan?”
            “Yang tahu hanya Tuhan, Bu.  Tapi melihat keadaannya...”  Dokter Lusi menggeleng lemah.  “Karena daya tahan tubuhnya sama sekali tidak bekerja, maka penyakit biasa yang pada orang lain tidak menyebabkan sesuatu yang fatal, pada penderita AIDS akan menjadi sesuatu yang amat fatal.  Batuk-batuk yang dideritanya selama ini, itu hanya infeksi biasa pada orang sehat.  Tapi karena daya tahan tubuhnya tidak bekerja, batuk-batuk itu menjadi penyakit mematikan.  Lalu diarenya...”
            “Kenapa setelah separah ini baru kami diberitahu, Dok?”
            “Ibu Salimah ini yang melarang.  Dia mengaku seorang diri di dunia ini.  Tidak punya keluarga sama sekali.  Tapi setelah kondisinya memburuk, dan pihak rumah sakit terpaksa menghubungi pihak bank yang ditunjuk oleh Ibu Sal ketika mulai masuk sebagai pasien, kami baru tahu kalau dia masih memiliki keluarga.”
            “Sudah berapa lama virus ini ada dalam tubuhnya?”
            “Sekitar dua tahun.  Memang, ada beberapa orang yang mengidap HIV untuk waktu yang lama tanpa ada gejala.  Seperti orang sehat saja.  Walaupun begitu, ada ciri khusus yang harus dicermati, berat badan yang menurun terus tanpa sebab pasti, diare yang terus-menerus, dan keringat berlebih pada malam hari.  Ketika masuk ke sini, Ibu Salimah sudah seperti tulang berbalut kulit, meskipun masih lebih gemuk daripada sekarang ini.”
            “Kami pikir itu karena psikotropika...”
            “Ya, itu tidak salah sepenuhnya...”
            “Tapi apakah dia tahu virus itu ada dalam tubuhnya?”
            “Tentu saja.  Dia memberikan hasil test  AIDS yang dikeluarkan sebuah rumah sakit HongKong.  Dia juga mengaku sudah menjalani seks bebas sejak dua puluh tahun yang lalu.”
            Astri merasa aliran darahnya seolah berhenti.  Luka itu...
                                                            ***
            Selama Sal menanti sang malaikat maut menjemputnya, hanya Astri yang setia menjenguk dan mendampinginya.  Dia selalu datang pagi sebelum berangkat ke kantor, dan sore sepulang dari kantor.  Kadang di saat makan siang dia menyempatkan diri untuk menjenguk Sal. 
            Dengan penuh kasih dia berdoa untuk Sal.  Meskipun dengan masker pelindung, tangan dibungkus sarung tangan, dia tetap tidak kehilangan kehangatan yang ingin ditunjukkannya pada Sal.
            Sesekali Sal mengenalinya, tetapi lebih banyak tidak.  Dia hanya menatap kosong dan hampa.  Beberapa kali Astri menemukan setitik air mata di ujung mata Sal.  Tetapi tidak pernah lebih dari itu.  Sal sudah kehilangan emosi yang dimilikinya selama ini.  Dendam dan amarahnya pada Astri menguap entah kemana.
            Riris , Jojo dan keluarga Sal, semua sudah tahu penyakit yang diderita Sal.  Tetapi yang mau menjenguknya ke ruang isolasi, hanyalah Jojo dan Mak Jah, ibunya.  Riris tidak mau, karena memang dia tidak akan bisa melihat keadaan ibunya.  Mengharapkan mendengar suara Sal, itu tidak mungkin lagi.
            Astri yang paling sering mendampingi Sal.  Bahkan saat-saat akhir kehidupannya, Astri yang ada di sisi Sal.   Dengan tangan Sal dalam genggamannya, dan doa yang dinaikkannya sepenuh hati, Astri melepas kepergian Sal.  Kepergian seorang wanita yang telah merusak sebagian hidupnya.  Tetapi karena Sal juga dia punya semua ini.  Keluarga yang mencintainya, anak-anak yang setengah memujanya, dan tentu saja, kekayaan batin.
            Kesibukan merawat Sal sempat membuatnya mengabaikan test HIV yang dilakukannya.  Astri tahu Sal mencoba melukainya untuk menularkan HIV yang ada dalam darahnya.  Tidak dikatakannya hal itu pada siapapun.  Dia tidak mau Sal yang telah terbaring lemah tanpa daya, masih harus menanggung amarah orang-orang yang merasa muak dengan usahanya menyakiti Astri.  Maka, dia melakukan test itu dengan diam-diam.  Dalam hatinya, Astri hampir yakin bahwa Tuhan pasti tidak akan membiarkan virus jahanam itu menyusup dalam tubuhnya. 
            Dua kali test yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu, keduanya negatif.  Sal tidak berhasil melaksanakan misinya yang terakhir. 
            Setelah agak lama Sal meninggal, Astri merenungkan kembali sore berselimut awan tebal itu.  Saat aliran listrik mendadak padam dan Sal melukainya dengan pisau.  Dia bisa mendengar gelegar kilat itu, dia bisa merasakan bau anyir darah pada hidungnya.  Saat itu dia sadar, Sal telah salah melakukan proses penularan itu.
            Astri menaikkan lengan bajunya ke atas siku, mengamati dua luka memanjang yang ada di kedua belah tangannya.  Luka di tangan kiri, adalah luka lama, karena tergores ujung besi penyangga pot bunga.  Luka di tangan kanan, adalah luka yang dibuat Sal.  Saat itu tiba-tiba saja lampu padam.  Entah karena aliran listrik memang padam atau karena dipadamkan oleh Sal, Astri tak tahu pasti.  Tapi yang jelas, Sal telah mencoba melukainya dan menularkan virus mematikan itu pada luka itu.  Sungguh suatu kebetulan dua minggu sebelumnya dia terluka karena goresan ujung besi penyangga pot .  Dalam kegelapan, Sal tak bisa membedakan kedua luka itu.  Yang terasa olehnya hanyalah parut luka.  Dia telah mencoba memasukkan HIV itu lewat bekas luka yang telah sembuh, hanya meninggalkan parut memanjang pada lengan kirinya.  Kalau saja hal itu dilakukannya luka yang baru dibuatnya, mungkin...  Astri tidak mau membayangkan hal itu lagi.
                                                            ***
            Riris berputar sekali dengan gaun pengantin yang melekat indah di tubuh rampingnya.  Gaun putih bersih dengan hiasan gemerlap itu membuatnya seperti seorang ratu negeri dongeng.  Rambutnya yang hitam legam disanggul ke atas dan dihiasi mahkota bertatahkan permata.  Lima menit lagi dia akan masuk dalam mobil pengantin yang akan membawanya ke gereja, tempat pemberkatan pernikahan diberikan.
            “Cantik nggak sih?”  Rajuknya sekali lagi.
            Astri tertawa kecil.  “Tentu saja... kamu sangat cantik sekali, Sayang.”
            “Mama... “  Riris menunduk dan mengecup kening Astri.  “Kalau bukan karena Mama, mungkin saat seindah ini tidak akan pernah hadir dalam kehidupan seorang gadis buta seperti Riris.”
            “Berhentilah menyebut dirimu seperti itu, Riris.  Paling lama empat puluh menit lagi kamu akan menyandang predikat Nyonya Adolf Parinussa.”  Tegur Astri tegas.  “Kamu sudah berjanji.  Mau ingkar ya?”
            “Nggak lah yaooo....”
            Setelah satu tahun berpacaran, dua tahun tiga bulan, bertunangan, akhirnya Marissa menikah juga dengan Adolf.  Semua orang turut bahagia.  Termasuk Jojo yang sampai saat adiknya resmi menjadi Nyonya Adolf, belum juga punya seorang calon istri.
            “Jo, kapan nih nyusul Riris.  Nanti Riris sudah punya cucu, kamu baru menimang anak pertama.”  Ledek beberapa tamu yang datang.
            “Tenang saja, hari masih terlalu siang.”  Jawab Jojo tersenyum.
            “Aku dengar kamu cari yang seperti ibumu ya?  Wah, itu sih namanya oeidipus complex.  Kelainan tahu!”
            “Rasanya standar yang kamu tetapkan terlalu tinggi, Jo.  Mana mungkin ada seorang wanita yang seperti ibumu?  Dia terlalu hebat, iya kan?”
            “Nothing compares to her.”
            Jojo menatap ibunya yang tengah menyalami tamu-tamu pada pesta pernikahan adiknya itu.  Begitu cantik, begitu baik.  Mungkin mereka semua benar, ibunya tiada bandingnya.
            “Bang Jojo...”  Sebuah suara merdu menyapa indra pendengarannya.  Dia menatap si pemilik suara, dan terpana dalam kekaguman.
            Ivonne tampil memikat dengan gaun malam berwarna putih gemerlap.  Rambutnya disanggul dan dihiasi mutiara putih.  Seuntai kalung mutiara melingkar di leher jenjangnya.  Dua tahun dia tidak bertemu dengan Ivonne, sejak anak kecil itu melanjutkan kuliahnya di California.  Sekarang, Ivonne telah jauh berubah.
            “Kenapa?”  Bola mata Ivonne membulat ketika mendapati tatapan Jojo yang berlumur rasa kagum dan heran.
            “Ivonne...”  Jojo tak sanggup mengeluarkan  sepatah kata saja.  Ketika tatapan matanya bertemu dengan sorot mata Ivonne yang penuh kedewasaan, dia tahu, dia sudah menemukan seorang calon istri.  Debar-debar cinta yang dulu ditepisnya jauh karena sifat manja Ivonne, kini menyeruak kembali. 
            “Hei... jangan salah memanggil Ivonne ini Mama Astri...  Ivonne bukan mama Astri lho!”  Ivonne tersenyum manis.  “Tapi Ivonne mau belajar banyak pada Tante Astri.  Everything can be learned, betul kan?”
            Jojo ingin mengangkat Ivonne tinggi-tinggi dan memperkenalkannya sebagai calon mempelainya.  Saat ini juga, di depan sekian banyak tamu.  Tapi dia sangat sadar, masih banyak waktu yang tersedia baginya.  Dia menatap Ivonne, meraih jemari gadis itu dalam genggamannya.
            “Terimakasih, Iv.” 
            Astri masih di sana, sibuk dengan tamu-tamu yang menyatakan kebahagiaan mereka.  Dengan ekor matanya dia tahu tangan Jojo dan Ivonne saling menggenggam, seperti dua hati mereka yang telah bertaut.  Astri menyadari bahwa anak lelakinya yang gagah telah menemukan tambatan hatinya.  Dia merasa sangat lega.  Kebahagiaan begitu menenggelamkannya, sampai dia ingin tertawa keras dan menyanyi keras-keras.  Memuji Tuhan yang telah mengaruniakan segala berkah ini padanya.
            Sesungguhnya, bukankah jalan hidup manusia terbuka di hadapan Tuhan?  Mereka yang berhati lurus dan baik, mana mungkin menuai petaka yang tidak pernah disemaikannya?  Kalau mengatur seisi alam semesta yang agung ini saja DIA sanggup, apa sulitnya mengatur kehidupan seorang anak manusia?
            Langit cerah bulan Juni berhiaskan ribuan bintang yang gemerlap.  Masing-masing dengan kilaunya yang cemerlang.  Setiap anak manusia punya kehidupan sendiri.  Tidak pernah ada satu kehidupan yang sama persis dengan kehidupan lainnya.  Tetapi satu hal yang pasti, tidak ada satupun terjadi pada hidup seseorang, jika Tuhan tidak menghendakinya.  Mungkin terjal dan berduri jalan yang harus ditempuh, tetapi kalau akhir yang menanti adalah kebahagian, apalah artinya batu karang terjal dan duri-duri tajam sekalipun?

Tak Selamanya Mendung Itu Kelabu Bagian Delapan


Dua minggu setelah telepon aneh itu, Riris kembali menerima telepon.  Dari orang yang sama, dengan suara yang sama dan kalimat yang sama.  Riris betul-betul merasa terganggu.  Kekasihnya baru saja berangkat ke USA.  Untuk waktu dua tahun dia tidak akan bertemu langsung dengan Adolf.  Seharusnya mereka bisa chatting lewat internet.  Tapi  Riris tidak bisa melihat tulisan di layar monitor.  Minta tolong pada Jojo, wah, bisa habis dia diledek abang tersayangnya itu.
            Satu-satunya cara adalah telepon.  Karena di kamarnya tidak dipasang pesawat telepon, dia sendiri yang menolak ketika Astri akan memasang saluran telepon paralel di kamarnya, Riris jadi setia duduk di ruang tengah, tempat pesawat telepon itu berada.  Ketika telepon berdering sore itu, dia langsung mengangkatnya dengan antusias.
            “Hallo...”
            “Riris Sayang, ini Mama Nak, jangan tutup teleponnya ya....Mama kangen dengar suara Riris.”
            Riris merasa sangat kesal hingga dia tidak hanya menutup telepon itu, tetapi nyaris membantingnya.  Orang gila itu lagi. Apa untungnya sih mengaku-ngaku Mama Riris?  Semua orang juga tahu kalau Marissa Salungasari itu anak kandung Ibu Astrina Dewanti, peraih gelar Wanita Citra tahun lalu.  Mana mungkin ada ibu lain yang melahirkannya?  Memangnya melahirkan seorang anak itu bisa patungan, seperti membuka perusahaan saja.
            Astri yang baru saja mandi, melihat tingkah Riris itu.  “Riris... telepon itu kenapa harus dihempaskan demikian keras?  Siapa yang telepon?”
            “Orang gila itu lagi, Ma.   Yang ngaku-aku Mamanya Riris.  Heran, baru sekali ini ada penggemar yang nggak waras.”
            “Mengaku Mamanya Riris?”  Astri mendekat ke meja telepon.  Diaktifkannya tombol pelacak, sejenak kemudian di layar kecil pada pesawat telepon muncul sederet angka.  Angka-angka itu adalah nomor telepon yang baru saja menghubungi nomor mereka.  Astri mengernyitkan dahinya.  Nomor telepon itu agak janggal.  Tampaknya orang itu menelpon dari telepon umum.  Atau dari wartel.
                                                            ***
            Setelah gagal mengajak anaknya bicara, Salimah akhirnya menghubungi  Astri. 
            Mencari nama, alamat dan nomor telepon Astri ternyata sangat mudah.  Salimah hanya perlu membuka buku petunjuk telepon setempat.  Nama Astrina Dewanti tertulis dengan amat bagusnya.  Berikut alamat dan nomor teleponnya.  Dalam waktu satu minggu dia berhasil menemukan alamat itu, serta menghubungi nomor teleponnya.
            Sal, dengan sisa uang yang dibawanya dari HongKong, menyewa kamar di rumah yang memang khusus untuk pondokan.  Asalkan cukup berhemat, uangnya akan cukup untuk hidupnya dan pengobatannya, enam tahun lagi.  Kalau bisa.
            Pertama kali menghubungi nomor telepon Astri, dia sengaja mencari Riris.  Dia melihat foto Riris pada sebuah majalah remaja.  Seorang gadis yang amat cantik, alisnya melengkung indah seperti alis Agung.  Senyum sinisnya juga milik Agung.  Tapi matanya yang bulat indah, dan hidungnya yang agak mencuat ke atas, serta bentuk wajahnya yang hati, tak pelak lagi, itu diwarisinya dari Sal.  Sal tergugu saat melihat foto itu.  Sampai kusut majalah yang memuat tentang anaknya itu dia baca berulang kali.  Dia merasa hatinya sakit sekali ketika melihat foto Riris dan Astri.  Di bawah foto itu tertulis ‘bagi Riris, ibunya adalah sosok sempurna seorang ibu, sahabat, guru dan panutan’.  Sempurna.  Mengapa perempuan itu meraih semua yang ingin dimilikinya?  Dia sama sekali tidak ingat betapa dia telah menelantarkan Riris ketika usianya baru enam bulan kurang.
            Mendengar suara Riris yang jernih dan merdu, ada satu keinginan yang amat kuat dalam dirinya.  Riris harus tahu bahwa Astri bukan ibu yang telah melahirkannya.  Salimah, ibu kandungnya.  Riris tidak boleh tidak tahu hal itu.
            Setelah dua kali ditolak oleh Riris, Sal akhirnya menghubungi Astri.  Dengan suara dibuat ramah, dia mengaku sebagai seorang teman lama.  Setelah teleponnya tersambung dengan Astri, suara ramah itu berubah seratus delapan puluh derajat.
            “Astri, ini aku, Salimah.  Kamu masih ingat aku?”
            “Sal...”  Astri merasa seluruh tubuhnya lemas.  “Di mana kamu?”
            “Aku datang dari neraka untuk menuntut semua milikku dikembalikan.”
            “Sal... dengarkan aku dulu.  Kita harus bicara tentang banyak hal.  Bisakah kita bertemu?”
            “Mengapa tidak?  Cepat atau lambat kita harus bertemu.  Kamu harus mengembalikan semua milikku yang telah kamu ambil dengan paksa.  Terutama, Riris.”
            “Riris...”
            “Dia harus tahu bahwa akulah yang melahirkannya.  Bukan kamu.  Dengar Astri, kamu harus tahu, aku kembali dengan api dendam yang berkobar.  Aku akan menghanguskan kamu dan membuat kamu melata di tanah.  Percayalah, banyak yang sudah kupelajari tentang pembalasan dendam.  Kamu, adalah kelinci percobaanku yang kesekian.  Percayalah, aku bukan Salimah lugu yang dulu kamu kenal.”
            “Sal...”
            “Aku tunggu kamu di kafe Bulan Purnama.  Kamu tahu tempatnya kan?  Jangan sampai tidak datang.  Karena aku pasti mencarimu.”  Sal menutup pembicaraan itu.
            Astri meletakkan telepon ke tempatnya.  Kedua telapak tangannya terasa dingin.  Jadi dugaannya betul.  Penelpon yang dianggap orang gila oleh Riris, adalah Sal.  Sal kembali.  Setelah dua puluh tahun tanpa kabar berita.  Sekarang, apa yang harus dilakukannya?
            “Windy, batalkan semua acaraku sampai besok.  Ada masalah penting yang harus kutangani sendiri.  Jadwalkan kembali pertemuan yang memang penting.  Jika kurang begitu mendesak, tunda pertemuan hingga waktu yang kutentukan kemudian.”  Astri memberi perintah pada sekretarisnya.  Mimpi gelap pekat itu akhirnya menjadi kenyataan.  Astri sama sekali tidak takut.  Dia akan menghadapi Sal.  Dia hanya merawat apa yang ditinggalkan Sal.  Jika Sal ingin mengambilnya kembali, apa yang harus ditakutkannya?  Cuma satu hal yang membuat Astri takut.  Bagaimana menceritakan semua ini pada Riris?  Dia begitu bahagia setelah pertunangannya.  Akankah kebahagiaan itu rusak karena sebuah kenyataan yang baru terbuka setelah dua puluh tahun?
                                                                        ***
            “Kamu telah merusak hidupku, Astri.”
            “Oh ya...?”  Astri menarik nafas panjang.  Mencoba menekan kemarahannya dalam-dalam.  Dia agak terkejut melihat keadaan Sal sekarang.  Selain tampak lebih tua dari usia sebenarnya, Sal juga tampak sangat kurus.  Beberapa kali dia tampak gemetar.  Astri menduga, Sal pasti seorang pemakai psikotropika.  Tampak jelas dari sinar matanya yang redup dan posturnya yang ringkih.  “Kamu meninggalkan Agung, Riris, dan kedua orang tuamu.  Kamu lakukan begitu saja, seolah yang kamu tinggalkan adalah seonggok sampah yang tak ada gunanya.  Kamu tahu, Agung memilih untuk mengakhiri hidupnya karena kepergianmu.”
            “Heh, bukannya karena kamu terlalu tinggi untuk hidup dimadu denganku?  Dengar Astri, kalau saja kamu mau berbagi Agung denganku, semua bencana ini tidak akan pernah terjadi.  Agung tetap bersama kita.  Hidupku tidak akan berantakan seperti ini.”  Tiba-tiba saja Sal menangis.  Sosok tegar dan keras yang berusaha ditampilkannya, menguap entah kemana.  “Sekarang aku kehilangan semua.  Semua.  Suami, anak, orang tua, dan hidupku.”
            “Hidupmu belum berakhir, Sal.  Pelan-pelan kita akan menjelaskan semuanya pada Riris.  Aku percaya, dengan penjelasan yang amat sabar, kamu akan kembali memperoleh anakmu yang hilang.”
            “Kenapa aku harus percaya padamu?  Kamu punya kesempatan dua puluh tahun untuk mengatakan pada Riris bahwa kamu bukan ibu kandungnya.  Tapi kamu tidak melakukannya.  Kenapa?  Kamu memang tidak puas dengan Jojo kan?  Kamu ingin mengambil milikku satu-satunya.  Pemberian Agung yang merupakan bukti cintanya padaku?”
            “Sama sekali tidak, Sal.  Aku pernah mencoba memberitahu Riris tentang dirimu.  Tapi Mak melarang.”
            “Oh ya?  Apa yang telah kaujejalkan dalam benak ibu kandungku, As?  Begitu pintarnya kamu berbohong, hingga keluargaku jadi memandangmu seperti malaikat?”
            “Aku tidak melakukan apapun, Sal.”
            “Baik, aku akan menghubungi Mak dan Bapak.  Juga seluruh keluarga besarku.  Kamu tahu, kamu tidak punya siapa-siapa yang bisa melindungimu.  Kamu seorang diri di dunia ini, Astri.  Kamu seorang diri.  Itu yang menjadi pilihanmu dua puluh satu tahun yang lalu.  Seharusnya kamu menerima aku sebagai madu, dengan begitu aku akan memanggilmu ‘Mbak’ dan kamu akan punya banyak saudara, saudaraku...  Sekarang semua itu tidak akan pernah kamu miliki.  Satu-satunya milikmu adalah Jojo.”  Sal menjebikan bibirnya.  “Dan aku sangsi, apakah dia akan tetap menyayangimu setelah tahu bahwa kamu yang memilih untuk meninggalkan ayahnya.  Kamulah yang menyebabkan Agung bunuh diri, bukan aku.  Kamu penyebabnya!”  Sal berdiri.  Matanya bagaikan sepasang bola api yang menghujam tajam pada Astri.  “Kamu akan merasakan pembalasanku, Sayang.”  Lalu dia berbicara dalam bahasa asing yang tidak dikenal Astri.  Saat itu Astri baru sadar, Sal berada dalam pengaruh psikotropika.  Entah apa yang diminum, atau disuntikkannya.  Dia tampak sama sekali bukan seperti Sal.
            “Duduk Sal.”  Astri bersikap tegas, ditariknya tangan Sal agar duduk kembali.  “Kita akan bicarakan ini baik-baik bersama seluruh keluargamu, keluargaku juga.  Kita akan cari pemecahan yang terbaik bagi kita semua, terutama bagi Riris.”
            “Kamu sungguh-sungguh?”
            “Sal, kematian Agung sudah menyadarkan aku.  Tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi.  Kamu adalah istri Agung, seperti aku juga.  Kenapa tidak memilih jalan damai?”
                                                            ***
            Dukungan yang diharapkan Sal dari keluarganya, sama sekali tidak ada wujudnya.  Mulai dari Pak Saturi sampai kemenakannya yang paling kecil ketika dia pergi, kesayangannya, Pita, semua malah menyalahkan Sal.
            “Sal, kamu sudah diberi kesempatan.  Kamu membuang kesempatan itu.  Kamu meninggalkan semua yang seharusnya kamu jaga.  Kamu membiarkan kebodohanmu memperdayakan dirimu sendiri.  Astri hanya menolongmu.”
            “Sal, kalau ingat saat itu, saat Riris menangis keras dan kamu menolak untuk menyusuinya... Kamu menudingnya dengan tangan teracung, matamu membara ketika menyebut Riris sebagai dosa yang tidak terampunkan... Mak sangat sakit hati, Sal.”
            “Kalau kamu tidak pergi, mungkin Agung tidak akan melakukan perbuatan bodoh itu.  Dia akan tetap menjadi suamimu.  Berdua kalian bisa merawat dan membesarkan Riris.  Tetapi karena kecerobohanmu, semua jadi berantakan.”
            “Dua puluh tahun, Sal.  Dua puluh tahun tanpa kabar berita.  Kamu sudah dianggap hilang oleh kami semua.  Kenapa kamu pulang lagi Sal?  Apa yang ingin kamu lakukan?”
            “Ada deposito atas namamu.  Astri telah mengatur semuanya yang terbaik.  Rumah tinggal itu telah dijual dan hasilnya dibagi dengan sangat adil.  Kamu tidak berhak protes atas semua itu.”
            “Perusahaan itu milik Agung.  Bukan milikmu.  Agung merintis perusahaan itu saat masih bersama Astri.  Sudah menjadi hak Astri untuk mengelola dan memiliki perusahaan itu.  Masih untung kami ini diberi saham.  Kamu tahu, tanpa turun tangan Astri dan temannya, Amanda, perusahaan itu akan gulung tikar.”
            “Sekarang kamu ingin kembali dan merampas semua yang menjadi hakmu?  Itu yang kamu mau?  Hak apa sebenarnya yang kamu miliki Sal?  Kenapa kamu kembali ke Indonesia?  Apakah HongKong sudah terlalu sempit bagimu?”
            “Diam!”  Suara Sal menggelegar.  Dia menatap seluruh yang hadir di ruangan itu dengan mata membara.  Mereka memakai ruang pertemuan di kantor Astri.  Tidak mungkin membahas masalah ini di rumah, di mana Riris dan Jojo ada dan pasti mendengar semuanya.  Ayah, Ibu, kakak-kakaknya, adik-adiknya, kemenakannya, semua orang yang amat disayanginya.  Sekarang mereka semua seolah menudingnya.  Semua membencinya.
            “Kalian memandang aku seolah aku ini lumpur kotor yang menjijikkan.  Kemana keluargaku yang sangat kucintai?  Mana kemenakan-kemenakan yang melonjak-lonjak senang jika kuajak jalan-jalan itu?  Mana adikku yang pernah punya cita-cita menjadi nyonya besar seperti aku?”  Sal terduduk di kursi.  Matanya nyalang menatap Astri.  “Kamu... kamu yang telah merebut semua milikku.  Hei, kamu tahu, aku dilahirkan dalam keluarga miskin harta, tapi kami tidak miskin kasih sayang.  Mereka semua sayang padaku.  Apa...apa yang yang kau berikan pada mereka?  Apa... Astri... mengapa mereka sekarang membenciku?”  Salimah menangis meraung-raung.  Untung saja pertemuan itu diadakan malam hari.  Dalam ruang rapat yang kedap suara.  Jika tidak, tentu akan membuat banyak orang heran sekaligus ingin tahu.
            “Lek, bukan Tante Astri yang merebutnya.  Lek yang telah merebut milik Tante Astri, lalu meninggalkannya begitu saja.  Lek seperti seekor binatang buas yang merebut mangsa sesamanya, lalu meninggalkannya begitu saja.  Apa salahnya jika pemilik yang sah mengambil kembali miliknya?”  Suara bening Pita, kemenakan kesayangan Sal.  Dia telah meraih gelar sarjana ekonomi dan bekerja di sebuah instansi pemerintah dengan kedudukan yang bagus.  Dia sangat sadar, tanpa dukungan Astri, hal itu tidak mungkin jadi miliknya.
            Mendengar itu, mata Sal nyalang menatap Astri.  Astri bisa melihat gelegak dendam di dalam mata hitam kelam itu.  Astri ingin merengkuh bahu Sal, memeluknya jika mungkin.  Apa saja ingin dilakukannya agar Sal tidak begitu marah.  Astri sudah kehilangan amarahnya.  Dia melihat kepedihan yang telah merobek-robek Sal.  Tidak ada lagi amarah dan dendam yang perlu dipertahankan.  Mereka, dia dan Sal, sudah tidak muda lagi.  Lelaki yang menjadi pusat pertikaian mereka, sudah lama tiada.  Astri tidak melihat kebaikan sebuah pertikaian di antara dirinya dengan Sal.  Tetapi Sal berpendapat lain.
            “Kalian semua boleh membelanya.  Kalian semua sudah kenyang makan racun yang dijejalkan perempuan ini.  Semua kebaikannya itu palsu.  Semuanya palsu.  Kalian cuma mau uang.  Iya kan?  Seperti kata Mas Agung dulu, keluarga kita memang cuma mau uang.”  Sal membuka tas tangannya.  Dilemparkannya segebok uang ke atas meja.  Bersusah payah dia menabung uang hasil kerjanya itu.  Dengan harapan satu saat dia akan kembali ke Indonesia dan memberikan hasil keringatnya itu pada keluarganya.  “Ini uang itu.  Kalian mau tahu apa kerjaku di luar negeri sana?  Aku ini pelacur.  Dengar kalian, aku melacurkan diri.  Agar aku kelak bisa kembali sebagai seorang wanita kaya, dan mengembalikan semua uang Mas Agung yang telah kalian habiskan.  Aku membiarkan banyak lelaki menggali kenikmatan dari tubuhku.  Aku melakukannya untuk kalian.  Tapi apa yang kalian lakukan?”  Sal menjadi kalap.  Sejenak kemudian, dia mengeluarkan sebuah pisau lipat dan mulai mengiris-ngiris tangannya.  Dengan ganas dia menjilat darahnya sendiri.  Sejenak kemudian dia mulai tenang.  Beberapa kakaknya lelaki yang akan memberi pertolongan, mengurungkan niat mereka.  Mereka semuanya terpaku menyadari bekas luka sayatan pisau itu tidak hanya satu atau dua.  Banyak sekali garis-garis yang membekas pada kedua tangan Sal.
            “Dia seorang pecandu narkotika.  Apa yang dipakainya?” 
            “Dia pasti pakai morfin dosis tinggi.  Lihat, dia langsung tenang setelah menjilat darahnya sendiri.”
            Ketika seorang kakak lelakinya akan mengangkat tubuhnya, Sal berontak.  “Aku masih bisa jalan sendiri.  Pergi kalian.  Kalian semuanya tidak berguna.  Kalian semua sialan!”  Setelah itu Sal mulai bicara dalam bahasa asing.  Mukanya memucat, tetapi tampak sekali dia mulai merasa tenang.  Suaranya makin pelahan, akhirnya dia tertidur.
            “Banyak yang telah berubah pada diri Sal.  Kita semua harus berusaha keras untuk memulihkan keadaannya menjadi seperti dulu lagi.”  Astri mendengar suaranya sendiri berkata.  Dilihatnya beberapa orang dalam ruangan itu mengangguk setuju.  “Mungkin butuh waktu yang sangat lama untuk menyembuhkan Sal.”
            “Sal tidak gila kan, Nak?”  Pak Saturi membuka suaranya, untuk pertama kalinya dalam ruangan itu.  Dia sama sekali tidak mempercayai penglihatannya sendiri.  Sal, anak perempuannya yang tercantik, apa yang sebenarnya menimpa anak itu?
            “Oalah Pak...Pak, tentu saja tidak.  Dia itu tidak bisa terima kita semua jadi dekat pada Nak Astri.  Hatinya itu jahat.  Sejak dulu aku sudah bilang, kalau sudah punya anak tidak boleh jahat.  Nanti anaknya yang kasihan.  Dia itu nggak pernah menurut.  Untungnya Riris dianggap anak oleh Nak Astri, jadi pengaruh dosa ibunya tidak ada ...”  Mbok Jah nyerocos dengan suara serak.
            “Sudahlah Mak, kita angkat dia ke sofa.  Biar dia berbaring sebentar di sana.  Setelah pikirannya tenang, Mas Pardi atau Mas Sofyan bisa mengantarnya pulang.  Katanya dia menyewa kamar di Jalan Puspo.”  Astri mengambil keputusan.
***
            Kamar itu penuh asap rokok.  Seluruh ventilasi tertutup rapat.  Hanya ada satu celah kecil di langit-langit yang membuat asap rokok itu seperti berebut melewatinya.  Tirai-tirai yang diturunkan menutupi jendela kaca, membuat ruangan itu remang-remang meskipun di luar hari masih siang dengan sang surya bersinar terang.
            Beberapa kali terdengar suara batuk kering.  Tetapi asap rokok tak juga berhenti dihembuskan. 
            Salimah meluruskan kakinya di atas lantai.  Dia hanya mengenakan kaos oblong yang panjangnya mencapai lutut.  Wajahnya antara pucat dan kebiruan.  Dulu, dia lebih suka menenggak minuman keras atau menghisap kokain.  Sekarang, dia merasa rokok lebih baik.  Kesehatannya terus menurun, dan dendamnya belum terbalas.  Dia harus bertahan hidup untuk satu tujuan, membuat Astri lebih menderita daripada dirinya.
            Keputusan keluarganya sudah bulat.  Sal tidak diijinkan memperkenalkan diri sebagai ibu kandung Riris.  Tidak ada yang menginginkan kehancuran seorang gadis muda yang tengah menata kehidupannya baik-baik.  Beberapa kali Sal mencoba menemui anaknya.  Tapi kesempatan itu tidak pernah ada.  Riris dijaga dengan sangat baik oleh, sepupu-sepupunya, kemenakan Sal.  Berbagai cara diusahakan oleh mereka semua agar Riris tidak merasa curiga, tetapi tetap terlindung dari Sal.
            Sesungguhnya tidak banyak yang diinginkan Sal.  Dia hanya ingin anaknya memanggil dia ibu.  Ketika ditinggalkannya dulu, Riris cuma bisa tersenyum manis dengan beberapa kalimat tanpa arti yang keluar dari bibir mungilnya.
            Dia mencoba menelepon.  Beberapa kali Riris yang menerima.  Tapi begitu Sal mencoba mengatakan bahwa dia adalah ibu kandung Riris, telepon itu ditutup.  Sal tahu, Riris menganggapnya orang gila. 
            Sal mematikan rokoknya yang tinggal dua sentimeter.  Lalu menyulut sebatang lagi.  Dia mencoba melupakan pesan dokter yang menanganinya di HongKong.  Rokok hanya mempercepat menjalarnya penyakit yang dideritanya.  Tetapi efeknya agak lebih ringan dibandingkan efek minuman keras dan psikotropika.  Sal merasa tubuhnya masih cukup kuat untuk menetralisir bahaya akibat rokok yang berlebihan.
            Pikirannya melayang ke HongKong.  Ke sebuah rumah sakit ternama di sana.  Dokter Wei yang merawatnya, meyakinkan dia bahwa dia masih memiliki peluang besar untuk hidup agak lama.  Asalkan saja menjauhkan rokok dan morfin, dua sahabat setianya.  Tetapi Sal meremehkan nasehat itu.  Dia tidak melihat untungnya hidup lebih lama dengan kondisi tubuhnya yang akan semakin memburuk.
            “Positif.”  Kata pendek itu telah mengubah seluruh kehidupannya.  Teman-temannya dilanda musim test HIV.  Para gadis penghibur itu melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mengetahui apakah mereka menderita suatu penyakit tertentu.  Dua diantara mereka dinyatakan positif mengidap HIV, salah satunya adalah Sal.
            Malam setelah vonis itu dijatuhkan, Sal hanya memiliki satu rencana.  Waktunya tidak banyak.  Dia harus kembali ke Indonesia dan membereskan semua permasalahan yang dibuatnya dengan Agung.  Dia akan mencoba minta maaf pada Agung dan kedua orang tuanya.  Sal tahu apa yang menimpa gadis-gadis penghibur yang meninggal di negeri seperti HongKong.  Jika mereka tidak punya keluarga, jenazah mereka akan dibiarkan selama berminggu-minggu dalam laci beku kamar jenazah.  Setelah jangka waktu tertentu terlewati, jenazah itu akan dikremasi sebagai jenazah Mrs. X.  Sal tidak mau itu menimpa dirinya.  Dia ingin dikuburkan secara baik-baik.  Mungkin, kalau saja penyakit jahat itu tidak terdapat dalam tubuhnya, Sal tidak akan berhenti menjadi wanita penghibur. 
            Ada HIV dalam darahnya.  Waktunya tidak akan lama lagi.  HIV itu sudah ada di sana untuk waktu yang cukup lama, tanpa Sal menyadarinya.  Sal memang selalu mengambil tindakan preventif, setelah dia mendapat penyuluhan tentang cara-cara penularan HIV.  Tapi sebelum itu, dia melakukan semua secara bebas dan tanpa pengaman sama sekali.  Kebiasaannya pesta psikotropika bersama beberapa orang teman, bisa juga membuatnya tertular virus mematikan itu.  Sekarang semua sudah terjadi, tidak ada yang bisa diperbaiki.
            Sal menyulut sebatang rokok lagi.  Mungkin tidak sampai satu tahun waktu yang diberikan Tuhan padanya.  Sal tidak mau ada orang tahu dia terkena HIV sebelum kesehatannya betul-betul memburuk.  Semula, dia ingin melakukan pengobatan diam-diam, dengan sisa uang yang ditabungnya selama ini.  Tetapi berita tentang kematian Agung, berpihaknya seluruh keluarganya pada Astri, telah mengubah niatnya.  Satu-satunya motivasi hidup Sal saat ini adalah membuat Astri menderita, kalau bisa lebih besar dari penderitaan yang dirasakannya selama ini.
            Sal melihat Astri begitu cantik, matang, dan sehat.  Dia tidak suka itu.  Satu pikiran jahat menyusup dalam otaknya.  Menularkan HIV semudah menularkan kotoran pada tangan.  Asal saja ada luka terbuka pada tubuh Astri, dia akan bisa mengoleskan darahnya pada luka itu.  Darahnya yang terinfeksi HIV akan bercampur dengan darah Astri.  Lalu  enam bulan kemudian, Astri akan terkejut menyadari bahwa dirinya telah terinfeksi HIV.  Sal tersenyum puas.  Dia akan mendahului Astri masuk ke liang lahat, tapi akan dipastikannya Astri segera menyusul.  Bagaimana cara terbaik?
            Dengan kapasitas otaknya yang tidak terlalu besar, ditambah kondisi kesehatan yang mulai memburuk, Sal mencoba menemukan cara terbaik. 
                                                                        ***
            Astri menatap putrinya yang tengah memainkan sebuah lagu manis pada pianonya.  Jemari lentik Riris seolah memiliki sepuluh mata yang bisa melihat setiap tuts dengan jelas.  Lincah jemari itu bermain di atas tuts-tuts piano.  Suaranya yang bening meningkahi dengan lembut.  Astri bangga.  Tetapi ada rasa tidak enak yang menyusup dalam lubuk hatinya.
            Riris adalah anaknya, karena dia yang membesarkannya setelah anak itu lahir ke dunia.  Namun, yang lebih berhak di sebut ibu adalah Salimah.  Wanita itu telah mengandung Riris sembilan bulan sepuluh hari, mungkin lebih.  Melahirkannya menjenguk dunia ini dengan segala rasa sakit dan perjuangan.  Tanpa Salimah, mungkin Riris tidak akan pernah ada.  Semua bakat yang ada dalam diri Riris, memang muncul setelah Astri memberinya kesempatan.  Toh, bakat itu sudah ada dalam dirinya, mungkin saja diwarisinya dari Sal.  Siapa tahu? 
            Astri menghela nafas panjang.  Disibakkannya rambut yang menutupi sebagian keningnya.  Keluarga Sal dan ibu mertuanya, melarang keras untuk memberitahu Riris tentang ibu kandungnya.  Tetapi hati nurani Astri menolaknya.  Riris harus tahu.  Keadaan Sal saat ini sangat tertekan.  Dia merasa semua orang memusuhinya.  Kalau Riris mau menerima keadaan yang menyebabkan Sal meninggalkannya dulu, dan memberikan sedikit saja perhatian pada Sal, mungkin saja Sal akan merasa lebih baik.
            “Riris...”  Panggilnya pelahan.  Riris menghentikan gerakan jemarinya di atas piano.  Memutar kursinya dan menghadap ke arah Astri.  “Sini, dekat Mama.  Ada yang mau Mama ceritakan pada Riris.”
            Riris berjalan mendekat.  Seperti biasa, tanpa canggung sedikit pun.  “Ada apa sih Ma?”
            Astri merengkuh bahu Riris yang duduk di sisinya.  Dibelainya rambut hitam anaknya, lembut.  “Riris tahu, Mama sangat sayang pada Riris.  Mama harap, Riris cukup dewasa untuk mendengar cerita ini.  Paling lama tiga tahun lagi, Riris dan Adolf akan menikah, lalu punya anak.  Riris akan jadi seorang ibu.  Cerita ini tentang seorang ibu dan anaknya.  Riris mau dengar?”
            “Cerita apa Ma?  Kok rasanya aneh.  Riris sudah hafal semua dongeng pengantar tidur yang pernah Mama ceritakan dulu.  Riris kan sudah besar Ma, mau jadi ibu lagi...”  Riris terkekeh kecil.  Tak urung dia menyandarkan kepala ke bahu Astri.  “Oke, sekarang Riris sudah siap.  Riris dengarkan baik-baik, ceritalah Ma...”
            Astri menghela nafas panjang, mencoba menenangkan debur jantungnya, sebelum mulai bercerita.  “Dua puluh dua tahun yang lalu, ada sebuah keluarga kecil.  Seorang ayah, ibu, dan seorang anak lelaki kecil.  Kemudian ayah itu menikah lagi dengan seorang perempuan lain, sang ibu tidak bisa menerima kenyataan itu dan memilih berpisah dengan suaminya.  Semuanya sebenarnya baik-baik saja.  Wanita kedua itu hamil, lalu melahirkan seorang anak perempuan.  Tetapi dia menjadi putus asa karena keberadaan anak itu tetap tidak bisa membuat suaminya melupakan istrinya yang pertama.  Dia begitu kecewa dan memutuskan untuk pergi.  Dia meninggalkan suami dan anaknya.  Suaminya itu kemudian putus asa dan memilih mengakhiri hidupnya.  Tinggallah anak perempuan yang masih bayi itu.  Melihat semua itu, wanita pertama tidak melihat kemungkinan lain kecuali mengambil anak perempuan itu dan menganggapnya anak sendiri sama seperti anaknya lelaki.  Mereka tumbuh bersama dan hidup tenang bahagia.  Dua puluh  tahun kemudian, wanita kedua itu datang kembali.  Dia mendapati anaknya sudah menjadi seorang gadis cantik jelita.  Dia ingin mendengar anaknya memanggil ibu padanya.  Dia ingin memperbaiki semua kesalahan yang pernah dilakukannya.  Kamu tahu, wanita itu masih sangat muda ketika meninggalkan anaknya.  Saat itu mungkin dia masih terlalu mengikuti emosinya.”
            “Mama, apakah anak perempuan itu Riris?”  Suara Riris terdengar amat pahit.  Dia menengadah, menyendengkan telinganya agar dapat mendengar jawaban Astri.  Di luar dugaan Astri, Riris sama sekali tidak menangis.  “Siapa wanita kedua itu, Ma?  Wanita yang melahirkan Riris ke dunia ini, yang telah membuang bayi perempuan buta, dua puluh tahun lalu?”
            “Riris sudah tahu?”
            “Mama, butanya indra penglihatan Riris, tidak membutakan perasaan Riris.  Riris tahu Mama terkejut ketika Riris mengatakan ada telepon dari orang gila yang mengaku sebagai ibu Riris.  Semula Riris memang menganggap itu hanya orang gila yang mau mengganggu Riris.  Tapi setelah telepon itu datang berkali-kali, dan setiap kali Mama mendengar tentang itu, Mama selalu berubah sikap dan nada bicara...”  Riris menghela nafas panjang, tapi tetap tenang.  “Belum lagi beberapa saudara sepupu yang hampir tidak pernah meninggalkan Riris, seolah mereka bergantian menjaga Riris, padahal sebelumnya mereka tidak pernah bersikap seperti itu...  Riris harus percaya bahwa telepon itu memang datang dari ibu kandung Riris.  Wanita yang telah melahirkan Riris untuk kemudian membuangnya begitu saja.”
            “Riris... ibumu sama sekali tidak punya maksud meninggalkanmu.  Dia masih sangat muda... usianya belum genap dua puluh tahun ketika itu.  Dia masih sangat labil.”
            “Kalau Riris tidak buta, mungkin dia tidak akan meninggalkan Riris begitu saja.  Riris ingat cerita Eyang Putri, katanya waktu kecil Riris suka diare, kurus, dan hampir mati.  Wanita itu sengaja meninggalkan Riris agar Riris segera mati.  Iya kan?”
            “Dengar dulu Riris Sayang...”
            “Siapa nama perempuan itu, Mama, perempuan yang tidak punya hati nurani itu?”
            “Riris...”  Astri merasa hampir putus asa.  Ditatapnya wajah Riris yang kini memerah karena marah.
            “Riris akan datang padanya, akan Riris katakan bahwa anaknya sudah mati.  Anak yang dibuangnya dua puluh tahun lalu itu sudah mati.  Riris bukan anaknya.  Riris anak Mama Astri.  Dulu, sekarang, sampai kapanpun.  Riris tidak punya ibu yang lain.”        
            “Riris, apapun yang Mama berikan pada Riris selama ini, itu tidak bisa dibandingkan dengan apa yang telah wanita itu berikan pada Riris.  Dia telah memberikan nyawanya sendiri pada Riris.  Riris tahu sendiri kan ketika tante Amanda melahirkan David, betapa dia meregang nyawa dan mempertaruhkan kehidupannya agar David bisa lahir dengan selamat?”
            “Tapi tanpa Mama Astri, Riris pasti sudah mati.”
            “Jangan  begitu Riris.  Kehidupan semua orang itu ditentukan Tuhan, bukan karena Mama Astri.  Lupakanlah kesalahan yang dilakukan ibu kandungmu.  Semua orang pernah berbuat salah.  Kalau saja waktu itu Mama Astri mau menerima kehadiran ibu kandungmu, mungkin kita semua akan tetap bersama. : Kamu, Bang Jojo, papa Agung, ibumu dan Mama Astri.”
            “Mana mungkin?  Mama lupa, Riris sudah dewasa.  Kalau Riris jadi Mama Astri, waktu itu, pasti Riris juga bersikap sama.  Dimadu?  Enak saja!”  Nafas Riris memburu.  “Siapa nama wanita itu, Ma?”
            “Salimah.”  Astri menjawab dengan suara pelahan.  Dia tahu apa yang dipikirkan anaknya ketika mendengar nama itu.  Sejak kecil Riris tahu kalau saudara mamanya ada sepuluh.  Mama Astri nomor tiga, setelah Om Ipul.  Riris tahu, eyang putri pernah bercerita bahwa ada saudara Mama Astri yang bernama Salimah, anaknya nomor delapan.  Tapi sudah meninggal ketika umurnya dua puluh tahun.  Setelah beranjak dewasa, Riris menangkap perbedaan antara nama Mama Astri-nya dengan nama saudara-saudaranya.  Mama Astri bernama lengkap Astrina Dewanti.  Sedangkan Om dan Tantenya tidak ada yang punya nama sebagus itu.  Riris sering bilang, nama Om dan Tantenya semua nama yang sedikit ndesani.  Mama Astri sekolah sampai Sarjana Ekonomi.  Sedangkan Om dan Tantenya semua cuma tamatan SD.  Apa itu tidak aneh?  Sekarang semuanya sudah terbukti.
            “Jadi semua Om Tante itu bukanlah saudara kandung Mama Astri?”
            “Iya...”  Suara Astri tercekat di tenggorokannya.  Sulit untuk mengeluarkan kata-kata lainnya.
            “Nah!  Wanita bernama Salimah itu, yang katanya ibu kandung Riris, malah dianggap sudah mati oleh keluarganya sendiri.  Bukankah itu karena dosa yang telah diperbuatnya?”
            “Jangan menghakimi orang lain, Riris.  Itu hak Tuhan.  Dia kecewa, Riris.  Dia kecewa pada papa Agung.  Karena papa Agung belum juga bisa melupakan Mama Astri.”
            “Dia istri kedua, pasti dia yang merusak hubungan Papa Agung dan Mama Astri.  Iya kan?”
            “Tidak perlu mengungkit lebih jauh, Riris.  Cobalah memahami keadaan ibumu saat itu.  Sekarang, kamu harus berusaha menemuinya.  Maafkanlah dia, Sayang.  Kamu tahu kan, mereka yang tidak mengampuni orang yang bersalah, tidak akan diampuni oleh Tuhan?”
            “Riris tidak mau...”
            “Lakukanlah untuk anak yang kelak akan kamu lahirkan Riris.  Jangan sampai kamu berbuat dosa begitu besar dengan menolak mengakui ibu yang telah melahirkanmu, Riris Sayang.”
            “Mama tidak sayang pada Riris?  Mama tidak mau Riris menjadikan Mama ibu kandung Riris?”
            “Memangnya selama ini ada perbedaan sikap Mama terhadap Bang Jojo dan Riris?  Mama cuma tidak ingin kamu berbuat dosa besar seperti itu.  Orang tua bilang, itu kualat.”  Astri mengelus rambut Riris.  Gadis itu mulai terisak kini.  Dijatuhkannya kepalanya ke pangkuan Astri, seolah di sana dia memperoleh ketenangan yang didambakannya.
            “Tapi...Mama Astri tetap jadi Mama Riris kan?”
            “Tentu saja Sayang...apapun tidak akan mengubah kenyataan bahwa kamu adalah anak gadis Mama Astri yang tersayang.”
            “Ma...”  Riris mengangkat wajahnya.  Kalau saja dia bisa melihat, pasti dia melihat betapa mata Astri berlumur kebahagiaan sekaligus rasa bangga.  “Mama mau mengantar Riris ke rumah wa...ibu kandung Riris itu?”
                                                            ***
            Jojo mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat.  Dia tengah mendengar cerita tentang Salimah.  Mbak Pita, saudara sepupunya itu bercerita dengan penuh semangat.  Semuanya. 
            “Setelah tahu anaknya buta, Lek Sal meninggalkan Riris begitu saja.  Entah dimana hati nuraninya.  Padahal sebenarnya dia itu orang yang sangat baik.”
            “Baik?  Huh, kalau saja tidak ada dia, pasti aku sempat merasakan kasih sayang seorang ayah.  Aku jadi penasaran.  Seperti apa sih dia itu?”
            “Cantik.  Kamu tahu, Jo, dari semua anak-anak Eyang Putri, Lek Sal itu yang paling cantik.  Makanya Eyang dulu berharap banyak padanya.  Ternyata hanya seperti itu nasibnya.  Jadi perempuan kedua.”  Pita sama sekali lupa, kalau bukan karena Sal, tidak mungkin dia berkenalan dengan Astri yang kemudian membiayai sekolahnya sampai lulus sarjana.  Bahkan membantunya hingga bisa diterima bekerja di tempatnya sekarang ini. 
            Jojo merenung sejenak.  “Aku jadi semakin bangga punya Mama Astri.  Seorang wanita yang amat luhur budi.  Kalau cari istri, aku akan mencari seorang yang seperti Mama Astri.”
            Astri sama sekali tidak merasakan kekaguman kedua anaknya, Jojo dan Riris.  Kematian Agung yang tragis, telah membuatnya berubah total.  Dari seorang wanita yang angkuh dan tidak mau disaingi dalam berbagai hal, menjadi seorang yang lemah lembut dan berbudi.